D z i k i r.
Dzikir merupakan rukunnya tarekat dan menjadi kuncinya haqîqat dan juga menjadi pedangnya para murid (salik) dan benderanya kewalian. Allah SWT berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. (الأحزاب: ٤١
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya, (Q.S. al-Ahzâb: 41).
فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ (النساء: ١٠٣
Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, (Q.S. an-Nisâ’: 103).
Nabi SAW bersabda kepada Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Krw.:
عَلَيْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ فِى الْخَلْوَةِ
Berdzikirlah selalu kepada Allah SWT dalam keadaan sendiri.
Jika seorang hamba hendak dijadikan sebagai kekasih-Nya, maka Allah SWT akan membukakan pintu dzikir untuknya.
وَقاَلَ الشَّيْخُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخَرَازِ: إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنْ يُوَالِيَ عَبْدًا مِنْ عَبِيْدِهِ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ ذِكْرِهِ فَإِذَا اسْتَلَذَّ الذِّكْرَ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ الْقُرْبِ ثُمَّ رَفَعَهُ إِلَى مَجَالِسِ اْلأُنْسِ ثُمَّ جَعَلَهُ عَلَى كُرْسِيِ التَّوْحِيْدِ ثُمَّ رَفَعَ عَنْهُ الْحِجَابَ وَأَدْخَلَهُ دَارَ الْفُرْدَانِيَّةِ وَكَشَفَ لَهُ حِجَابَ الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ وَإِذَا وَقَعَ بَصَرُهُ عَلَى الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ بَقَى بِلاَ هُوَ فَحِيْنَئِذٍ يَصِيْرُ الْعَبْدُ زَمَنًا فَانِيًا فَوَقَعَ فِيْ حِفْظِهِ وَبَرِئَ مِنْ دَعَاوِى نَفْسِهِ. (تنوير القلوب، ص ٥١٠
Syaikh Abu Sa‘îd al-Kharâz menyatakan bahwa ketika Allah menginginkan seorang hamba untuk dijadikan kekasih-Nya, maka akan dibuka baginya pintu Dzikir. Dan ketika dia telah merasakan nikmat dzikir, maka akan dibuka baginya kedekatan dengan Allah. Selanjutnya, dia akan diberi ketenteraman, dan dijadikan baginya ketauhidan yang kuat, dihilangkan pula darinya tabir-tabir Allah, dia dimasukkan dalam wilayah kesendirian (bersama Allah), dibuka baginya hijab keagungan Allah. Dan ketika mata batinnya telah sampai pada keagungan tersebut, maka dia menyatu dengan Allah. Ketika inilah, dia menjadi lumpuh dan hancur, dia berada dalam penjagaannya, dan terbebas dari segala bisikan nafsunya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 510).
Mengenai atsar Dzikir dijelaskan bahwa apa yang dirasakan oleh seseorang ketika berdzikir;
وَتِلْكَ النَّتِيْجَةُ إِنَّمَا هِيَ الذَّهُوْلُ عَنْ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَالْخَوَاطِرِ الْكَوْنِيَّةِ وَاْلاِسْتِهْلاَكِ فِى الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ الذَّاتِيَّةِ فَيَظْهَرُ فِى الْقَلْبِ أَثَرُ تَصَرُّفَاتِ تِلْكَ الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ وَهُوَ تُوَجُّهُ الْقَلْبِ إِلَى الْحَقِّ اْلأَقْدَسِ بِالْمَحَبَّةِ الذَّاتِيَّةِ . وَاْلأَثَرُ مُتَفَاوِتٌ بِحَسَبِ اْلاِسْتِعْدَادِ وَهُوَ إِعْطَاءُ اللهِ تَعَالَى أَرْوَاحَ عِبَادِهِ قَبْلَ تَعَلُّقِ اْلأَرْوَاحِ بِاْلأَبْدَانِ ثُمَّ تَشَرَّفَهُ مَا شَاءَ مِنَ الْقُرْبِ الذَّاتِيّ اْلأَزَلِيّ، فَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ الْغَيْبَةُ أَيِ الذَّهُوْلُ عَمَّا سِوَى الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَقَطْ، وَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ السَّكَرُ أَيِ الْحَيْرَةُ وَالْغَيْبَةُ مَعًا وَبَعْدَ ذَلِكَ يَحْصُلُ لَهُ وُجُوْدُ الْعَدَمِ وَهُوَ فَنَاءُ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَبَعْدَهُ يَتَشَرَّفُ بِالْفَنَاءِ أَيِ اْلاِسْتِهْلاَكِ فِي الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ، وَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ لَهُ النَّتِيْجَةُ عِنْدُ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الْقُصُوْرِ فِى الشُّرُوْطِ. (تنوير القلوب، ٥١٥
