Hakikat Niat, Ikhlas dan Kesungguhan.
ImÄm al-GhazÄlÄ« (w. 505 H)
Banyak perbuatan biasa menjadi bernilai karena terbungkus dalam niat yang bagus, sebagaimana banyak kewajiban menjadi tak bermakna lantaran niatnya yang tak lurus. Ketulusan membuat hidup semua tindakan.
Orang yang ikhlas tak dimotivasi oleh pengharapan akan pujian. Orang yang ikhlas beramal dengan kesungguhan dan termotivasi hanya oleh-Nya. Meski demikian, bagi orang yang bisa memahami, motivasi yang satu bisa melahirkan beberapa niat baik berbeda dari amal yang satu. ImÄm AbÅ« įø¤Ämid Muįø„ammad al-GhazalÄ« menjelaskan ini dalam salah satu bab pada kitabnya, Mukhtashar Iįø„yÄ’ ‘UlÅ«m ad-DÄ«n.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang sedang mereka menghendaki keridaan-Nya.” (al-An‘Äm: 52). Yang dimaksud dengan kehendak di sini adalah niat.
Nabi s.a.w. bersabda: “Amal itu tergantung pada niatnya.”
Beliau juga bersabda: “Manusia itu empat macam: orang yang Allah beri ilmu dan harta dan ia beramal dengan ilmunya dan hartanya, lalu seseorang berkata: “Kalau Allah memberiku seperti yang Dia berikan pada orang itu aku akan beramal seperti yang dia amalkan.” Keduanya mendapat pahala yang sama…”
Dalam hadits al-Ahnaf disebutkan: “Jika dua muslim saling menghunus pedang, maka yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama di neraka.” Maka dikatakan kepada RasÅ«lulÄh: “Ya RasÅ«l, kalau yang membunuh ya wajar, tapi apa dosa yang terbunuh?” RasÅ«lullÄh menjawab: “Itu karena dia juga berniat membunuh saudaranya.”
Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa memakai wangi-wangian karena selain Allah, di hari kiamat ia akan muncul dengan aroma yang lebih busuk dari bangkai. Dan siapa memakai wangi-wangian karena Allah, di hari kiamat ia akan muncul dengan aroma yang lebih harum dari misik.”
Hakikat Niat
Niat, iradat, dan kehendak adalah kata-kata yang mempunyai satu makna, yakni keadaan dan sifat hati yang mengandung kaitan antara ilmu (pengetahuan) dan amal. Pengetahuan seperti pendahuluan dan syarat. Sedangkan amal mengikutinya.
Niat berarti iradat (keinginan) yang berada di tengah-tengah antara pengetahuan yang mendahului dan amal yang mengikuti. Seseorang mengetahui sesuatu, lalu timbullah keinginan untuk melakukan apa yang ia ketahui itu.
Nabi s.a.w. bersabda: “Niat mukmin lebih baik dari amalnya, dan niat fasik lebih buruk dari amalnya.” Jika dibandingkan antara amal tanpa niat dan niat tanpa amal, maka tentu niat tanpa amal lebih baik dari amal tanpa niat. Jika ditakar antara amal yang didahului niat dengan niat tersebut, maka niat pun lebih baik, karena niat adalah iradat yang timbul dari pangkal ilmu dan lebih dekat ke hati. Karenanya, bagaimanapun niat orang beriman lebih baik dari amalnya, seperti disinggung hadits tadi.
Amal itu terbagi menjadi: kemaksiatan, ketaatan, dan hal-hal mubah. Bila suatu amal adalah kemaksiatan, maka ia tak akan berubah menjadi ibadah lantaran niat. Sedangkan ketaatan, tentu harus disertai niat; tak akan menjadi ketaatan bila tanpa niat, dan tanpa tetapnya niat. Niat yang bagus melipat-gandakan nilai ketaatan. Suatu perbuatan boleh jadi satu dari segi jumlah, tapi bisa menjadi berbagai ibadah sekaligus lantaran niat yang bagus. Misalnya, bila duduk di masjid lalu berniat menziarahi Allah – sebagaimana disebutkan dalam suatu khabar: “Siapa duduk di masjid, ia telah menziarahi Allah. Patutlah yang diziarahi memuliakan peziarahnya,” – dan berniat menanti (waktu) shalat – dan penunggu shalat seperti sedang shalat – dan berniat iktikaf di masjid, berniat mencegah badan dari berbuat maksiat dan berlindung di masjid, serta berniat menyimak zikrullÄh dan bacaan al-Qur’Än, maka semua ini adalah kebaikan yang timbul dan dihasilkan dengan niat.
