21.11.22

PONDASI THORIQOH

Syaikh Aḥmad Zarrūq asy-Syādzilī r.a. berkata: “Ada lima pondasi dalam thariqah kami, yaitu:
  1. Bertaqwa kepada Allah s.w.t. dalam keadaan sepi maupun ramai.
  2. Mengikuti Sunnah dalam perkataan dan perbuatan.
  3. Berpaling dari makhluk, tidak peduli mereka menerima atau meninggalkan.
  4. Ridhā atas pemberian Allah s.w.t., menerima yang sedikit maupun banyak.
  5. Senantiasa mengembalikan urusan kepada Allah s.w.t. dalam keadaan susah maupun bahagia.
Ketahuilah, bahwa ketaqwaan dinyatakan dengan sikap wara‘ dan istiqāmah, menghidupkan Sunnah berarti menjaganya dan berakhlak mulia, berpaling dari makhluk ditunjukkan dengan sabar dan tawakkal, keridhaan hati kepada Allah s.w.t. tampak dengan qanā‘ah dan pasrah, dan pujian rasa syukur di saat bahagia serta bergantung pada-Nya di kala sengsara adalah cerminan sikap pasrah mengembalikan usruan kepada Allah s.w.t.

Lima pondisi di atas bertumpu pada lima pondasi lainnya, yaitu:
  1. Semangant yang tinggi.
  2. Menjaga hal-hal yang diharamkan.
  3. Tulus dengan berkhidmah.
  4. Tekad yang kuat.
  5. Mengagungkan ni‘mat.
Barang siapa yang tingggi semangatnya maka tinggi-lah derajatnya, barang siapa yang menjaga batasan Allah maka Dia akan menjaganya, barang siapa yang tulus khidmahnya maka pasti akan muncul karamahnya, barang siapa kokoh tekadnya maka akan lestari hidayahnya, dan barang siapa yang sadar akan keagungan ni‘mat yang diberikan kepadanya tentu ia akan mensyukurinya dan tergolong sebagai orang yang bersyukur sehingga pasti akan mendapat tambahan ni‘mat dari Sang Maha Pemberi ni‘mat sebagaimana telah dijanjikan oleh-Nya.

Ada lima pondasi dalam ber-mu‘āmalah yaitu:
  1. Menuntut ilmu demi menunaikan kewajiban.
  2. Shuḥbah kepada para masyā’ikh dan ikhwān tharīqah untuk mendapatkan introspeksi diri.
  3. Meninggalkan keringanan-keringanan dan mencari-cari alasan demi tercapainya kedisiplinan.
  4. Mengatur waktu untuk membaca wirid supaya mencapai ḥudhūr (totalitas jiwa).
  5. Mengekang diri atas segala sesuatu agar dapat terlepas dari godaan nafsu dan selamat dari keburukan dan kerusakan.
Petaka dalam pencarian ilmu adalah mengutamakan bergaul dengan banyak orang yang usianya lebih muda (dengan pengertian) pikirannya sempit, ilmu agamanya dangkal tidak memiliki basic dasar penguasaan dalil maupun kaidah (hukum).

Petaka dalam kegiatan shuḥbah bersama masyā’ikh adalah terkecoh oleh penilaian dan merasa mendapat keunggulan.

Petaka dalam upaya meninggalkan berbagai keringanan dan mencari-cari sejumlah alasan adalah mengasihani nafsu.

Petaka dalam penentuan waktu wirid adalah banyaknya pertimbangan dalam melirik amalan yang mempunyai keutamaan.

Petaka dalam upaya mengekang nafsu adalah terlena dengan anggapan diri sudah merasa baik dan lurus. Berkenaan hawa nafsu, Allah s.w.t. berfirman:

وَإِنْ تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لَايُؤْخَذْ مِنْهَا

“Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima (tebusan) itu daripadanya.” (QS. al-An‘ām: 70).

Dan sebagaimana perkataan Nabi Yūsuf a.s. yang diabadikan dalam al-Qur’ān:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ إِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf: 53).

