25.11.22

BAB: 15 Tauhid, Sifat Orang Yang Bertauhid Dan Haqiqatnya.

BAB: XV
TAUHID, SIFAT ORANG YANG BERTAUHID DAN HAQIQATNYA, SERTA BERBAGAI PENDAPAT TENTANG MAKNA TAUHID.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Sebagaimana yang saya terima dari Yūsuf bin al-Ḥusain ar-Rāzī, berkata: “Ada seseorang berdiri di depan Dzun-Nūn al-Mishrī sambil berkata: Beri tahu saya apa sebenarnya Tauḥīd itu? Dzun-Nūn menjawab: Yaitu hendaknya anda tahu, bahwa Kekuasaan (Qudrat) Allah s.w.t. terhadap segala sesuatu itu tanpa ada persenyawaan atau campuran. Ciptaan-nya pada segala sesuatu tanpa penanganan secara langsung. Sedangkan sebab segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada alasan (sebab) bagi ciptaan-Nya. Di langit yang paling tinggi maupun di bumi yang paling rendah tidak ada pengatur lain selain Allah s.w.t. Apa pun yang diilustrasikan oleh imajinasi anda, maka Allah sama sekali berbeda dan bukan apa yang ada dalam benak anda tersebut.”

Al-Junaid – raḥimahullāh – ketika ditanya tentang Tauḥīd mengatakan: “Tauḥīd adalah pengesaan seorang muwaḥḥid (yang menauhidkan Allah) dalam merealisasikan Waḥdāniyyah-Nya dengan kemahasempurnaan Aḥadiyyah-Nya. Di mana Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dengan meniadakan segala persamaan, sepadan, serupa dan berbagai bentuk peribadatan (penghambaan) kepada selain Dia. Tuhan Yang tidak bisa diserupakan, dikondisikan dengan bagaimana, digambarkan dan tidak pula dapat dimisalkan. Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kekal. Maha Tunggal Yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Al-Junaid ditanya lagi tentang Tauḥīd. Maka ia menjawab: “Tauḥīd adalah suatu makna, di mana berbagai gambaran hilang di dalamnya, dan berbagai ilmu pun musnah di dalamnya. Sedangkan Allah s.w.t. akan senantiasa eksis dan tidak pernah lenyap.”

Syaikh Abū Nashr mengatakan, bahwa dua jawaban yang dikemukakan oleh Dzun-Nūn dan al-Junaid adalah jawaban tentang Tauḥīd dhāhir, yakni Tauḥīd orang-orang awam. Sedangkan jawaban al-Junaid yang terakhir – sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini – adalah jawaban Tauḥīd orang-orang khusus.

Al-Junaid ditanya tentang Tauḥīd orang-orang khusus (khas), ia menjawab: “Adalah di mana seorang hamba hanya merupakan bayangan yang tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah ‘azza wa jalla, di mana perbuatan-perbuatan Allah dan segala yang diaturnya berlaku padanya sesuai dengan aturan-aturan hukum dan Kekuasaan-Nya, dalam kedalaman samudra Tauḥīd-Nya, dengan fanā’ (sirna) dari dirinya, du‘ā orang lain (makhluk) untuknya dan pemenuhan terhadap ḥaqīqat-ḥaqīqat eksistensi Kemahaesaan (Waḥdāniyyah)-Nya dalam ḥaqīqat kedekatannya, dengan hilangnya rasa dan gerakannya. Karena al-Ḥaqq sendiri Yang menjalankan segala perintah yang diinginkan-Nya. Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada.”

Al-Junaid juga berkata: “Tauḥīd adalah keluar dari kesempitan bentuk-bentuk temporal menuju ke “halaman” luas keabadian dan kekekalan.”

Jika ada orang bertanya” “Apa makna pendapat al-Junaid yang mengatakan: Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada.” Maka jawabannya adalah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذَا غَافِلِيْنَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Ādam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).” (al-A‘rāf:172).

Al-Junaid mengemukakan tentang makna ayat tersebut: “Dari mana ia berada, bagaimana ia berada sebelum saat ini ada? Bukankah yang menjawab pada saat itu adalah ruh-ruh yang memperlihatkan Kekuasaan Allah dan melaksanakan seluruh titah-Nya? Maka keberadaannya sekarang, pada hakikatnya sama seperti sebelum ia ada. Dan inilah puncak hakikat Tauḥīd kepada Dzāt Yang Maha Tunggal, yakni hendaknya keberadaan seorang hamba seperti sebelum ia ada. Sementara Allah s.w.t. senantiasa ada dan tetap eksis.”