Adapun hal-hal mubah, bisa menjadi ibadah dengan niat yang bagus. Seni ini patut diperhatikan. Termasuk di dalamnya, segala gerak dan diam bisa menjadi ibadah dengan niat yang bagus. Dengan demikian seseorang tak menyia-nyiakan umurnya barang sesaat pun, dan berbeda dari binatang karenanya – karena di antara sifat binatang adalah melakukan apa yang diingininya tanpa tujuan dan niat. Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya hamba akan ditanya pada hari kiamat tentang segala hal, hingga tentang celak di kedua matanya, tentang lumuran tanah di sela-sela jemarinya, dan tentang pemakaian baju saudaranya olehnya.”
Siapa memelihara amal-amalnya supaya berlangsung sesuai dengan niat dan niat baik, ia termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah. Allah telah berfirman: “Tiada suatu perkataan pun yang ia ucapkan, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QÄf: 18).
Seorang ulama salaf bertutur: “Aku menulis sepucuk surat, lalu aku ingin merekatnya dengan tanah liat dari rumah tetanggaku, tapi aku segan. Aku lalu berpikir, tanah? Ah apa artinya tanah? Maka aku pun merekatnya dengan tanah dari tetanggaku. Lalu aku mendengar bisikan gaib: Siapa meremehkan tanah, akan mengetahui kelak buruknya pemeriksaan yang akan dijalaninya.”
Seseorang shalat bersama ats-TsaurÄ«, lalu melihat bajunya terbalik. Ia tunjukkan itu pada ats-TsaurÄ«. Ia pun ulurkan tangannya untuk membenahinya. Ats-TsaurÄ« mencegahnya dan tidak merapikannya. Orang itu bertanya tentang sikap ats-TsaurÄ« itu. Ats-TsaurÄ« menjawab: “Aku memakainya karena Allah dan tidak ingin merapikannya untuk selain Allah.”
Al-įø¤asan berkata: “Ada orang yang memegangi tetangganya di hari kiamat lalu berkata: “Di antara aku dan kau ada Allah.” Si tetangga itu pun berkata: “Demi Allah aku tak mengenalmu.” Orang itu berkata: “Benar, Engkau telah mengambil bata dari dindingku dan mengambil sehelai benang dari bajuku.”
Niat Tak Dapat Dipaksakan
Barang kali orang bodoh mendengar pembicaraan kami mengenai niat lalu ia berkata: aku niat belajar karena Allah, atau berdagang karena Allah, atau makan karena Allah. Waspadalah. Itu hanyalah bisikan diri dan perpindahan dari satu keinginan ke keinginan lain, sedangkan niat hal yang lain lagi. Niat adalah terdorong dan condongnya diri kepada tujuan yang diinginkannya dan penting baginya, baik dalam waktu dekat ataupun tidak. Bila kecondongan itu tidak berada dalam batin, maka tak mungkin ia dihasilkan dan diwujudkan dengan usaha dan memaksa diri; itu sebatas perpindahan pikiran dari sesuatu ke yang lain, seperti perkataan orang yang kenyang: aku berniat untuk lapar atau makan karena lapar, atau perkataan orang yang kosong hatinya: aku berniat mengasihi, mencintai, atau menghormati si fulan, sedangkan itu tak ada dalam hatinya, maka mustahil. Selama tidak didahului oleh sebab itu, belumlah terwujud dorongan diri, karena dorongan adalah respons terhadap ajakan dan tujuan yang menggerakkan. Misalnya nikah. Jika seseorang dikuasai syahwat dan ingin menikah, kemudian ia ingin memaksakan niat untuk mengikuti RasÅ«lullÄh s.a.w. dan sunah-sunahnya serta niat memperoleh anak yang saleh, maka hal itu tidak mungkin, karena dalam batinnya tak terdapat dorongan-dorongan ini, melainkan hanya syahwat semata.
Diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa mereka tertunda dalam melaksanakan sejumlah ibadah karena belum timbulnya niat. Sampai-sampai Ibn Sīrīn telat menyalati jenazah al-Ḥasan al-Bashrī. Ia berkata: belum timbul niat dalam diriku.
įø¤ammÄd ibn SulaimÄn, yang termasuk tokoh alim KÅ«fah, meninggal dunia. Lalu ats-TsaurÄ« ditanya: “Tidakkah anda menyalati jenazahnya?” Ia menjawab: “Andai aku mempunyai niat, tentu sudah kulakukan.”