Hasil dari natijah (berdzikir dengan wuquf qalbi) adalah lupa dari wujud manusiawi dan semua bisikan alam, tenggelam dalam tarikan dzat ilahi. Jika sudah demikian, maka tampaklah bekas perubahan dari tarikan ilahi itu, yaitu menghadapnya hati pada dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci dengan rasa cinta kepada-Nya. Bekas (hasil) dzikir itu berbeda-beda tergantung pemberian Allah, yaitu sebuah pemberian Allah pada ruh-ruh hamba-Nya, sebelum ruh-ruh itu dihubungkan dengan jasadnya, kemudian Allah memuliakannya dengan qurb (kedekatan) yang bersifat dzat yang azali. Di antara mereka (para Sâlik), pertama kali yang mereka capai adalah ketiadaan selain Allah, yaitu lupa dari selain Allah. Sebagian yang lain, yang pertama mereka capai adalah mabuk, bingung, dan ketiadaan selain Allah secara bersamaan, yang selanjutnya akan tercapai hilangnya wujud sifat kemanusiaan (fana’), lalu mereka mendapatkan kemuliaan fana’, yaitu leburnya diri dalam tarikan-tarikan ilahi. Jika seorang sâlik belum tampak baginya hasil-hasil tersebut, maka dia masih belum memenuhi syarat-syarat zikir (dengan benar), (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 515).
Berikut ini adalah penjelasan atsar dzikir menurut pandangan beberapa ulama’;
al-Sukrî, atsar dzikir adalah suatu keadaan yang berada diantara maqâm mahabbah kepada Allah dan maqâm fana’, ketika seorang hamba sudah terbuka hatinya dengan sifat kesempurnaan maka seorang hamba akan berhasil dan sukses meraih derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah) seperti halnya kaRamahnya Imam Syibli: seandainya sirri-ku (rûh-ku) melihat ‘arsy-nya Allah dan kekuasaannya Allah, maka niscaya rûh-ku akan terbakar. Secara umum sesungguhnya bagi orang yang cinta kepada Allah setelah hangus terbakarnya semua satir (penghalang) maka dia akan masuk pada derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah).
Al-Syathh adalah gerakan-gerakan yang samar bagi orang yang sudah menemukan Allah ketika kuatnya penemuan kepada Allah, ibarat air yang banyak yang mengalir pada tempat yang sempit, maka air tersebut akan melober.
Zawal al-Hijab adalah hilang penghalang antara hamba dan tuhannya, sebagaimana komentar Abu Yazid al-Busthami: Allah mempunyai beberapa hamba ahli ibadah seandainya surga dan segala hiasannya di nampakkan kepadanya maka dia akan berteriak ketakutan dan lari dari surga seperti berteriak dan ketakutannya penduduk neraka dari neraka. Karena surga adalah penghalang baginya untuk bertemu kepada Allah.
Allah itu inti sari bagi ahli ibadah, jika mereka melihat Allah di surga terhalang satu jam olehnya maka mereka minta tolong untuk keluar dari surga seperti ahli neraka minta tolong untuk keluar dari neraka.
Gholabah al-Syuhûd adalah sebuah tempat yang tertinggi, yang tidak ada tempat setelahnya tempat tersebut, suatu masa setelahnya masa tersebut (yang tidak bisa di hitung dan tidak bisa direkayasa adanya), (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 246-257).
