23.11.22

Ridlo Dengan Nafsu Adalah Pangkal Dari Kemaksiatan

٤٣ - أَصْلُ كلُّ مَعْصِيَّةٍ وَغَفْلةٍ وَشَهْوَةٍ الرِّضَا عَنِ النَّفْسِ، واَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَيَقَظَةٍ وَعِفَّةٍ عَدَمُ الرِّضَا مِنْكَ عَنْهَا

43. "Pokok / sumber dari semua maksiat, kelalaian dan syahwat itu, karena ingin memuaskan (ridho dengan)hawa nafsu. Sedangkan pokok/sumber segala ketaatan, kesadaran dan moral [budi pekerti], ialah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu."

Sebagaimana firman Alloh subhanahu wata'ala:
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang". QS. Yusuf 53.”

Ridho dengan nafsu itu menjadi sumber semua kemaksiatan dan lupa kepada Alloh dikarenakan menjadi sebabnya tertutupnya cela dan cacatnya nafsu, sehingga celanya nafsu akan dianggap baik. dan orang yang ridho dengan nafsunya akan menganggap baik kelakuannya, orang yang menganggap baik kelakuannya tentu akan lupa kepada Alloh, dan sebab lupa itu manusia tidak mau meneliti kelakuannya dan meneliti aib dan cela dirinya, sehingga macam-macamnya kesenangan nafsu menguasai hatinya, dan ahirnya dia terjerumus pada kemaksiatan.

Abu Hafash berkata: "Barangsiapa yang tidak menuduh hawa nafsunya sepanjang waktu dan tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak menarik ke jalan kebaikan, maka sungguh ia telah tertipu. Dan barangsiapa melihat padanya dengan sebuah kebaikan, berarti ia telah dibinasakannya."

Al-Junaid al-Baghdadi berkata: "Jangan mempercayai hawa nafsumu, walaupun telah lama taat kepadamu, untuk beribadah kepada Tuhan-mu."

Al-Bushiry dalam Burdahnya berkata: "Lawan selalu hawa nafsumu dan syaitan serta jangan menuruti keduanya, walaupun keduanya itu memberi nasehat kepadamu untuk berbuat kebaikan, tetap engkau harus curiga dan waspada."

Sedangkan curiga terhadap nafsu (tidak ridho dengan nafsu) itu menjadi sumber ketaatan dan ingat kepada Alloh, itu dikarenakan orang yang tidak ridho dengan nafsunya ia tidak menganggap baik kelakuannya, sehingga ia selalu waspada dan selalu meneliti semua kelakuannya, sehingga nafsunya tidak bisa bebas menguasai orang tersebut. dan orang yang waspada terhadap gerak gerik nafsu akan selalu menjauhi apa yang dilarang oleh Alloh. dan itulah yang dinamakan taat kepada Alloh.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yg menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah Ta’ala.

Menurut orang² ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yg buruk akan dijadikannya baik. Siapa yg puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yg menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan² syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yg dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat. 

Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal² yg diridhai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat. 

Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yg datang dan menyerang. 

Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan² hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan mentaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah. 

Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang² yg mempelajari ilmu lahir yg tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang kita untuk berteman dengan orang² semacam itu. Wallaahu a’lam

٤٤ - وَلَاَنْ تَصْحَبَ جَاهِلًا لَايَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ خَيْرٌ لَكَ مِن اَنْ تَصْحَبَ عَالِمًا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ فَاَيُّ عِلْمٍ لِعَالِمٍ يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ وَاَيُّ جَهْلٍ لِجَاهِلٍ لَايَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ

44. "Dan sekiranya engkau bersahabat dengan orang bodoh yang tidak menurutkan hawa nafsunya, itu lebih baik dari pada bersahabat dengan orang berilmu [orang alim] yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat diberikan bagi seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya itu, sebaliknya kebodohan apakah yang dapat disebutkan bagi seorang yang sudah dapat menahan hawa nafsunya."

Orang yang tidak ridho dengan nafsunya akan selalu menganggap dirinya belum baik dan akhlaknya masih jelek.orang seperti ini baik untuk dijadikan sahabat, karena sangat banyak manfaatnya bagimu, kebodohannya tidak akan membahayakan dirimu.

Bagaimana akan dinamakan bodoh, seorang yang telah dapat menahan dan mengekang hawa nafsunya, sehingga membuktikan bahwa semua amal perbuatannya hanya semata-mata untuk keridhoan Alloh dan bersih dari dorongan hawa nafsu. Sebaliknya apakah arti suatu ilmu yang tidak dapat menahan atau mengendalikan hawa nafsu dari sifat kebinatangan dan kejahatannya.

Dalam sebuah hadits ada keterangan: "Seorang akan mengikuti pendirian sahabat karibnya, karena itu hendaknya seseorang itu memperhatikan, siapakah yang harus diambil sebagai sahabat."

Seorang penyair berkata: "Barang siapa bergaul dengan orang-orang yang baik, akan hidup mulia. Dan yang bergaul dengan orang-orang yang rendah akhlaqnya pasti tidak mulia".

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:
Orang bodoh ialah orang yg tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya. 

Tidaklah baik berteman dengan seseorang yg puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yg besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yg sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yg membuat orang alim puas diri itulah yg berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yg berilmu karena rela dengan aib yg dimiliki dirinya. 

Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yg tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang di dapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yg di anggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya – yg membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya – justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yg tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yg memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu. Wallaahu a’lam