Pengertian Shufi dan Tashawwuf.
Para ‘Ulamā’ memberikan pengertian berbeda-beda atas makna shūfī dan tashawwuf. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ سَمِعَ صَوْتَ اَهْلِ الصُّوْفِ يَدْعُوْنَ فَلَمْ يُؤْمِنْ عَلَى دُعَائِهِمْ كُتِبَ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Barang siapa mendengar suara ahli tashawwuf yang sedang berdo’a dan dia tidak mengucapkan amin atas do’anya maka dia termasuk golongan orang yang lalai.” (Tahdzīb al-Asrār fī Ushūl at-Tashawwuf, halaman: 11).
Berikut ini pendapat para ‘ulamā’ shūfī tentang pengertian shūfī dan tashawwuf yang dijelaskan dalam kitab Tahdzīb al-Asrār fī Ushūl at-Tashawwuf, halaman: 11-22:
1). Ibrāhīm bin Adham, Tashawwuf adalah luhurnya sebuah tujuan yang dicita-citakan setiap umat agar terhindar dari tergelincirnya langkah dan melakukan zuhud (mencegah) dari apa-apa yang dihalalkan oleh Allāh s.w.t., bukan dari sesuatu yang diharamkan Allāh s.w.t.
2). Sarrī as-Saqathī, shūfī adalah seseorang yang tidak pernah padam dari cahaya ma‘rifat Allāh s.w.t. sebab cahaya sifat wirā‘ī dirinya, orang yang tidak berbicara dengan bāthin ilmu yang bisa merusak zhāhirnya ilmu, orang yang tidak tertarik dengan kemuliaan yang bisa merusak batas-batas aturan.
3). Dzun-Nūn al-Mishrī, ketika di tanya apakah tashawwuf itu lafazh yang musytaq atau julukan? beliau berkata: Tashawwuf adalah menutupi dan menyimpan amal yang bisa menyebabkan riyā’.
4). Syaikh Imām al-Junaidī, tashawwuf adalah;
- Meninggalkan ikhtiyār.
- Menjauhi sesuatu yang tidak pantas.
- Seseorang yang mempunyai 8 sifat yaitu sakhā’ (dermawan), shabar, ridhā, isyārah, ghurbah (menyendiri), berpakaian shūfī, siyāḥah (perjalanan ruhani), dan merasa faqīr.
Al-Junaidī juga menjelaskan bahwa orang shūfī memiliki tiga sifat, yakni:
- Bagaikan bumi, yang semua orang menempatinya baik orang yang taat atau orang tidak taat.
- b. Bagaikan mendung yang menaungi siapa saja.
- c. Bagaikan hujan yang menyirami orang taat dan yang tidak taat.
5). Abū Ja‘far al-Naisābūrī, shūfī adalah seseorang yang perilaku dan perbuatannya suka memaafkan (pemaaf), mengajak untuk berbuat kebaikan (amar ma‘rūf), dan menjauhi dari sifat-sifat bodoh.
6). Abū ‘Utsmān al-Ḥairī, siapakah orang shūfī itu? Beliau berkata:
- Orang-orang mu‘min yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allāh… (QS. al-Aḥzāb: 23).
- Orang yang tidak membanggakan amalnya, karena orang yang membanggakan amalnya berarti meremehkan nikmat Tuhannya.
7). Abū Yazīd al-Busthāmī, Tashawwuf adalah membuang nafsu dalam ibadah, menyandarkan hati pada sifat ketuhanan, berperilaku dengan akhlaq yang luhur dan melihat Allāh s.w.t. secara utuh. Tashawwuf juga dapat ditinjau dari tiga sisi:
- Syarī‘at: membersihkan hati dari kotoran dan berperilaku baik pada sesama makhluq dan mengikuti Rasūl pada semua syarī‘atnya.