Pokok pengobatan bagi penyakit hati ada lima:
  1. Menyedikitkan makan.
  2. Berserah diri kepada Allah s.w.t. dalam setiap peristiwa yang terjadi.
  3. Menghindari tempat-tempat yang dikhawatirkan dapat menjerumuskan.
  4. Membaca istighfar dan shalawat secara dawām baik dalam keadaan khalwat maupun secara berjama‘ah.
  5. Shuḥbah dengan orang yang dapat membimbing menuju Allah atau membimbing pada perintah-Nya, dan orang seperti itu jarang.
Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. berkata: “Kekasihku telah berwasiat dan berkata kepadaku: “Janganlah engkau melangkahkan kedua telapak kakimu kecuali sekiranya dengan langkahmu itu engkau berharap pahala dari Allah, janganlah duduk kecuali pada tempat yang aman dari celah bermaksiat kepada Allah, janganlah berteman kecuali dengan orang yang dapat membantumu dalam ketaatan kepada Allah dan janganlah mengistimewakan siapa pun di hatimu kecuali seseorang yang menyebabkanmu bertambah dalam keyakinan, dan orang yang demikian itu sangat sedikit jumlahnya.”

Beliau juga berkata: “Barang siapa yang mengarahkanmu pada dunia maka ia telah menipumu, barang siapa yang mengarahkanmu pada amal maka ia akan membuatmu letih dan barang siapa yang mengarahkanmu kepada Allah, maka sungguh ia telah menasihatimu.”

Beliau berkata: “Jadikanlah ketaqwaan sebagai daerahmu niscaya ancaman hawa nafsu tidak akan pernah bisa membinasakanmu selama engkau tidak rela pada keburukannya atau selama engkau tidak terus-menerus dalam melakukan dosa dan atau selama rasa takutmu kepada Allah – dalam keadaan ghaib – tidak luntur.”

Syaikh Aḥmad Zarrūq r.a. berkata: “Faktor utama petaka/bencana ada lima perkara:
  1. Mengutamakan kebodohan daripada ilmu.
  2. Tertipu oleh setiap kebesaran nama.
  3. Gegabah dalam banyak perkara/urusan.
  4. Berbangga diri dengan tharīqah.
  5. Tergesa-gesa ingin segera mencapai futūḥ tanpa syarat (yang dipenuhi).
Kemudian lima hal tersebut memunculkan lima penyakit:
  1. Mengutamakan bid‘ah daripada sunnah.
  2. Mengikuti ahli bathin tanpa dasar kebenaran.
  3. Bertindak berdasarkan dorongan hasrat nafsu dalam setiap urusan, sedikit maupun banyak.
  4. Mendambakan hal-hal yang bathil bukan hakikat.
  5. Munculnya banyak pengakuan tanpa landasan kebenaran/kejujuran.
Lima penyakit di atas menyebabkan lima kerusakan:
  1. Rasa waswas dalam beribadah.
  2. Terbawa arus adat.
  3. Menghabiskan banyak waktu untuk sekedar sima‘ dan berkumpul bersama.
  4. Meraih perhatian hati orang lain sebanyak mungkin.
  5. Bersahabat dengan para pecinta dunia – bahkan para wanita dan anak-anak – karena terpesona dengan keadaan duniawi dan status sosial mereka.
Barang siapa yang telah mencapai derajat hakikat tentu ia akan mengerti bahwa sesungguhnya (menempuh) asbāb hanyalah sebagai rukhshah bagi orang-orang yang lemah dan orang yang berada pada maqām asbāb hendaklah ia berlaku sewajarnya tidak melebihi batas kebutuhannya karena upaya dalam menempuh asbāb/awā’id ibarat meminum ramuan obat (yang harus sesuai kadarnya) dan sebagai pelaksanaan pada hikmah yang hak. Oleh sebab itu tidaklah seseorang larut di saat menempuh asbāb kecuali ia dalam keadaan menjauhi Allah.

Ketahuilah, bahwa sima‘ merupakan rukhshah/keringanan bagi orang yang maghlūb (terhanyut) atau sekedar rāḥah/kesenangan bagi orang yang kāmil dan rāḥah itu sendiri adalah kemunduran pada tataran al-Ḥaqq yang terbentang luas (itupun) jika memang sesuai dengan syaratnya bagi ahlinya sesuai tempat dan adabnya.