ThÄwÅ«s tidak mau menyampaikan hadits kecuali dengan niat. Pernah ia dimintai hadits dan dia tak memenuhinya. Ia pun ditanya, dan ia menjawab: “Apakah kalian senang bila aku menyampaikan hadits tanpa niat? Jika aku punya niat, tentu sudah kulakukan.” Juga dikatakan kepada ThÄwÅ«s: doakan kami. Ia menjawab: “nanti sampai aku mempunyai niat.
Ikhlas
Allah berfirman: “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (al-Bayyinah: 5)
Allah juga berfirman: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang murni.” (al-Zumar: 3)
Nabi s.a.w. bersabda: “Allah berfirman: Ikhlas itu salah satu rahasia-Ku yang Ku titipkan dalam hati hamba-Ku yang Kucintai.”
Ada seseorang dari kaum Bani IsrÄ’Ä«l yang rajin beribadah. Ia beribadah kepada Allah dalam masa yang lama. Kemudian datanglah orang-orang kepadanya, mengatakan: “Di sini ada kaum yang menyembah pohon, bukan menyembah Allah.”
Ia marah mendengar itu. Ia kemudian mengambil kampaknya dan menyandangnya di atas pundaknya, lalu menuju pohon itu untuk menebangnya.
IblÄ«s menyambutnya dalam rupa seorang tua: “Hendak ke mana engkau?” kata IblÄ«s.
Si ‘Älim (‘Äbid) menjawab: “Aku mau tebang pohon ini.”
IblÄ«s bertanya: “Ada perlu apa engkau dengan pohon itu? Engkau tinggalkan ibadah dan kesibukanmu dengan dirimu, dan meluangkan diri untuk selain itu.”
“Sungguh ini termasuk ibadahku,” jawab si ‘Älim (‘Äbid).
“Aku tak akan membiarkanmu menebangnya,” sergah IblÄ«s.
Si ‘Älim (‘Äbid) pun berkelahi dengan IblÄ«s. Si ‘Älim (‘Äbid) membantingnya dan menduduki dadanya. Maka IblÄ«s berkata: “Lepaskan aku. Biar aku bisa bicara denganmu.”
Si ‘Älim (‘Äbid) pun berdiri meninggalkannya, lalu berkatalah IblÄ«s padanya: “Hai, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini darimu dan tidak mewajibkannya atasmu. Engkau tak menyembahnya. Dan engkau tak wajib menyeru orang-orang selainmu. Allah mempunyai nabi-nabi di muka bumi. Kalaulah Dia menghendaki, tentu Dia akan utus mereka dan memerintahkan mereka menebangnya.”
Berkatalah si ‘Äbid: “Aku harus menebangnya.”
IblÄ«s menyerangnya, namun si ‘abid mengalahkannya, membanting dan mendudukinya. IblÄ«s pun tak berkutik.
IblÄ«s lalu berkata kepadanya: “Maukah engkau mendapatkan sesuatu yang memisahkan aku dan engkau, dan lebih baik dan lebih berguna bagimu?”
“Apa itu?” jawab si ‘Äbid.
“Lepaskan aku biar aku bisa mengatakannya padamu,” kata IblÄ«s.
IblÄ«s pun mengatakan: “Engkau ini orang miskin yang tak punya apa-apa. Engkau meminta-minta kepada orang-orang yang memberimu nafkah. Tidakkah engkau senang bila engkau bersedekah kepada saudara-saudaramu, membantu para tetanggamu, serta menjadi kenyang dan tidak bergantung pada orang-orang.”
“Ya,” jawab si ‘Äbid.
IblÄ«s berkata: “Tinggalkan urusan ini dan aku akan menaruh dekat kepalamu setiap malam dua dinar. Setiap pagi engkau mengambilnya, lalu engkau beri nafkah buat dirimu, anak-anakmu, serta sedekah bagi saudara-saudaramu. Itu lebih berguna bagimu dan kaum muslimin daripada menebang pohon ini yang tertanam di tempatnya, yang tak merugikan ataupun bermanfaat buat mereka bila ditebang.”
Berpikirlah si ‘Äbid tentang apa yang IblÄ«s katakan. Ia pun berpikir: memang benar pak tua ini. Aku bukanlah seorang nabi, yang harus menebang pohon ini. Tidak pula Allah memerintahkan aku untuk menebangnya, yang membuatku berdosa bila tak menebangnya. Apa yang ia sebutkan lebih banyak manfaatnya.
Si ‘Äbid pun memintanya berjanji menepati imbalan itu dan bersumpah. Lantas kembalilah si ‘Äbid ke tempat ibadahnya.
Keesokan paginya si ‘Äbid mendapati dua dinar di dekat kepalanya. Ia pun mengambilnya. Demikian pula esoknya. Namun hari ketiga dan berikutnya ia tak mendapati apa-apa.