Pernah ada seseorang bertanya kepada Abū Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syiblī – raḥimahullāh: “Wahai Abū Bakar, (panggilan asy-Syiblī) beri tahukan kepada saya tentang Tauḥīd murni, dengan suatu bahasa yang benar.” Asa-Syiblī menjawab: “Celaka kau!!” Barang siapa menjawab tentang Tauḥīd, maka ia adalah orang yang kafir dan ingkar (mulḥīd). Dan barang siapa memberi isyarat tentang Tauḥīd, maka ia adalah penyembah berhala. Sementara orang yang diam tak berkomentar tentang Tauḥīd adalah bodoh. Sedangkan orang yang mengira, bahwa ia telah “sampai” (wushūl), sebenarnya ia tidak mencapai apa-apa. Barang siapa bercerita tentang Tauḥīd maka ia adalah orang yang lalai, dan barang siapa menyangka, bahwa ia dekat maka sebenarnya ia adalah jauh. Sementara orang yang berpura-pura mampu menghayati, maka sebenarnya ia adalah orang yang kehilangan. Sedangkan segala apa yang anda bedakan dengan daya imajinasi, dan anda pahami dengan akal sekalipun dalam makna yang paling sempurna menurut anda, maka sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang diatur dan berasal dari diri anda, suatu ciptaan yang baru dan makhluk yang sama dengan anda.”

Jika kita berusaha menerangkan apa yang dikatakan asy-Syiblī sebagaimana mestinya, tentu akan memakan banyak waktu. Namun dengan singkat dan ringkas sepertinya ia ingin mengatakan tentang Tauḥīd: Adalah menjadikan Dzāt Yang Maha Qadīm sebagai Dzāt yang sama sekali berbeda dengan makhluk yang diciptakan (muḥdats). Sementara itu, tak ada cara lain bagi makhluk kecuali hanya menyebut-Nya, menerangkan-Nya dengan Sifat dan memberi atribut untuk-Nya sesuai dengan kadar yang bisa diterangkan kepada mereka dan digambarkan padanya.

Syaikh Abu Nashr – raḥimahullāh – berkata: Saya dapatkan dari Yūsuf bin al-Ḥusain tiga jawaban tentang Tauḥīd:

Pertama: adalah jawaban tentang Tauḥīd untuk orang-orang awam. Ialah dengan menjadikan Allah sebagai Dzāt Yang Maha Esa, yang dengan Kemahaesaan-Nya Dia berbeda sama sekali dengan yang lain, dengan meniadakan segala perbandingan, persamaan, padanan dan serupaan. Sementara itu ia cenderung untuk menentang rasa takut dan harapan dengan hilangnya hakikat pembenaran. Sebab dengan tetap adanya hakikat pembenaran tak mungkin bisa cenderung untuk menentang rasa takut dan harapan.

Kedua: Tauḥīd orang-orang ahli hakikat dari sisi zhāhir. Yaitu pengakuan akan Waḥdāniyah (Kemahaesaan) Allah, dengan tidak melihat pada sebab-sebab dan menghilangkan segala yang serupa. Selalu komitmen terhadap perintah dan larangan, baik secara lahir maupun bāthin dengan menghilangkan harapan (ar-Raghbah) dan takut (ar-Rahbah) kepada selain Alah s.w.t. Itu dilakukan dengan memberikan bukti-bukti kebenaran bersamaan dengan memberikan bukti-bukti dakwah (ajakan) dan mengabulkannya. Kalau ditanya: “Apa makna dari ungkapan: “Menghilangkan harapan (ar-Raghbah) dan takut (ar-Rahbah).” Sementara keduanya adalah hal yang benar?” Maka jawabannya, adalah memang keduanya merupakan hal yang benar (ḥaqq). Keduanya tertap berada pada posisinya semula. Namun kekuatan Waḥdāniyah telah memaksanya sirna, sebagaimana sinar matahari memaksa sinar planet lain dan bintang-bintang hilang, sedangkan mereka masih berada dalam posisi masing-masing.

Ketiga: Tauḥīd orang-orang khusus, di mana seorang hamba dengan rahasia hati, penghayatan dan qalbunya seakan-akan berada di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Di mana perlakuan dan pengendalian Allah berlaku pada dirinya. Demikian pula hukum-hukum Kekuasaan-Nya berlaku padanya dalam samudra Tauḥīd-Nya, di mana dirinya fanā’ dan perasaannya pun hilang karena al-Ḥaqq melakukan segala-galanya sesuai dengan kehendak-Nya. Sehingga keberadaannya sebagaimana sebelum ia wujud. Yakni berada dalam lingkaran ketentuan hukum-hukum Allah dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.