- Ḥaqīqat: tidak ada kejelekan, tidak ada kehidupan, tidak ada keburukan, terbebas dari menghamba kepada syahwat (nafsu), keluar dari syubhat, melebur sifat-sifat kemanusiaan, meninggalkan semua yang dicintai dan cukup dengan Allāh.
- Al-Ḥaqq: Allāh al-Ḥaqq memilih Shūfīkarena sifatnya yang bersih, sehingga dikatakan golongan yang bersih.
8). Sahl bin ‘Abdullāh, Shūfī adalah orang yang darahnya selalu dialirkan, miliknya selalu dimubahkan, tidak melihat sesuatu kecuali dari Allāh, mensucikan Allāh pada semua ciptaan-Nya. Dan tashawwuf adalah: Menghindari perselisihan, merasa tenang terhadap Allāh s.w.t, berlindung kepada Allāh s.w.t, dan menjauhi makhluq.
9). Abū Ḥusain al-Nūrī, tashawwuf ialah meninggalkan semua bagian nafsu, bisa menguasai waktu. Dan orang Shūfī adalah; mereka yang merasa tenang ketika tidak ada, dan mengalah ketika ada, mereka yang meninggalkan kepentingan nafsu dan memilih kepentingan Allāh s.w.t, serta mereka yang menemukan dan memahami keberadaannya.
10). Jābir bin Dāwūd, tashawwuf ialah mengharapkan Allāh yang Ḥaqq pada makhluk tanpa perantara makhluq.
11). Muḥammad bin ‘Alī al-Tirmidzī, orang Shūfī ialah orang yang tujuan dan cita-cita utamanya adalah Allāh yang Ḥaqq.
12). Abū-l-‘Abbās bin Masrūq, orang yang berpura-pura tashawwuf akan disiksa dengan siksa yang tidak pernah diberikan kepada seorang makhluq di alam ini, sedangkan orang yang ber-tashawwuf dengan sungguh-sungguh akan diberi keni‘matan yang tidak pernah diberikan kepada seorang makhluq di alam ini.
13). Muznī al-Kabīr, tashawwuf adalah berbudi pekerti dan mengosongkan tangan dari beberapa harta dan membersihkan jiwa dari berangan-angan serta menjaga Allāh yang Ḥaqq pada setiap keadaan.
14). Al-Walīd bin Qāsim, tashawwuf adalah menjaga gerak-gerik sifat dari mengikuti jejak syahwat (hawa-nasfu) dan bersegera memilih Allāh yang Ḥaqq dalam segala keinginanya.
15). Abū Ḥusain bin Hindun, tashawwuf adalah memurnikan cinta.
16). Al-Kattānī, tashawwuf berarti bersih dan menyaksikan, tashawwuf juga berarti budi pekerti, seseorang yang tambah tashawwuf-nya berarti bertambah pula akhlaqnya. Orang Shūfī ialah orang yang ta‘at dan ketika beribadah dianggap masih melakukan kesalahan dan membutuhkan banyak istighfār.
17). Abū ‘Alī ar-Rudzbārī, tashawwuf adalah:
- Membersihkan budi pekerti dari kotoran seorang hamba.
- Nama untuk orang-orang yang dipercaya oleh Allāh dan orang-orang yang dicintai oleh Allāh.
- Menetap atau mendiami pada pintu Allāh sekalipun ditolak.
- Membatasi kebebasan, dan
Abū ‘Alī al-Rudzbārī juga berkata bahwa: Shūfī ialah barang siapa yang melepas setiap gerakan dengan berfikir dan tunduk pada jalur takdir serta tidak memperoleh teman kecuali secukupnya.
18). Ḥusain bin Manshūr, Shūfī adalah:
- Seseorang yang tidak bisa menerima orang lain dan tidak diterima orang lain.
- Seseorang yang mempunyai sifat dari Allāh s.w.t.
- Orang yang mempunyai sifat seperti yang di-isyārah-kan oleh Allāh s.w.t. di dalam al-Qur’ān.