Ia pun marah, mengambil kampaknya dan menyandangnya di pundak.
IblÄ«s menyambutnya dalam rupa seorang tua. “Hendak ke mana engkau?” tanya IblÄ«s.
“Aku akan menebang pohon itu,” jawab si ‘Äbid.
“Engkau bohong. Demi Allah engkau tak mampu melakukannya dan tidak ada jalan bagimu menujunya,” kata IblÄ«s.
Si ‘Äbid pun mau membantingnya seperti sebelumnya pernah ia lakukan.
“Tak akan bisa,” kata IblÄ«s.
IblÄ«s malah memegang dan membanting si ‘Äbid, hingga ia seperti burung di hadapan IblÄ«s. IblÄ«s pun menduduki dadanya, seraya berkata: “Berhentilah engkau dari perbuatan ini atau aku akan membunuhmu.”
Si ‘Äbid tak lagi punya tenaga, dan berkata: “Engkau telah mengalahkanku. Lepaskan aku dan beri tahu aku bagaimana aku bisa mengalahkanmu dulu tapi kini engkau bisa mengalahkanku.”
IblÄ«s pun menerangkan: “Sebelumnya engkau marah karena Allah dan niatmu adalah akhirat, maka Allah menundukkanku di hadapanmu. Kali ini engkau marah karena dirimu dan dunia, maka aku berhasil menghajarmu.”
Hikayat ini senada dengan firman Allah: “Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas di antara mereka.” (al-įø¤ijr: 40).
Ma‘rÅ«f (al-KarkhÄ«) pernah memukul dirinya sendiri seraya berkata: “Hai diri, ikhlaslah, agar aku selamat.”
Hakikat Ikhlas
Segala sesuatu yang bisa tercemari, jika bersih dan murni dari hal yang mencemari, maka disebut murni (khÄlish). Perbuatan membersihkan dan memurnikan ini disebut ikhlas.
Allah berfirman: “Di antara tahi dan darah, susu yang murni (khalis), yang mudah ditelan orang-orang yang meminumnya.” (al-Naįø„l: 66)
Jika suatu perbuatan murni dari riyÄ’ dan karena Allah semata, maka perbuatan ini khÄlish (murni).
Pendapat Para Syekh tentang Ikhlas
Al-SÅ«sÄ« berkata: “Ikhlas itu berarti tak melihat ikhlas. Siapa yang menyaksikan ikhlas dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya membutuhkan ikhlas (pemurnian).”
Sahl (at-TustarÄ«) ditanya: “Apa yang paling berat buat nafsu?” Sahl menjawab: “Ikhlas, sebab nafsu tak punya andil dalam ikhlas.”
Ia berkata: “Ikhlas adalah bila diam dan gerak hamba hanya demi Allah semata.”
Al-Junaid berkata: “Ikhlas berarti memurnikan amal dari kekeruhan-kekeruhan.”
Al-Fudhail berkata: “Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riyÄ’, dan mengerjakan suatu amal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas ialah bila Allah membebaskan dari keduanya.”
Ada yang berkata: “Ikhlas itu murÄqabah (pengawasan terus-menerus) dan melupakan segala kenikmatan.”
WallÄhu a‘lam.”
Hakikat Kesungguhan
Allah berfirman: “Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”
Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya kesungguhan itu mengantar ke kebajikan, dan kebajikan mengantar ke surga. Orang yang suka bersungguh-sungguh akan ditetapkan sebagai shiddÄ«q di sisi Allah. Dan sesungguhnya dusta itu membawa ke kebejatan, dan kebejatan mengantar ke neraka. Orang yang suka berdusta akan ditetapkan sebagai pendusta di sisi Allah.”
Allah berfirman memuji IbrÄhÄ«m: “Ceritakanlah dalam KitÄb ini kisah IbrÄhÄ«m. Sungguh ia seorang shiddÄ«q dan seorang nabi.” (Maryam: 41).
Makna ShiddIq
Kata shidq (kesungguhan) digunakan dalam enam hal: kesungguhan dalam perkataan (jujur), kesungguhan dalam niat dan iradat (tulus), kesungguhan dalam berkemauan (penuh tekad), kesungguhan dalam menepati kemauan (sungguh-sungguh), kesungguhan dalam berbuat, dan kesungguhan dalam merealisasikan semua ajaran agama. Siapa saja mempunyai semua kesungguhan ini, maka dialah shiddÄ«q. Dan siapa yang mempunyai sebagian di antaranya, maka ia disebut shÄdiq. WallÄhu a‘lam.