Selanjutnya adalah pembagian atau macam-macam dzikir dalam pelaksanaannya.
- Dzikir dengan lisan yang memiliki pahala sepuluh kebaikan,
- Dzikir dengan hati memiliki tujuh ratus kebaikan, dan
- Dzikir yang pahalanya tidak dapat dihitung.
Yakni, memenuhi hati dengan mahabah dan malu kepada Allah. Sahal bin Abdullah berkata: ”tidak semua orang orang yang mengaku itu memang berzikir”. Beliau ditanya tentang dzikir lalu beliau menjawab dzikir itu mewujudkan ilmu dengan menyakini bahwa Allah itu menyaksikanmu, maka kamu melihatnya dengan hatimu dan dekat darimu dan kamu malu kepadanya, kemudian berperangailah pada jiwa dan tingkah lakumu.
Sementara itu, ada dua cara untuk ber-zikir.
- Dengan membaca tahlil, tasbih, dan membaca Alquran,
- Menggerakkan hati sesuai dengan syarat-syarat mengesakan Allah SWT, Nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan menyebarkan kebaikan-Nya, melestarikan taqdir-Nya atas semua makhluk, maka dzikirnya orang yang mengharap Rahmat itu atas janji Allah SWT dan dzikirnya orang yang takut kepada Allah itu atas dasar ancaman Allah SWT. Dan dzikirnya orang yang tawakkal itu atas dasar kecukupan rizki yang diberikan oleh Allah SWT, dan dzikirnya orang yang mencintai Allah itu atas dasar diluaskan nikmat. Imam as-Syibli mengatakan bahwa hakikat zikir itu adalah lupanya orang yang berdzikir yakni lupanya segala sesuatu selain Allah SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 200).
عَنْ أَبِي ذَرْ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَعِّدْنِيْ مِنَ النَّارِ، قَالَ: إِذَا عَمِلْتَ سَيِّـئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً عَلَى أَثْرِهَا فَإِنَّهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ. مِنَ الْحَسَنَاتِ لَآإِلٰهَ إِلَّاالله؟ قَالَ: مِنْ أَكْبَرِ الْـحَسَنَاتِ
Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari dia berkata “Wahai Rasûlullah, tunjukkanlah padaku satu amal yang bisa mendekatkanku ke surga dan bisa menjauhkanku dari neraka”. Rasûlullah bersabda: “Ketika engkau melakukan amal jelek maka lakukan amal kebaikan setelah melakukan amal jelek karena amal kebaikan pahalanya 10 kali amal jelek”. Kemudian aku bertanya kepada Rasûlullah, “Wahai Rasûlullah apa kebaikan mengucap لاإله إلاالله ” Rasûlullah menjawab, “ucapan itu merupakan kebaikan yang paling besar”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ juz 2 halaman: 361).
Dzikir sendiri terbagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat atau derajat, yaitu sebagai berikut:
وَالذِّكْرُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: ذِكْرُ الْعَامِّ وَهُوَ بِاللِّسَانِ وَقَلْبُهُ غَافِلٌ، وَذِكْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ بِاللِّسَانِ وَقَلْبُهُ حَاضِرٌ، وَذِكْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ بِالْقَلْبِ حَاضِرٌ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: ٧٨
Tiga kategori tersebut adalah:
- Dzikirnya orang awam, yaitu dengan lisan, sedangkan hatinya lupa.
- Dzikirnya orang khash (khusus), yaitu dengan lisan sedangkan hatinya hadir,
- Dzikirnya orang akhash (paling khusus), yaitu dengan hati yang hadir (tanpa lisan), (Jami’ul Ushul fil Auliy’, halaman: 78).
Selain itu, dijelaskan pula empat pembagian zikir yang diterangkan di dalam kitab Nasy’atut Tasawuf;
- Dzikir dengan lisan.
- Dzikir dengan qalbi.
- Dzikir dengan sirrî.
- Dzikir dengan rûh.