19). Asy-Syiblī, Shūfī adalah:
- Orang yang selalu menepati janji-janji Allāh s.w.t.
- Orang yang tidak memandang di dunia dan akhirat bersama dengan selain Allāh s.w.t.
- Orang yang memutuskan hubungan yang tidak bisa menjadi lantaran kepada Allāh s.w.t. seperti yang dilakukan oleh Nabi Mūsā yang memutskan hubungannya dengan kaumnya sehingga melakukan khalwat (menyendiri).
- Orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu.
- Bagaikan anak kecil yang berada dipangkuan Allāh s.w.t. (dalam kekuasaan) yang Ḥaqq.
Imām as-Syiblī juga mengatakan bahwa tashawwuf adalah membatasi gerakanmu dan menjaga setiap nafasmu, serta terjaga dari memperhatikan alam semesta (perhatiannya hanya kepada dunia).
20). Ruwaim, tashawwuf adalah:
- Permulaan menggunakan ruh jika mampu, jika tidak mampu jangan sekali-kali sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna.
- Meninggalkan keutamaan di antara dua hal dan melakukan segala ‘amal kebaikan.
Imām Ruwaim juga berkata: Shūfī ialah melakukan segala ‘amal kebaikan.
21). ‘Amr bin ‘Utsmān al-Makkī, orang Shūfī adalah orang yang menggunakan keutamaan waktu yang ada.
22). Abū-l-‘Abbās bin ‘Athā’:
- Orang Shūfī adalah orang yang jiwanya bersih dari kotoran dan sifat-sifat indrawi.
- Keutamaan orang Shūfī adalah mengalahkan seluruh manusia dengan kepasrahannya.
- Permulaan tashawwuf adalah sālik berdiri di hadapan Allāh yang Ḥaqq sepertihalnya mayit bearada di tangan orang yang sedang memandikannya, mayit tetap dalam kekuasaan orang yang memandikan dan tidak ada pilihan lain bagi mayit tersebut.
23). ‘Abbās al-Jarīrī, Shūfī adalah tidak menghiraukan terhadap keni‘matan yang dianggap baik dan cobaan yang dianggap jelek. Sedangkan tashawwuf adalah:
- Memperhatikan keadaan hati dan tetap teguh pada akhlaq/etika.
- Manusia yang paling utama ketika menyibukkan dirinya dengan memanfaatkan semua waktu yang ada.
24). Qays bin ‘Abd-il-‘Azīz, tashawwuf adalah sabar terhadap rekayasa nafsu dan menghindari sesuatu yang dianggap jinak.
25). Aḥmad Rajā’ al-Makkī, orang Shūfī adalah orang yang cara makannya seperti orang yang sakit dan tidurnya seperti orang yang tenggelam, sedangkan tashawwuf ialah tunduk kepada Allāh yang Ḥaqq.
26). Yaḥyā al-‘Alawī, tashawwuf adalah menetapi (menguatkan) sirrī sampai tidak tersisa (habis).
27). Abū ‘Abdillāh al-Qurasyī, tashawwuf adalah mengawali dengan menghilangkan sifat-sifat insāniyyah (manusiawi) dan diakhiri dengan mengikat sifat-sifat ‘ubūdiyyah (menghamba).
28). Abū-l-Ḥadīd, tashawwuf adalah Allāh memuliakanmu di kerajaan-Nya seperti Allāh memuliakan selainmu di kerajaan-Nya. (tidak merasa lebih mulia dari orang lain/tawāddhu‘).
29). Abū Khashīb, tashawwuf adalah budi pekerti yang tidak sepatutnya digunakan kecuali untuk taat kepada Allāh s.w.t
30). Fāris al-Baghdādī, perilaku Shūfī ada 3, antara lain; sadar dan mengambil ‘ibārat, malu dan memohon ampun, serta menerima teguran dan menerima alasan.
