21.11.22

Adab Seorang Sufi.

Adab Kepada Syeikh Mursyid

Di antara akhlak mereka adalah adab sopan santun yang mereka lakukan terhadap orang yang pernah mengajar mereka surah Al Qur'an atau ayat. Mereka tetap menghormati orang yang pernah mengajari surah Al Qur'an atau ayat atau pengetahuan tertentu, sampai mereka tidak mau lewat di depannya dengan menaiki kendaraan, meskipun mereka sudah menjadi tokoh besar Islam atau tokoh sufi.

Di antara adab yang mereka pelihara kepada guru adalah kebisaaan mereka memberi hadiah dan pakaian kepada mereka dan keluarga sebagai penghormatan kepada mereka. Begitu pula mereka tidak kikir kepada guru agama yang mengajari anak-anak mereka Al Qur'an tanpa mengharapkan balasan atas pemberian yang mereka lakukan.

Dikisahkan tentang Ibnu Abi Zaid al Qalrawani, penulis besar ar-Risalah, bahwasanya ia memberi guru agama anaknya ketika ia mengajar satu hizib Al Qur'an sebesar seratus dinar. Lalu guru agama itu berkata: "Aku, wahai sayyidi, tidak melakukan sesuatu yang patut diberi ini semua!" Lalu Syaikh guru agama itu mengalihkan anak didiknya itu kepada guru agama yang lain dan berkata: "Ini seorang laki-laki yang merendahkan Al-Qur'an." (saya mengatakan) Aku pernah melakukan demikian, alhamdulillah, dengan guru agamaku, Syaikh Hambali al-Halabi memberinya pakaian dan juga anak-anaknya hingga ia meninggal dunia. Saya tidak memandang bahwa saya telah melakukan suatu kewajiban atas haknya.
Suatu hari saya lewat bersama Syaikh Syamsuddin ad Dimyathi pada tahun 918 H. Lalu Syaikh Syamsuddin bertemu dengan seorang laki-laki buta dituntun putrinya. Ia kemudian turun dari kudanya dan meraih tangannya seraya menuntun jalan hingga jauh.

Ketika kembali saya bertanya siapa orang itu? ia menjawab bahwa ia adalah laki-laki yang pernah mengajarinya Al Qur'an pada masa anak-anak. Maka ia tidak berkenan lewat dengan menunggang kuda. Padahal Syaikh Syamsuddin telah memperoleh pangkat, kepercayaan, ilmu dan dekat dengan para raja dan ia sangat istimewa. Belum pernah kami melihat seseorang yang memperoleh karunia seperti dia di antara teman-teman sejawatnya sehingga saya pernah melihatnya sedang berada di antara dua istana pada suatu hari dikerumuni orang banyak berebut untuk mencium tangannya, dia yang tidak dapat mendekat mencoba melemparkan selendangnya hingga mengenai pakaiannya lalu mencium selendang itu seperti yang dilakukan orang terhadap kiswahh kabah ketika dibawa di Kairo.


Mengalah Dan Rendah Hati

Diantara akhlak mereka Adalah sikap sangat mengalah hingga diantara mereka ada yang mencari barakah dari muridnya dan membawakan bawaan serta tidak memandangnya lebih mengetahui dari pada muridnya atau merasa lebih banyak amalnya, bilamana yang demikian itu tidak menimbulkan fitnah.

Dikisahkan bahwa Imam Syafi'i (ra) ketika mengutus utusannya kepada Imam Ahmad bin Hanbal bahwa ia akan mengalami cobaan besar dan akan bebas dari cobaan itu dalam keadaan selamat, yakni masalah apakah al-Qur'an makhluk atau bukan. Lalu ketika utusan itu memberitahukan kepadanya, Imam Ahmad bin Hanbal melepas gamisnya karena bahagia dengan kehadiran utusan Imam Syafi'i. Ketika utusan itu kembali dengan membawa gamis itu dan memberitahukan kepada Imam Syafi'i, ia bertanya: "Apakah gamis ini dilepas dari tubuhnya tanpa pakaian dalam?" Ia menjawab: "Ya benar" Lalu Imam Syafi'i mencium gamis itu dan dia tutupkan pada kedua matanya. Lalu ia basahi dengan air kedalam tabung dan menggilasnya lalu memerasnya. Aimya kemudian dimasukkan ke dalam botol untuk mengobati para sahabatnya yang sakit dengan cara mengoleskan air itu pada tubuhnya dan berkat pertolongan Allah mereka segera sembuh.