Sedangkan keterangannya adalah sebagaimana yang disinggung oleh al-Junaid dalam memahami firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat al-A‘rāf:172 di atas.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “Dalam memahami hakikat Tauḥīd, mereka memiliki ungkapan lain. Di mana mereka menggunakan bahasa orang-orang yang telah bisa menghayati dan menemukan apa yang ada di sisi Allah (al-wajidun). Sementara isyarat-isyarat mereka tentang hal itu sulit untuk dipahami. Di sini kami ingin menyebutkan sekilas tentang hal itu yang mungkin dapat diterangkan. Sebagian besar disiplin ilmu ini memang penuh isyarat-isyarat yang tidak asing bagi orang yang memang ahlinya. Namun ketika hal ini dijelaskan dan diterangkan dengan bahasa ungkapan, maka menjadi tidak jelas dan hilang keindahannya. Saya terdorong untuk menjelaskannya, karena saya meletakkan dalam bentuk tulisan dalam kitab. Sedangkan kitab bisa jadi ditelaah oleh orang-orang yang bisa memahami dan juga tidak menutup kemungkinan akan ditelaah oleh orang-orang yang tidak sanggup memahami. Kemudian mereka yang tidak paham akan celaka.

Isyarat-isyarat hakikat Tauḥīd ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ruwaim bin Aḥmad bin Yazīd al-Baghdādī: tatkala ditanya tentang makna Tauḥīd: “Menghilangkan bekas-bekas sifat manusia (al-Basyariyyah) dan memurnikan Sifat Ketuhanan (Ulūhiyyah)”. Yang dimaksud menghilangkan bekas-bekas sifat manusia ialah dengan mengganti tabiat (akhlak) nafsu. Sebab sering kali nafsu mengaku Sifat-sifat Ketuhanan (ar-Rubūbiyyah), dengan melihat dirinya yang melakukan perbuatan-perbuatannya. Seperti ucapan seorang hamba: “Aku dan aku.” Ia tidak mengatakan: “Kecuali Allah.” Sebab sifat Inniyyah (Keakuan) itu hanya milik Allah ‘azza wa jalla. Inilah yang dimaksud menghilangkan bekas-bekas sifat manusia. Sedangkan yang dimaksud memurnikan Sifat Ketuhanan (Ulūhiyyah) ialah menunggalkan dan memurnikan Dzāt Yang Maha Qadīm dari segala yang baru diciptakan-Nya (al-Muḥdatsat).

Sementara itu, ada pula yang mengatakan, bahwa Tauḥīd ialah melupakan apa saja yang selain Tauḥīd dengan cara menauhidkan. Yakni terhadap apa yang mengharuskan hukum hakikat. Ada pula yang berpendapat, bahwa Waḥdāniyyah adalah kekal-Nya al-Ḥaqq dengan fanā’ (sirna)iya yang lain. Yakni fanā’ yang mengharuskan fanā’ adalah mengharuskan hukum hakikat. Dikatakan pula, bahwa Waḥdāniyyah adalah Kekekalan al-Ḥaqq dan fanā’nya segala sesuatu selain Dia. Yakni fanā’nya seorang hamba untuk tidak menyebut diri dan hatinya, dengan selalu mengingat Allah s.w.t. dan mengagungkan-Nya.

Ada pula yang mengatakan, bahwa tak ada satu makhluk pun yang andil dalam Tauḥīd. Sehingga tak ada yang sanggup menauhidkan Allah kecuali Allah sendiri. Sedangkan Tauḥīd untuk al-Ḥaqq yang datang dari makhluk adalah kekanak-kanakan. Kami katakan, bahwa apa yang mereka isyaratkan dalam hal ini adalah – hanya Allah Yang Maha Tahu – firman Allah s.w.t.:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلآئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Āli ‘Imrān:18).

Allah telah memberikan kesaksian untuk Diri-Nya sendiri dengan Waḥdāniyyah (Kemahaesaan) sebelum makhluk-Nya. Maka hakikat Tauḥīd dari sisi al-Ḥaqq adalah kesaksian Allah terhadap Diri-Nya sendiri dengan Waḥdāniyyah sebelum makhluk-Nya. Sementara Tauḥīd dari sisi makhluk, adalah sebagaimana mereka menauhidkan-Nya secara hakikat dan penghayatan hati nurani (wajd), sesuai dengan kadar yang dibagikan dan dikehendaki Allah untuk mereka. Inilah firman Allah: “Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian).” (Āli ‘Imrān:18).