Apabila “dzikir ruh” sudah benar, maka “dzikir sirri”, qalbi, dan lisan akan diam dari dzikir. Inilah yang kemudian disebut dengan dzikir musyahadah. Dan apabila “dzikir sirri” sudah benar, maka hati dan lisan diam tidak berdzikir dan hal ini disebut dengan dzikir haibah dan apabila dzikir qalbi sudah benar, maka lisan akan lamban untuk berdzikir dan inilah yang disebut dengan dzikir allai dan dzikir na‘mai. Dan apabila hati lupa berdzikir, maka yang dzikir adalah lisannya dan hal ini disebut dengan dzikir ibadah, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islami, halaman: 162).
Kemampuan hati dapat terasa dan semakin jernih tatkala secara ajeg dan rutin terus diajak untuk berdzikir. Dzikir tidak hanya menjadikan hati lebih jernih, dzikir juga bisa menjadi obat penenang tatkala hati sedang gunda. Segala penyakit hati seperti hasud, sombong, buruk sangka, dan berbagai penyakit hati lainnya dapat sembuh dengan dzikir.
قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: ذِكْرُ اللهِ شِفَآءُ الْقُلُوْبِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: ١٦٤
Nabi SAW bersabda: Berdzikir kepada Allah SWT adalah pengobat hati, (Jami’ul Ushul fi al-Auliya’, halaman: 164).
Disamping dzikir menjadikan hati tenang, dzikir juga menjadikan hidup seseorang menjadi lebih mudah. Sebagaimana hal ini sering kita jumpai pada orang-orang khash, hidup mereka lebih tentram dan tenang, hidup mereka sederhana namun tercukupi.
وَقَالَ: «مَجَالِسُ الذِّكْرِ تَنْزِلُ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَتَحُفُّ بِهِمْ الْمَلآئِكَةُ وَتَغْشَاهُمْ الرَّحْمَةُ وَيَذْكُرُ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ»….وَقَالَ: «وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا»، (جامع الأصول في الأولياء، ص: ١٦٥
Rasulullah SAW bersabda: “Majelis dzikir diturunkan kepada mereka ketenangan, para malaikat mengitari mereka, mereka diliputi Rahmat, dan Allah SWT pun berdzikir di Arsy-Nya”….. Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari dzikir kepada-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit”, (Jami’ul Ushul fi al-Auliya’, halaman: 165).
وقال: لَمْ أَجِدْ السُّرُوْرَ إِلَّا فِى ثَلَاثِ خِصَالٍ: التَنَعُّمُ بِذِكْرِ اللهِ، وَاليَأْسُ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَالطُّمَأْنِيْنَةُ قَبْلَ أَنْ تَتَرَكَّهُ
Yahya bin Muadz berkata, “aku tidak menemukan kebahagiaan kecuali tiga hal.
- Menemukan kenikmatan dalam berzikir.
- Putus asa dari manusia.
- Merasa tenang dengan zikir yang dijanjikan Allah”, (Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, juz 8, halaman: 129).
Salah satu keuntungan yang didapat dari majelis dzikir adalah adanya jaminan keselamatan akhirat bagi siapapun yang turut serta dalam majelis itu. Baik yang ahli ibadah, maupun yang tidak, Allah SWT akan memenuhi permintaan dan memberikan ampunan bagi setiap orang yang turut serta dalam majelis dzikir tersebut.
وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ لِلهِ مَلاَئِكَةً سَيَّارَةً فُضْلًا يَتَّبِعُوْنَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوْا مَجْلِسًا فِيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوْا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَؤُوْا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ فَيَسْأَلُهُمْ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ – وَهُوَ أَعْلَمُ – : مِنْ أيْنَ جِئْتُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي اْلأَرْضِ، يُسَبِّحُوْنَكَ ويُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ وَيَسْألُوْنَكَ. قَالَ: وَمَاذَا يَسْألُوْنِيْ؟ قَالُوْا: يَسْألُونَكَ جَنَّتَكَ. قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ؟ قَالُوْا: لَا، أَيْ رَبِّ. قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ؟ قَالُوْا: ويَسْتَجِيْرُوْنَكَ. قَالَ: وَمِمَّ يَسْتَجِيْرُوْنِيْ؟ قَالُوْا: مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ. قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا نَارِيْ؟ قَالُوْا: لَا، قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ؟ قَالُوْا: وَيَسْتَغفِرُوْنَكَ؟ فَيَقُوْلُ: قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ، وَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوْا، وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوْا. قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: رَبِّ فِيْهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ. فَيَقُوْلُ: وَلَهُ غَفَرْتُ، هُمُ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ. (رياض الصالحين، ص ٥٤٨
Di dalam riwayat Muslim dikatakan, dari Abu Hurairah RA., dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sungguh Allah mempunyai malaikat-malaikat yang mulia yang selalu berjalan-jalan mencari majelis dzikir, apabila mereka mendapatkan suatu majelis yang dipergunakan untuk berdzikir, maka mereka duduk di situ dan masing-masing malaikat membentangkan sayapnya, sehingga memenuhi ruangan yang berada di antara ahli dzikir dan langit dunia. Apabila ahli dzikir itu telah kembali ke rumah masing-masing, maka para malaikat itu naik ke langit, dan kemudian ditanya oleh Allah ‘azza wa jalla padahal Allah telah mengetahui: “Dari mana kalian datang?” Para malaikat menjawab: “Kami baru saja mendatangi hamba-Mu di bumi yang membaca tasbih, takbir, tahlil, tahmid dan memohon kepada-Mu.” Allah bertanya: “Apakah yang mereka minta?” Malaikat menjawab: “Mereka minta surga.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Allah bertanya: “Bagaimana jika mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat menjawab: “Mereka juga mohon diselamatkan.” Allah bertanya: “Mereka mohon diselamatkan dari apa?” Para malaikat menjawab: “Dari neraka-Mu.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab: “Mereka juga memohon ampun kepada-Mu.” Allah berfirman: “Aku telah mengampuni mereka, maka Aku akan memenuhi permohonan mereka dan akan menjauhkan mereka dari apa yang mereka mohon untuk diselamatkan.” Para malaikat berkata: “Wahai Tuhan, di dalam majelis itu ada si Fulan, seorang hamba yang banyak berdosa, ia hanya lewat kemudian ikut duduk bersama mereka.” Allah berfirman: “Kepada Fulan pun Aku mengampuninya. Mereka semua adalah termasuk ahli dzikir, yang tidak seorang pun yang duduk di situ akan mendapatkan celaka”, (Riyadhus-Shalihin, halaman: 548).
يَرْجُوْ النَّجَاةَ وَلَمْ يَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَاتَجْرِى عَلَى الْيَبِسِ
Seseorang berharap keselamatan namun tidak mau berjalan di jalan keselamatan. Sungguh, perahu tidak berjalan di atas daratan (Tanwir al-Qulub, halaman: 443).
Berikut ini adalah Hadis yang menjelaskan etika berdzikir dengan menggunakan tasbih;
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِى عَمْرٌو أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ أَبِى هِلَالٍ حَدَّثَهُ عَنْ خُزَيْمَةَ، عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيْهَا: أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ: أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا اَوْ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الْأَرْضِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلَ ذٰلِكَ، (سنن أبى داود، ج ١، ص: ٣٤٨
Ahmad bin Shalih menceritakan kepadaku, Abdullah bin Wahbin menceritakan kepadaku, Amr mengabariku bahwa Sa’id bin Abi Hilal menceritakan kepadanya dari Khuzaimah, dari ‘Aisyah binti Sa’ad bin abi Waqash dari bapaknya ‘Aisyah: Sesungguhnya dia (ayahnya) bersama Rasûlullâh telah mendatangi seorang perempuan dan kedua tanganya terdapat biji kurma dan batu kecil (kerikil) untuk membaca tasbih, Nabi bersabda: “Aku mangabarimu dengan sesuatu yang lebih mudah (daripada biji kurma atau batu kecil) dan yang lebih utama? Nabi bersabda:
سُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الْأَرْضِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَالْحَمْدُ لِلهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَلَآ اِلَهَ إِلَّا اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