31). An-Nashībī, Shūfī adalah orang yang tidak mengenal lelah untuk mencari Allāh s.w.t. dan tidak menggelisahkan sebab.
32). An-Nabājī, tashawwuf adalah mensucikan rahasia dari kotoran dengan berpaling pada selain Allāh yang Ḥaqq.
33). Abū Turāb an-Nakhsyabī, Shūfī adalah:
- Orang yang tidak mengotori segala sesuatu melainkan membersihkan segala sesuatu.
- Orang yang bersih karena Allāh s.w.t.
34). Samnūn al-Muḥibbī, tashawwuf adalah:
- Masuk dalam segala budi pekerti yang baik dan keluar dari segala budi pekerti yang jelek.
- Mengirimkan jiwa dalam hukum Allāh s.w.t.
35). Abū Muḥammad al-Murta‘isyu, Shūfī adalah tidak sebaiknya mendahulukan jejak cita-citanya (hawa-nafsu)
36). Abū Zayd al-Warrāq, tashawwuf adalah sebagaimana firman Allāh s.w.t.:
“Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allāh. Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)” (Q.S. al-Aḥzāb: 23)
رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلاً. الأحزاب: ٢٣
Dan sifat mereka adalah sebagaimana firman Allāh s.w.t. “….mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”, (Q.S. Ibrāhīm: 43)
لَايَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ.ابراهيم: ٤٣
37). Ibrāhīm al-Khawwāsh, tashawwuf adalah meninggalkan beban dan mengerjakan uasaha sampai tampak indah (berhasil dengan baik)
38). Abū Sa‘īd al-Ḥasan bin Yasār al-Bashrī, tashawwuf adalah senang dalam beribadah, mengerahkan kesunguh-sungguhan dan meninggalkan kesibukan perkara yang tidak ada gunanya.
39). Abū Sulaimān al-Dārānī, tashawwuf adalah pekerjaannya itu hanya Allāh yang mengetahui, serta bersama Allāh dan hanya Allāh yang mengetahui.
40). Abū Ya‘qūb al-Nahrajūrī ketika ditanya perihal tashawwuf, beliau berkata: mereka yang mengadu itu termasuk umat yang tertinggal, dan tashawwuf itu adalah membawa hati dengan menitipkan kehadiran kepada Allāh s.w.t. sehingga Allāh s.w.t. bercakap-cakap dengan hatinya.
41). Abū-l-Ḥasan as-Sanjārī, Shūfī adalah orang yang berpuasa dan shalat dengan menetapi ataupun berpaling, baik berzuhud dan menyepi sendiri, baik cepat dan pelan.
42). Al-Ḥasan bin Aḥmad al-Masūḥī, tashawwuf adalah memutus sesuatu yang menggantungkan kepadanya, mengambil dengan kebenaran, berbicara dengan lembut dan putus asa dari makhluk.
43). Abū ‘Alī al-Makkī, tashawwuf adalah tiga nama/sifat yang terkumpul yaitu; penetapan, keikhlasan dan kebinasaan, penetapan yang dimaksud adalah bersama Allāh s.w.t, dan keikhlasan itu dari sifat kemanusiaan dan kebinasaan dari akhlaq.
44). Mimsyād al-Dainūrī, tashawwuf adalah:
- Kejernihan rahasia dan ‘amal (perbuatan) karena untuk mencari ridha Allāh al-Jabbār, dan persahabatan dengan manusia tanpa usaha (mencari).
- Kecukupan, sedikit mengetahui manusia, dan meninggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya.
45). Abū ‘Alī al-Ḥasan al-Asfahānī, Shūfī adalah orang yang memakai pakaian kain wool (bulu domba) yang bersih, orang yang memakan hawa-nafsu dengan rasa pahit, orang yang membuang dunia di belakang tengkuk, dan mengikuti jejak Nabi s.a.w.
46). Abū ‘Alī al-Ḥasan, Shūfī adalah kaum pilihan, dia dipilih maka dia memilih.