Adapun dari cara pengakuan (ikrar), maka seluruh ummat Islam (ahl-ul-Qiblah: pengikut para nabi) dalam hal ini adalah sama. Namun yang menjadi pedoman adalah yang ada dalam hati, dan bukan yang keluar dari lisan.

Asy-Syiblī – raḥimahullāh – mengatakan: “Seseorang tak akan mencium bau Tauḥīd, tatkala ia mengilustrasikan Tauḥīd dan menyaksikan makna-makna, menetapkan Nama-nama, menambahkan Sifat-sifat dan berbagai atribut. Barang siapa menetapkan semua ini, maka ia adalah orang yang menauhidkan secara hukum dan formalitas, dan belum secara hakikat dan wajd.”

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “Maknanya – dan hanya Allah Yang Maha Tahu – ialah menetapkan Sifat-sifat dan berbagai atribut sesuai dengan apa yang digariskan. Dan tidak menetapkannya atas dasar pengetahuan, pengertian yang sangat mendalam dan dugaan.

Sementara itu, dari kalangan orang-orang arif ada yang mengatakan, bahwa Tauḥīd adalah sesuatu yang membutakan orang yang mampu melihat, membingungkan orang yang berakal dan membuat tercengang orang yang memiliki pendirian yang kokoh.

Saya katakan: Hal ini terjadi karena orang yang telah mampu merealisasikan hal itu secara hakiki, ia akan menemukan Keagungan dan Kebesaran Allah s.w.t. dalam hatinya yang menjadikan akalnya bingung dan tercengang, kecuali mereka yang Allah s.w.t. kokohkan.

Abū Sa‘īd Aḥmad bin Isa al-Kharrāz – raḥimahullāh – berkata: “Kedudukan spiritual (maqām) pertama kali bagi orang yang mendapatkan ilmu Tauḥīd dan mampu merealisasikannya secara hakiki, ialah ketika sirna (fanā’)nya segala sesuatu dari lubuk hatinya dan hanya menauhidkan Allah ‘azza wa jalla.”

Ia juga mengatakan, bahwa awal dari tanda-tanda Tauḥīd ialah keluarnya seorang hamba dari segala sesuatu, dan mengembalikan seluruhnya pada Dzāt Yang Menguasainya. Sehingga hamba yang dikuasai-Nya terhadap Penguasa, melihat segala sesuatu itu selalu dikendalikan-Nya dan Dia sangat berpengaruh di dalamnya. Kemudian mereka Dia sembunyikan dalam jiwa mereka dari jiwa mereka, Dia matikan jiwa (nafsu) mereka dalam jiwa mereka dan Dia pilih mereka untuk Diri-Nya sendiri. Inilah awal memasuki Tauḥīd dari segi munculnya Tauḥīd dengan keabadian.

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “Sedangkan penjelasannya – dan hanya Allah Yang Maha Tahu – ialah fanā’ dan tidak mengingat segala sesuatu karena hanya mengingat Allah s.w.t. Sedangkan yang dimaksud: “keluarnya seorang hamba dari segala sesuatu” ialah dengan tidak menisbatkan sesuatu pun pada diri dan kemampuannya. Ia melihat bahwa, Penolong dan Pengendali segala sesuatu itu pada hakikatnya hanyalah Allah dan bukan mereka. Adapun makna dari ucapan Abū Sa‘īd: “Sehingga hamba yang dikuasai-Nya terhadap Sang Penguasa, melihat segala sesuatu itu selalu dikendalikan-Nya,” adalah memberikan isyarat penguasaan al-Ḥaqq kepadanya dan hakikat Tauḥīd yang diberikan, sehingga ia melihat, bahwa Penopang utama segala sesuatu adalah Allah s.w.t. dan bukan segala itu sendiri. Tidakkah anda melihat ucapan seorang penyair:

Dalam segala sesuatu itu ada kesaksian,

Yang menunjukkan bahwa Dia Maha Esa.

Adapun ucapan Abū Sa‘īd: “Dia sangat berpengaruh di dalamnya.” Maksudnya adalah bahwa corak dan warna tidak berlaku padanya dalam memandang segala sesuatu. Sebab Penopang utamanya adalah Allah ‘azza wa jalla. Sementara itu, maksud dari ucapannya: “Mereka Dia sembunyikan dalam jiwa mereka dari jiwa mereka, Dia matikan jiwa (nafsu) mereka dalam jiwa mereka,”adalah tidak lagi merasakan sesuatu dan tidak melihat adanya gerakan, baik lahir maupun batin. Di mana semuanya memberikan isyarat, bahwa pada hakikatnya sirna di bawah pengendalian Kodrat dan manifestasi dari pelaksanaan apa yang dikehendaki-Nya, meskipun mungkin dinisbatkan pada penyebabnya.