Adapun sifat waswas merupakan bid‘ah dan kemunculannya disebabkan oleh kerancuan akal pikiran dan kebodohan pada sunnah, sedangkan sikap cari muka untuk mendapatkan perhatian makhluq berarti berpaling dari al-Ḥaqq Allah s.w.t. terlebih bagi seorang qārī yang bersekongkol (dalam keburukan) atau seorang pemberani yang lengah dan atau bagi seorang shūfī yang jahil.

Selain itu, shuḥbah dengan orang-orang yang muda belia merupakan suatu kegelapan dan ‘aib di dunia maupun akhirat dan menerima saran-sarannya menyebabkan bencana yang amat parah dan sangat berbahaya.

Berkenaan dengan hal ini Syaikh Abū Madyān r.a. menyatakan: “Orang yang muda/mentah adalah ia yang tidak mendukungmu dalam tharīqah walaupun ia adalah seseorang yang berusia 90 tahunan.”

Dan Syaikh Aḥmad Zarrūq r.a. berpendapat bahwa orang yang muda/mentah adalah ia yang tidak stabil dalam satu keadaan dan cenderung mudah menerima setiap apa yang dilontarkan kepadanya dan mudah terpukau. Gejala ini yang paling banyak ditemukan di kalangan para pengikut tharīqah dan para murid di majlis-majlis komunitas tharīqah, karena itu berhati-hatilah terhadap mereka dengan penuh kewaspadaan.

Barang siapa yang mengaku-ngaku bahwa ḥāliyyah (keadaan)-nya telah bersama Allah, lalu muncul salah satu dari lima sikap di bawah ini maka ia adalah pembohong atau tercerabut ḥāliyyah-nya, lima penyakit itu adalah:
  1. Tidak mengendalikan anggota badannya dari maksiat.
  2. Melakukan ketaatan secara pura-pura.
  3. Memiliki sifat thama‘ (mengharap-harap) pada makhluk.
  4. Bermusuhan dengan Ahlullāh.
  5. Tidak menjaga kehormatan kaum muslimin sebagaimana yang diperintahkan Allah.
Orang-orang yang terjangkit oleh penyakit di atas maka jarang sekali dari mereka yang meninggal dalam keadaan ḥusn-ul-khātimah.

Beberapa syarat bagi seorang syaikh yang layak diikuti oleh murid, yaitu:
  1. Memiliki perasaan yang peka.
  2. Memiliki ilmu yang benar.
  3. Mempunyai cita-cita yang tinggi.
  4. Memperoleh posisi yang diridhai.
  5. Mempunyai bashīrah yang nyata.
Kedudukan syaikh akan gugur apabila salah satu yang lima ini ada padanya:
  1. Bodoh terhadap agama.
  2. Mengorbankan kehormatan kaum muslimin.
  3. Ikut campur dalam masalah yang tidak bermanfaat.
  4. Dalam segala urusan cenderung mengikuti hawa nafsunya.
  5. Tidak memperdulikan keburukan akhlaknya.
Lima adab seorang murid kepada syaikh dan ikhwan:
  1. Tetap mengikuti perintah syaikh meskipun sepintas tampak tidak sesuai.
  2. Menjauhi larangannya walaupun larangan tersebut menyebabkan murid dalam keadaan sulit.
  3. Menjaga kehormatan syaikh ketika ia hadir ataupun ghaib, baik semasa syaikh masih hidup maupun setelah wafat.
  4. Memenuhi hak-haknya semaksimal mungkin tanpa mengurangi sedikitpun.
  5. Seorang murid hendaklah mengesampingkan pandangan pemikiran, ilmu dan kedudukannya kecuali (pengajuannya) atas persetujuan syaikhnya.
Meskipun di antara mereka sudah ada sosok syaikh yang membimbing namun dalam berinteraksi sesama ikhwannya seorang murid harus saling membantu mengingatkan (lima perkara tersebut) dengan nasihat dan pencerahan, dan apabila terdapat kekurangan dari sosok syaikh berkenaan syarat kemursyidan yang lima maka hendaklah seorang murid berpegang pada aspek kemursyidan yang dianggap telah sempurna sementara aspek lainnya disikapi secara ukhuwah.

Ḥāl (Keadaan) Ahlullāh.

Akhlak mulia adalah pondasi tharīqah dan pijakan utama bagi para ahli tashawwuf dalam membangun kualitas spiritualnya, Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ. رواه أحمد

“Aku telah diutus untuk benar-benar menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Imām Aḥmad).