47). Abū Ḥusain bin Jarīr, Shūfī adalah orang yang tidak terhalangi oleh bumi dan langit dan tidak tertutupi kecuali pandangan yang belawanan.
48). Abū Bakar Muḥammad bin Mūsā al-Wāsithī, Shūfī adalah orang yang ucapannya penuh dengan ibarat, serta hatinya menerangi jalan fikirannya.
49). ‘Alī bin Sahl, Shūfī adalah orang yang bersih dari bencana dan sirna dari melihat pemberian.
50). Qazuwainī, tashawwuf adalah ilmu yang diperoleh tanpa belajar dan tanpa usaha.
51). Abū Ja‘far al-Ḥaddād, tashawwuf adalah merasa tenang terhadap Allāh s.w.t., dan Lari dari makhluq.
52). ‘Ali bin ‘Abdullāh, tashawwuf adalah ilmu yang samar sifatnya tapi tetap hakikatnya.
53). Abul-Ḥusain al-Zanjānī, tashawwuf adalah bagusnya ‘amal (perbuatan), sempurnanya ‘ubūdiyyah (ibadah) dan merasa fakir kepada Allāh s.w.t. serta bagusnya orang yang mengikuti jejak Nabi Muḥammad s.a.w.
54). Abul-Ḥusain al-Warrāq, Shūfī adalah orang yang jika dihadapkan pada dua keadaan, maka dia akan memilih hal yang paling baik dan yang paling luhur.
55). Abū ‘Abdillāh bin Jallā’, Shūfī adalah:
- Orang yang fakir dan sunyi dari sebab.
- Orang yang selalu bersama Allāh s.w.t. di manapun berada dan dia tidak tercegah dari Allāh s.w.t. oleh setiap kedudukannya.
56). Ibnu Yazdāniyār, tashawwuf adalah orang yang menerima agama dengan baik, menjaga, membersihkan dan memenuhi.
57). Ghānim bin Sa‘īd, tashawwuf adalah memuliakan kefakiran dan mengagungkan Allāh yang Ḥaqq.
58). ‘Utsmān al-Maghribī, tashawwuf adalah keadaan hatinya bercampur kebingungan dan orang yang bingung tidak ada nama yang dikenal.
59). Abū Ḥatim al-‘Aththār, Shūfī adalah mereka para pemimpin yang membentangkan pemberitahuan.
60). Al-Quhthabī, Shūfī adalah orang yang mensifati seluruh zhahirnya sebagai pertanda dirinya, meremehkan segala sesuatu yang rusak (sesuatu selain Allāh), jiwanya resah meninggalkan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allāh s.w.t. (taqarrub), jiwanya memutuskan bukti dan fā’idah, keadaan jiwanya merasa lemah berhadapan dengan Allāh s.w.t.
61). Abū Bakar bin Sannān, tashawwuf adalah engkau menemukan kelemahan dalam dirimu, sehingga kekuasaan (Allāh) menjadi jelas terhadapmu.
62). Zanzānī, tashawwuf adalah menghilangkan kedudukan, tidak menghiraukan kehidupan dunia dan akhirat (lebih mementingkan bermu‘āmalah dengan Allāh), setiap orang yang kembali kepada Allāh maka dia telah mengesakan Allāh. setiap orang yang kembali kepada nafsunya maka dia telah menemukannya. Setiap orang yang kembali kepada makhluq maka dia telah menemukan mereka. Dan hal ini telah diketahui.
63). Yūsuf bin Ḥusain, beliau berkata:
- Tashawwufadalah menanggung resiko dalam bermu‘āmalah dengan Allāh sampai tidak menggunakan beberapa waktu yang dimakruhkan.
- Orang-orang terbaik dariShūfī adalah yang terbaik dari manusia, yang terjelek dari Shūfī adalah yang terjelek dari manusia, sehingga para Shūfīadalah yang terbaik atas segala keadaan.