Asy-Syiblī – raḥimahullāh – pernah bertanya kepada seseorang: “Tahukah anda, mengapa Tauḥīd tidak cocok untuk anda?”

Orang itu menjawab: “Tidak.”

Asa-Syiblī – raḥimahullāh – memberi jawaban sendiri: “Sebab anda memintanya dengan diri anda sendiri.”

Dalam sempatan lain, asy-Syiblī juga pernah berkata: “Tauḥīd itu tidak cocok kecuali bagi orang yang pengingkarannya adalah penetapannya.”

Kemudian ia ditanya tentang apa yang dimaksud dengan itsbat (penetapan) itu? Ia menjawab: “Yang dimaksud penetapan ialah menghilangkan segala yang serba keakuan. (Menisbatkan segala-galanya pada dirinya sendiri; pent.).

Maknanya – hanya Allah Yang Maha Tahu – bahwa seorang yang menauhidkan Allah pada hakikatnya adalah mengingkari penetapan pada dirinya. Yakni dengan menetapkan dirinya dalam segala hal dengan hati nuraninya. Misalnya seperti ucapannya: “Karena aku (saya), untukku, dariku, kepadaku dan lain-lain.”

Maka orang yang menauhidkan Allah, akan menghilangkan segala bentuk keakuan seperti di atas dan mengingkarinya dengan hati nuraninya, meskipun secara formalitas hal itu tetap mengalir dari lisannya.

Asa-Syiblī juga pernah bertanya pada seseorang: “Anda bertauḥīd dengan Tauḥīd Basyariyyah atau Tauḥīd Ulūhiyyah?”

Laki-laki itu balik bertanya: “Apakah di antara keduanya ada perbedaan?”

Asa-Syiblī menjawab: “Ya.”

Tauḥīd Basyariyyah ialah rasa takut akan siksa. Sedangkan Tauḥīd Ulūhiyyah ialah Tauḥīd yang penuh pengagungan (ta‘zhīm).

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: “menjelaskan: Maknanya – hanya Allah Yang Maha Tahu – ialah, bahwa langit, bumi dan apa saja yang diciptakan Allah akan menjadi kecil dan hina di depan matanya tatkala ia melihat Kebesaran Allah ‘azza wa jalla dengan mata hatinya melalui berbagai cahaya Tauḥīd.

Suatu riwayat menyebutkan: “Bahwa malaikat Jibrīl a.s. memiliki enam ratus sayap: Dua sayap di antaranya jika dibentangkan maka akan menutupi ujung timur dan barat.”

Juga diriwayatkan dalam sebuah Ḥadīts, dari Ibnu ‘Abbās r.a.:

إِنَّ صُوْرَةَ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فِيْ قَائِمَةِ الْكُرْسِيِّ مِثْلُ الزَّرَدَةِ فِي الْجَوْشَنِ

“Sesungguhnya rupa Jibrīl a.s. ketika di hadapan “Kursī” laksana rantai yang ada di bagian dada baju besi.”

Disebutkan juga, bahwa Jibrīl a.s., ‘Arasy, dan Kursī, bila bersama alam Malakut yang tampak pada orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang Allah ‘azza wa jalla (ma‘rifat billāh), hanyalah laksana pasir di balik alam Malakut, atau bahkan lebih kecil daripada pasir.

Abul-‘Abbās Aḥmad bin ‘Athā’-al-Ādamī – raḥimahullāh – pernah mengemukakan pada sebagian ucapannya: “Tanda hakikat Tauḥīd adalah melupakan Tauḥīd. Sedangkan kejujuran Tauḥīd adalah melihat bahwa yang melakukan segala-galanya hanyalah Yang Maha Tunggal.”

Maksudnya ialah, hendaknya seorang hamba tidak melihat Tauḥīd dan melupakannya dalam menauhidkan Allah, dengan cara melihat bahwa yang melakukan segala-galanya adalah Allah ‘azza wa jalla sebelum makhluk-Nya. Sebab andaikata Allah tidak menghendaki mereka demikian, tentu mereka tidak akan menghendakinya, dan mereka tidak akan bisa menauhidkan-Nya.

Para guru (syaikh) kita dalam masalah Tauḥīd ini memiliki banyak tulisan. Sementara kami hanya ingin mengemukakan sebagian dari ungkapan-ungkapan mereka yang sulit untuk dipahami maknanya. Dengan maksud agar yang lain yang belum saya sebutkan bisa dicari sendiri oleh para pembaca buku ini. Insya Allāh.