Patut direnungkan bagaimana kerendahan hati Imam Syafi'i terhadap muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal. Yang demikian menunjukkan bahwa orang seperti ini meskipun amal shalihnya yang begitu banyak tidak membuat mereka memandang diri mereka sendiri lebih dari orang lain. Berbeda dengan orang orang yang mengaku diri syaikh di zaman sekarang. Orang terakhir yang saya ketahui mengalah dan mencari berkah dari muridnya serta mengirim orang sakit agar berobat padanya adalah Syaikh Muhammad bin Annan dan Syaikh Muhammad as Sarawi.

Syaikh Muhammad bin Annan suka mengirim orang yang menginginkan doa untuk orang yang sakit kepada Syaikh Yusuf al Haritsi. Syaikh Muhammad as Sarawi mengirim utusan kepada Syaikh Ali al Haddad padahal Syaikh Yusuf dan Syaikh Ali adalah murid kedua Syaikh ini.


Lembut Dan Santun

Dalam hadits terdapat perintah untuk meluruskan shaf jamaah shalat dan bersikap lembut terhadap sesama.

Dalam al Qur'an juga terdapat peringatan, Firman Allah SWT:
"Jika kiranya kamu bersikap kasar dan keras hati tentu mereka lari dari sekelilingmu." (Ali Imran : 59).

Ketahuilah bahwa termasuk bagian dari sikap lembut terhadap orang orang fakir (para ahli sufi) adalah apabila masuk dalam kelompok yang sedang berdzikir pada Allah (SWT) seperti dzikir kaum Maghribah, Syanawiyah, Rifa'iyah umpamanya, maka hendaknya ikut berdzikir bersama mereka dengan cara seperti yang mereka lakukan sesuai aturan syara'.
Maka sebaiknya juga menyesuaikan dengan dzikir yang mereka ajarkan, yang dibolehkan dan yang jarang oleh mereka, tanpa menolak dengan alasan bahwa yang demikian bukan thariqat Syaikh Anda. Dengan demikian akan kehilangan pahala di samping terjebak dalam sikap kaku dan keras.

Membiarkan Lapar Di antara akhlak mereka adalah lapar dengan jalan yang sesuai dengan syara'. Bilamana mereka tidak mendapatkan sesuatu yang halal untuk mereka makan, maka berhari-hari mereka menahan lapar. Pengalaman lapar ini telah mereka rasakan lalu menemukan cahaya batin dan kebaikan pada kekosongan perut hingga mereka mengatakan dalam pepatah: "Pada beduk terdapat suara keras hanya karena kosong dalamnya."
Mereka juga mengatakan bahwa seharusnya bagi orang alim tidak kenyang apalagi di hari-hari ia menulis kitab. Yang demikian itu agar ia tidak terhalang dari kesempumaan pemahaman Al-Quran, hadits, fiqih dan lain sebagainya. Sebab pemahaman orang kenyang itu lemah. Jika ada yang ragu mengenai ini, silahkan mencoba.

Kami pernah menemukan banyak orang fakir (ahli sufi) membisaakan lapar hingga di antara mereka ada yang berbuang hajat besar hanya sekali dalam satu minggu, karena malu terhadap Allah (SWT) jika banyak pergi ke kamar kecil dalam keadaan terbuka auratnya.

Bahkan yang lebih dari itu, Syaikh Tajuddin ad-Dzakir mengambil air wudhu hanya pada setiap dua belas hari sekali. Sayidi Ali asy-Syahawi, yang dikenal dengan Dzuaib mengajak semua orang yang ia temui untuk berpuasa dan mengatakan bahwa puasa adalah senjata orang mukmin, dan jika orang yang ahli berpuasa tidak mentaati Allah, ia tidak melakukan maksiat terhadapNya karena tidak ada dorongan yang mengajak kepada kemaksiatan. Di antara orang yang berpuasa sepanjang tahun adalah Syaikh Umar at-Tabtiti dan anak pamannya Syaikh Abdul Qadir. Keduanya sangat tinggi nuraninya dan kemauannya. Ikutilah jejak orang-orang terdahulu dan hendaknya tidak makan kecuali jika sangat lapar.