- Setiap umat memiliki ahliShūfī, mereka adalah titipan Allāh yang keberadaannya dirahasiakan dari manusia.
64). Abū Bakar al-Warrāq, Shūfī adalah orang yang hatinya bersih dari macam-macam kotoran, hatinya selamat dari kejelekan orang lain, hatinya mengakar dengan sifat mengerahkan seluruh kemampuan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri (ngalah).
65). Abū Bakar bin Thāhir: Shūfī adalah orang yang tidak cinta dengan jin dan manusia dibanding Allāh (lebih mencintai Allāh), karena barang siapa yang cinta tanpa melibatkan Allāh maka dia tidak beruntung.
66). Az-Zaqāq, Shūfī adalah orang yang menjadikan pekerjaannya mengikuti kehendak orang lain (tidak mengecewakan).
67). Abū Ya‘qūb al-Muzābilī, tashawwuf adalah melenyapkan keadaan jiwa dalam sisi kemanusiaan (keadaan hati tidak ditunjukkan kepada manusia).
68). Hasnūn al-Dainūrī, tashawwuf adalah menjaga dzāt yang disembah, meninggalkan sesuatu yang tidak ada, dan mengambil sesuatu dari yang ada.
69). Abū Bakar az-Zahdābādī, tashawwuf adalah:
- Meninggalkan rasa aman dari ajakan nafsu.
- Tidak hidup kecuali dengan dzāt yang wajib wujudnya di dunia dan akhirat.
70). Abū Muḥammad al-Zanjānī, tashawwuf adalah mengeluarkan kesibukan dunia dari dalam hati.
71). Abū Bakar al-Ḥalanji, tashawwuf adalah jernih, yang berarti orang yang mendatangi panggilan hakikat, yaitu tidak berbohong.
72). Abū Ḥasan al-Sirwānī al-Kabīr, Shūfī adalah orang yang selalu bersama dengan al-Wāridāt (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) bukan bersama wirid.
73). Ja‘far bin Muḥammad bin Nashīr al-Khālidī, tashawwuf adalah menenggelamkan diri dalam ibadah, keluar dari (kebiasaan) manusia, dan melihat kepada Allāh secara menyeluruh.
74). Abū-l-Ḥasan al-Būsyanji, tashawwuf adalah meringkas harapan, melanggengkan ‘amal (ibādah), memperbanyak takut (kepada Allāh), dan menyedikitkan malas (beribadah kepada Allāh).
75). Abū Bakar ad-Dāqī, Shūfī adalah:
- Bangun tidur langsung berdzikir atau tafakkur sampai tertidur.
- Berhakikat dengan sungguh-sungguh bersama Allāh.
76). Abū ‘Abdillāh Aḥmad bin ‘Athā’ al-Rūdzabārī, Shūfī adalah orang yang merasa ni‘mat dengan cobaan karena dia tidak memandang terhadap cobaan itu, tetapi cara pandangnya kepada dzāt yang telah menentukan cobaan tersebut, Allāh telah menentukan cobaan itu kepadanya sehingga dia merasakan keni‘matan terhadap sesuatu yang telah ditentukan oleh Allāh. Pandangan tersebut berlandaskan karena cinta kepada Allāh sehingga antara cobaan dan nikmat terasa sama.
77). Umar bin Najīd, Shūfī adalah orang yang bersabar terhadap perintah dan larangan.
78). Abū Abdillāh bin Khafīf, tashawwuf adalah:
- Sabar atas berlakunya ketetapan Allāh dan mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil ‘amal yang ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka.
- Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan, meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allāh s.w.t. secara hakiki, mengikuti syarī‘at Rasūlullāh s.a.w.
- Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah dari Allāh s.w.t., berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan merasakan rasa yang sama ketika dipuji dan dicela.
79). Abū ‘Abdillāh bin Khafīf juga berpendapat, bahwa Shūfī adalah orang yang memperhatikan Allāh dengan sesuatu keadaan jiwa yang wajib dijaganya.