Dalam riwayat lain, beliau bersabda:

مَا مِنْ شَيْءٍ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ. رواه الترمذي

“Yang paling berbobot dalam timbangan amal (kelak di akhirat) adalah akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzī).

Berdasarkan hal tersebut, Imām Abū Bakar al-Kittānī r.a. berkata: “Tashawwuf adalah akhlak, karena itu barang siapa yang telah membuatmu menjadi tambah berakhlak berarti ia sungguh telah menambah derajatmu dalam tashawwuf.”

Sayyid Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan: “Ada tiga hal yang termasuk akhlak para wali yaitu ketulusan jiwa, kemurahan hati dan berbaik sangka kepada hamba-hamba Allah.”

Dalam wasiat Sayyid Syaikh Muḥammad bin Shiddīq al-Ghumarī r.a. tampak jelas gambaran – bagaimana seharusnya – keadaan Ahlullāh, beliau telah berwasiat:

"Alḥamdulillāh, wa ba‘du, Aku berwasiat kepadamu untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sepi maupun ramai, melepas segala perkara yang menyebabkan tercegahnya karunia sebab sesungguhnya meminta limpahan anugerah tanpa kesiapan jiwa ibarat bepergian tanpa membawa bekal, aku berwasiat agar engkau menjaga (dzikir) pada semua hembusan nafas, menjaga panca indra, bersikap ridha kepada Allah, bersabar atas kehilangan, menepati janji-janji, memperbanyak shalat, menyerahkan perencanaan dan ikhtiar kepada Sang Maha Mengatur dan Menentukan, mengamalkan sunnah, mengikuti para imam, menemani orang-orang shalih dan taat, berkumpul bersama ahli ibadah yang khusyu‘, bergaul dengan para penepat janji, berkunjung/menziarahi orang-orang shalih."

Jadilah engkau sebagai orang yang berdaya pikir luas, berdzikir dengan lisan dan hati, berilmu banyak, mempunyai keagungan sifat ḥilm dan berhati luas, tertawalah dengan tersenyum, bertanyalah dengan maksud belajar, jadilah penasihat bagi orang yang lengah, pengajar pada orang jahil, jangan menyakiti orang yang menyakitimu, jangan terbawa pada urusan yang tidak bermanfaat, jangan berbahagia atas penderitaan orang lain, jangan mengotori lisanmu dengan gunjingan.

Jadilah orang yang jujur dalam ucapan, berlepas diri dari upaya dan kekuatan (membaca lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh), menahan diri dari berbagai syubhat, menjadi bapak bagi anak yatim, tampakkanlah kegembiraan di wajahmu dan sembunyikan kesedihan dalam hatimu, sibuk mengurus (‘aib) diri sendiri, jangan menyebarkan rahasia dan membuka tabir ‘aib.

Perbanyaklah ibadah dan mohonlah tambahan hidayah, banyak diam, bertahan dari gangguan orang jahil, memaafkan orang yang berbuat buruk kepadamu, sayangi orang yang lebih muda dan hormati orang yang lebih tua, terpercaya mengemban amanah jauh dari sifat khianat, sabar dalam berbagai kesulitan, tidak merepotkan orang lain dan banyak memberi pertolongan, berlama-lama dalam berdiri (shalat), sering berpuasa, shalatlah dengan penuh rasa tersipu, puasalah dengan rasa penuh harap, tundukkan pandangan, sedikit dosa, banyak beramal, penuh adab kepada para auliyā’.

Hiasi ucapanmu dengan kandungan hikmah dan tatapanmu dengan penuh ‘ibrah, jangan banyak mengeluh dan jangan suka membuka aurat/‘aib (sesama), jangan menjadi penghasut dan pendengki, carilah kemuliaan/keridhaan Allah dari setiap urusan, bersemangatlah memakmurkan bumi dengan jasadmu namun ruhmu senantiasa mengingat kematian dan akhirat, selimuti dirimu dengan busana ketawadhuan, tanggalkanlah berbagai pengharapan (thama‘) pada makhluk dan jadilah orang yang bertawakkal kepada Sang Maha Mengatur lagi Maha Pencipta.”