Tetap Ikhlas Memberi Ilmu

Di antara akhlak mereka adalah bahwa jika ada orang yang tidak sepenuh hati belajar ilmu dari mereka, mereka tetap mengajamya akan tetapi senantiasa menghadap kepada Allah (SWT) dalam doa agar niatnya ikhlas. Dengan demikian mereka mendapat pahala dan ia begitu pula.

Sebab ilmu untuk dua hal: diamalkan dan menghidupkan syariah. Maka pemiliknya diberi pahala baik secara penuh maupun tidak penuh.
Syaikh Ali al-Khawwash berkata: "Pembawa ilmu itu mengamalkan ilmunya meskipun melakukan maksiat, karena jika itu terjadi ia bertobat dan menyesali sesuai ilmu yang ia ketahui. Seandainya bukan karena ilmunya itu tentu ia tidak tahu jalan bertobat dan menyesali.

Inilah pengamalan ilmu dari sisi ini. Jika orang yang melakukan maksiat tidak mengamalkan ilmunya, sebagaimana anggapan orang, maka ketahuilah bahwa ilmu itu bermanfaat bagi pemiliknya bagaimana pun, dan ilmu setiap orang tetap lebih banyak dari pada amalnya di setiap masa."


Tekat Mengamalkan Ilmu

Di antara akhlak mereka adalah tekad mengamalkan ilmu semua orang alim yang mereka ketahui, tidak memperhatikan apakah orang alim itu mengamalkan ilmunya atau tidak.
Kemudian menjadikan pahala amal itu dalam catatan amal orang alim ini dan mereka memohon pahala dari Allah (SWT) sebagai karunia dan kemurahan.
Begitu pula bilamana membaca suatu ilmu mereka menjadikan pahalanya untuk pengarangnya, karena pahala setiap perkataan adalah untuk penuturnya.
Yang demikian tidak mungkin tercapai kecuali orang yang lebih mengutamakan orang-orang mukmin dari pada dirinya sendiri, sebagai peninggalan Rasulullah (SAW), sebagaimana yang kami bahas dalam kitab al-Minan at-Kubra.


Tetap Bergaul Dengan Orang Yang Memusuhinya

Di antara akhlak mereka adalah bergaul dengan orang yang secara diam-diam memusuhi tetapi menampakkan diri menyukai mereka. Mereka juga tidak menolak sama sekali terhadap orang yang ingin dekat kepada mereka.

Sebab jika ditolak yang demikian akan dapat menimbulkan fitnah dan menambah permusuhan. Akan tetapi ini membutuhkan kewaspadaan terhadap pelanggaran sebab bisa jadi orang yang tidak senang akan secara sengaja sedang mencari keburukan agar dapat dijadikan bahan untuk menjatuhkan mereka, sebagaimana yang banyak terjadi.

Oleh sebab itu bergaul dengan orang yang tidak dalam hatinya tidak menyukai harus bersikap waspada, sebab jauh dari musuh lebih baik bagi orang yang tidak memiliki kesempurnaan perilaku dan lemah agama. Sadarilah yang demikian.


Melihat Atas Kebaikan Dan Menutupi Keburukan Orang Lain

Di antara akhlak mereka adalah membuka mata lebar lebar atas kebaikan orang dan menutup mata rapat rapat atas kekurangan yang ada padanya. Maka Di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau melihat aib saudara seagamanya sedikit pun dan semua orang baginya salih dan orang salih tidak ada yang memusuhi kecuali hanya karena iri dan dengki.

Jika dikatakan bahwa yang mempunyai kedudukan ini atau itu sedikit manfaatnya bagi teman-temannya karena tidak memberi nasihat dan peringatan dan kemungkaran lalu dengan demikian menjadi pelaku maksiat terus menerus dan tidak tertuntun untuk memberi peringatan, karena semua orang dianggap baik, maka jawabnya adalah bahwa ia memberi peringatan karena semua orang dianggap baik, maka jawabnya adalah bahwa ia memberi peringatan dengan ilham yang benar melalui berkaca diri atau dengan mengaitkan itu dengan dirinya sendiri dan berkata: "Sebagaimana aku juga melakukan pelanggaran umpamanya orang lain juga dapat berbuat salah. Semua kesalahan yang bisa terjadi pada diriku dapat terjadi pula pada orang lain."