80). Abū Sahl: tashawwuf adalah berpaling dari pertentangan.
81). Abū Qāsim al-Nashrābādī: tashawwuf adalah cahaya dari Allāh yang Ḥaqq yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan getaran dari jiwa (khātir) yang berasal dari Allāh yang memberi tanda isyārat menuju kepada Allāh.
82). Ḥusain al-Ḥamīrī, Shūfī adalah:
- 1. Orang yang tidak gelisah dalam kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqām) ketetapannya.
- 2. KeberadaanShūfī ada dalam al-Wujdu (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan sifatnya dalah ḥijāb(penghalang).
- 3. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan langit tidak bisa menaunginya (menurut Hadits qudsi bahwa langit dan bumi tidak bisa memuat Allāh, yang bisa memuat Allāh hanya hati hamba Allāh)
لَايَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلَاسَمَائِيْ وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ التَّقِى. فيض القدير، ج ٢ حديث ٤٩٦٩
Dunia adalah alam jasmani sementara hati adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orang Shūfī.
- 4. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan tetapi barang siapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.
83). Abū Qāsim ar-Rāzī, tashawwuf adalah:
- Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan Allāh al-Ḥaqq.
- Tashawwufdapat membuahkan tawādhu‘, meninggalkan memandang selain Allāh dan meninggalkan merasa bahagia dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan orang-orang fakir, berbuat kebaikan kepada seluruh makhluq baik mu‘min dan kafir selama tidak merobohkan syarī‘at dan masuk pada kemakruhan.
84). Abū Bakar al-Ḥusainī al-Mukrī, tashawwuf adalah menjaga beberapa rahasia dan menjauhi hal-hal yang jelek.
85). Manshūr bin Muḥammad al-Sajzī, tashawwuf itu menyedikitkan makan, tidur, merendahkan nafsu, berusaha sekuat tenaga melaksanakan taat dan meninggalkan maksiat.
86). Ḥusain bin al-Mutsannā, tashawwuf adalah membersihkan hati dari segala getaran hati yang rusak, dan jiwa bisa merasakan adanya al-Washlu (diterima oleh Allāh).
87). Ruwaim al-Junaid, ketika ditanya apa itu tashawwuf dan hakikatnya. Beliau menjawab: Tashawwuf adalah ambillah lahirnya jangan engkau bertanya tentang hakikinya sehigga engkau bisa tenggelam di dalamnya. Lalu Imām Ruwaim berkata: Shūfī adalah orang yang melaksanakan taat kepada Allāh tanpa ada yang mengetahuinya kecuali Allāh.
Basysyār, Shūfī adalah orang yang dikhususkan oleh Allāh.
88). Abū Qāsim, Shūfī adalah orang yang bertambah ilmunya maka berkurang watak dasar kemanusiaannya, (Tahdzīb al-Asrār fī Ushūl at-Tashawwuf, halaman: 11-22).
Selanjutnya, Sayyidinā ‘Usmān bin ‘Affān berkata: Tashawwuf adalah mencari washīlah menuju keutamaan, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 1 halaman: 100). Keterangan lain menyebutkan bahwa tashawwuf adalah berakhlaq dengan akhlaq ketuhanan, (Mu’jam al-Kalimāt ash-Shūfiyyah, halaman: 22).
Berikut ini penjelasan beberapa ‘Ulamā’ tentang tashawwuf yang terdapat di dalam kitab Ḥilyah:
- Abū Yazīd al-Rabī‘ bin Khutsaim berkata: Sesungguhnya tashawwuf ialah memuliakan hati dan tidak menghiraukan unsur lahir/zhahir, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 2, halaman: 5).
- ‘Urwah bin Zubair, tashawwuf adalah menampakkan anugerah dan menyimpan cobaan, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 2, halaman: 70).
- Sālim bin ‘Abdillāh, tashawwuf adalah menetapi khudhū‘ (sifat tunduk) dan qunū‘ (sifat rendah diri) serta tidak berkeluh kesah, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 2, halaman: 70).
- Abū-l-‘Aliyyah, tashawwuf ialah ridhā dengan bagian yang diterima dan dermawan dengan keni‘matan, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 2, halaman: 112).
- Muḥammad bin Wāsi‘, sesungguhnya tashawwuf ialah khusyū‘ (tunduk), khumūl (menyembunyikan ‘amal yang baik dan menampakkan ‘amal yang buruk), qunū‘ (sifat rendah diri), dan dzubūl (sifat layu), (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 2, halaman: 238).
Menurut Imām Qusyairī terdapat ciri-ciri kepribadian dan perilaku orang Shūfī:
عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الْغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ. الرسالة القشيرية، ص: ١٢٦-١٢٧
Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;
- Seorang Shūfī Shādiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.
- Seorang Shūfī Kādzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risālah al-Qusyairiyyah,halaman: 126-127).
Sementara itu, maqām orang Shūfī ada tiga, di antaranya;
- Maqām Islām, kesempurnaan taqwā dan istiqāmah.
- Maqām Īmān, kesempurnaan thuma‘nīnah dan yaqīn.
- Maqām Iḥsān, adalah tingkatan yang tertinggi. Yaitu maqām di mana seorang hamba dapat ber-musyāhadah (melihat Allāh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allāh, (al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 84).
وَقِيْلَ: الصُّوْفِي مَنْ لَايَمْلِكُ شَيْئًا وَلَايَمْلِكُهُ شَيْءٌ
Dalam Jāmi‘ al-Ushūl fī al-Auliyā’ disebutkan bahwa Shūfī adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai oleh siapapun.
“Dikatakan bahwa seorang Shūfī adalah orang yang tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun.” (Jāmi‘ al-Ushūl fī al-Auliyā’, halaman: 329).
Kemuliaan dan keutamaan para Shūfī adalah bahwa mereka bisa mencapai Ḥaqīqat Īmān dengan mewujudkan tiang atau rukun-rukun Īmān yang di antaranya adalah Īmān kepada Qadar, (baik dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridhā, pasrah, kesempurnaan ma‘rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembira maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 69).
Fudhayl bin ‘Iyādh menceritakan kisah seorang raja yang terkenal dengan nama Sultan Hārūn ar-Rasyīd yang sedang mendengarkan nasihat seorang ‘ulamā’ Shūfī yang bernama Syaikh Rajā’ bin Ḥayāt yang mengatakan: “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allāh s.w.t. di akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri, apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku sangat khawatir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas-kasihan dan memintakan rahmat Allāh untuk anda?”
Seketika itu, Sultan Hārūn ar-Rasyīd menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan Hārūn ar-Rasyīd minta untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Rajā’ bin Ḥayāt berkata: “Wahai pimpinan orang-orang mu’min, sesungguhnya paman Nabi yang bernama ‘Abbās datang kepada Nabi lalu bertanya tentang kepemimpinan”. Nabi s.a.w. bersabda:
إِنَّ الْإِمَارَةَحَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَاتَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ
“Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah kesedihan dan penyesalan pada Hari Qiyāmat, jika engkau mampu untuk tidak jadi pemimpin maka lakukanlah”.
Mendengar nasihat ini Sultan Hārūn ar-Rasyīd menangis dengan keras lalu Sultan Hārūn ar-Rasyīd meminta nasihat lagi, Syaikh Rajā’ bin Ḥayāt berkata: Wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh Allāh tentang keadaaan ini pada Hari Qiyāmat, jika anda mampu untuk menjaga wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore dalam hati anda ada tipu-daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi s.a.w. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ لَهُمْ غَاشًّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu-daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.
Kemudian Sultan Hārūn ar-Rasyīd menangis, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 6 halaman: 341).