Sementara dimaklumi di kalangan mereka bahwa menyebutkan kekurangan saudara mereka tidak lain adalah peringatan, bukan menganggap mereka bebas dari kesalahan seperti ini. Sebab orang yang sempurna di kalangan mereka dijuluki Abul Uyun, "maka segala sesuatu ada mata yang melihatnya, lalu ia memandang saudaranya lepas dari kekurangan seperi riya' dan kemunafikan atau lain lainnya dengan satu mata. ia menyikapi dengan hati hati seperti kehati hatian orang yang benar menuduhnya dengan kekurangan-kekurangan itu atau perkiraan dengan mata yang lain.

Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang murid dan mursyidnya (kekasih Allah), maka seorang murid harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab serta tata krama seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad Al-Khomisykhanawiy, yaitu sebagai berikut;
  1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang syaikh (mursyid), dia segera mendatanginya seraya berkata: ”Aku datang ke hadapan tuan agar dapat ma’rifat (mengenal ) Allah SWT.. ”setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya ia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan penuh kecintaan agar dapat memperoleh penerimaan di hatinya dengan sempurna.
  2. Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
  3. Tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh mursyidnya, tidak meludah dan membuang ingus di majlisnya dan tidak melakukan sholat sunnah di hadapannya.
  4. Bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum urusannyan selesai.
  5. Tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap perbuatan- perbuatan mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta’wilkannya, namun jika tidak dia harus mengakui ketidak fahamannya.
  6. Mau mengungkapkan kepada mursidnya apa–apa yang timbul di hatinya berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya. Karena mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal (keadaan) muridnya dia akan segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakitnya.
  7. Ash-Shidqu (bersungguh–sungguh) didalam pencarian ma’rifat-nya, sehingga segala ujian dan cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur kepada mursyidnya melebihi cintanyan terhadap diri, harta, dan anaknya, seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah SWT. tidak akan kesampaian tanpa wasilah (perantara) mursyidnya (kekasih Allah).
  8. Tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh mursyidnya, kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang mesti semuanya diikuti. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si murid adalah racun yang mematikan.
  9. Mengamalkan semua apa yang telah di-talqin-kan oleh mursyidnya, berupa dzikir, tawajuh dan muraqabah. Dan meninggalkan semua wirid dari yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah SWT..
  10. Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari tanggungan hak–hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus dari segala ketergantungannya dari selain al-maqshud (Allah SWT.).
  11. Tidak meragukan dan mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun. Menghormati dan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya dengan dzikir yang telah ditalqin-kan padanya.
  12. Menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun di akhirat tidak lain adalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah SWT.. Sebab jika tidak demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan dirinya sendiri.
  13. Tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun menurut dirinya benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan bahwa salahnya mursyid itu lebih kuat (benar) dari pada apa yang benar menurut dirinya. Dan tidak memberi isyarah (keterangan ) jika tidak ditanya.
  14. Tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan orang- orang yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang–orang kepercayaan mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriyyah amal ibadah mereka lebih sedikit di banding dengan ibadahnya.
  15. Tidak mengadukan hajatnya selain pada mursyidnya. Jika dalam keadaan darurat sementara mursyid tidak ada, maka hendaklah menyampaikan pada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan dan takwa.
  16. Tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang hendaknya segera minta maaf kepadanya. Dan hendaknya tidak memandang remah pada siapapun juga.

Cerita pertemuan pertama al-Jailani dengan al-Hamadani berikut ini diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam kitabnya, Fatawa Haditsiyyah.

Abu Sa‘id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi’i, berkata, “Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya. Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, “Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.” Aku menimpali, “Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan.” Sementara Syekh Abdu-Qadir al-Jailani berkata, “Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu ketuhanannya.”

Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, “Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini!” dan ia melanjutkan, “Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.” Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, “Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.” Kemudian ia memandang kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, “Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu.”

Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syekh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di atas leher semua wali.’ Syekh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.

Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.

Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya. Kegelapan menutupi mukanya.

Suatu hari ia melihat seseorang yang ia kenal. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan bahwa ia bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi kepadamu?” Ibn al-Saqa menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu bertanya lagi, “Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?” Ia menjawab, “Aku ingat ayat yang berbunyi, ‘Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam’ (Q.S. al-Hijr: 2).” Ia gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani.”

Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.”