13.4.23

Kewajiban Itu Untuk Kemaslahatan Hamba
(Semua Kewajiban Yang Dibebankan-Nya Adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya)

قَيَّدَ الطَّاعَاتِ بِأَعْيَانِ الْأَوْقَا تِ، كَيْ لَايَمْنَعَكَ عَنْهَا وُجُوْدُ التَّسْوِيْفِ وَوَسَّعَ عَلَيْكَ الْوَقْتَ، كَيْ تَبْقَى لَكَ حِصَّةُ الْإِخْتِيَارِ

“Allah membatasi ketaatan dengan ketentuan waktu agar sikap suka menangguhkan tidak merintangimu untuk mengerjakannya. Namun, Allah memperluas waktunya agar tetap ada peluang bagimu untuk memilih waktu yg lebih tepat, dan lebih baik.”

Sudah menjadi kebiasaan manusia senang menunda-nunda pekerjaan dan amal ibadah, sehingga Allah Ta’ala menetapkan waktu amal taat, seperti shalat lima waktu. Karena apabila waktunya tidak ditentukan pastilah manusia menunda-nunda yg akhirnya tidak sampai berbuat. Dan sebab belas kasih Allah Ta’ala, manusia diberi keluasan waktu, sehingga banyak kesempatan untuk bisa berbuat taat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala membatasi ketaatan yg wajib atasmu dengan waktu² tertentu, shalat lima waktu misalnya. Allah tidak membebaskan waktu²nya agar sikap “suka menangguhkan” tidak menghalangimu untuk mengerjakannya. Jika Allah Ta’ala membebaskan waktunya dan tidak menentukannya, sikap “suka menunda” itu akan mendorongmu untuk meninggalkannya. Kau akan malas dan berkata, “Kalau aku sudah selesai dari keperluanku, aku akan shalat karena waktunya amat luas.” Bahkan mungkin, sehari semalam terlewatkan begitu saja tanpa kau melakukan shalat itu.

Lain halnya jika waktunya dibatasi, hal itu akan mendorongmu untuk segera mengerjakannya dan selalu membuatmu waspada sehingga tidak melewatkannya.

Namun demikian, Allah Ta’ala tetap memperluas waktunya agar kau mempunyai peluang untuk memilih. Kau bisa memilih mengerjakannya di awal waktu, di pertengahan, atau di akhirnya dan kau tidak lagi menjadi orang yg menyia-nyiakan waktu shalat meski melaksanakannya di akhir waktu. Selain itu, kau bisa melaksanakan shalat secara sempurna, yaitu saat hatimu sejalan dengan anggota tubuh lainnya. Jika waktu shalat itu luas, kau bisa meninggalkan kesibukan dan halanganmu sehingga ketika itu kau bisa mengkonsentrasikan pikiran untuk khusyuk dalam beribadah dan menjaga adab di hadapan Allah Ta’ala.

عَلِمَ قِلَّةَ نُهُوْضِ الْعِبَادِ إِلَى مُعَامَلَتِهِ، فَأَوْجَبَ عَلَيْهِمْ وُجُوْدَ طَاعَتِهِ، فَسَاقَهُمْ إِلَيْهَا بِسَلَاسِلِ الْإِيْجَابِ، عَجِبَ رَبُّكَ مِنْ قَوْمٍ يُسَاقُوْنَ إِلَى الْجَنَّةِ بِالسَّلَاسِلِ

”Allah mengetahui kurangnya semangat hamba dalam beribadah.Oleh karena itu, Dia menggiring mereka untuk menunaikan sejumlah ketaatan dengan rantai kewajiban. Dan, Tuhan kagum melihat kaum yg digiring ke surga dengan rantai tersebut.”

Sesungguhnya Allah Ta’ala itu memerintahkan kepada hamba-Nya untuk beribadah dan taat, dengan cara memaksa yakni dengan kewajiban. Dan Allah Ta’ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan neraka apabila tidak melakukan taat.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala mengetahui kurangnya semangat para hamba untuk beribadah, bermu’amalah dengan-Nya, mendatangi-Nya dengan ketaatan, dan melaksanakan hak² rububiyah-Nya dengan penuh sukarela. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala mewajibkan mereka untuk melaksanakan sejumlah ketaatan dengan paksa dan mengancam mereka dengan neraka jika tidak melaksanakannya. Allah menyeret mereka agar melakukan ketaatan kepada-Nya dengan rantai kewajiban.

Kewajiban di umpamakan dengan rantai yg dilingkarkan di leher para tawanan untuk menyeret mereka dengan paksa. Dengan rantai kewajiban itu, Allah Ta’ala memaksa para hamba untuk melaksanakan ketaatan yg akan membuahkan kebahagiaan bagi mereka di masa depan walaupun di masa sekarang terasa berat. Allah Ta’ala melakukan hal ini terhadap hamba²Nya, sebagaimana seorang bapak melakukannya terhadap anaknya. Tidakkah kau lihat bagaimana seorang bapak mendidik dan memaksa anaknya untuk mengikuti sifat² dan tabiatnya walaupun terasa berat bagi sang anak. Meski terpaksa, anak itu pun akan melakukannya. Hal itu tak lain agar sang anak mendapatkan manfaat di masa depan yg tidak diketahuinya di masa sekarang. Kelak saat ia beranjak dewasa dan akalnya telah matang, ia akan merasakan manfaat itu dan menyadari kebenaran perlakuan sang bapak.

Tuhan kagum kepada satu kaum yg digiring ke surga dengan rantai kewajiban, sebagaimana yg dilakukan kaum muslim terhadap para tawanan kafir saat mereka diharapkan masuk Islam. Kaum itu digiring ke surga dengan rantai di leher mereka. Ini adalah makna hadits Rasulullah Saw. tentang tawanan Perang Badar yg lafalnya, “Allah kagum dengan kaum² yg digiring ke surga dengan rantai.”

Kagum bermakna menganggap besar perkara yg kecil. Kagum adalah sifat yg mustahil bagi Allah Ta’ala. Tentang lafal ini, ada dua pendapat. Salah satunya berpendapat bahwa Allah Ta’ala memiliki kekaguman yg tidak kita ketahui hakikatnya dan Dia terbebas dari maksud lafal “kagum” yg kita kenal.

Mazhab ulama khalaf menakwilkan hal itu dengan berkata, “Makna ‘kagum’ atau ‘takjub’ yg di nisbatkan kepada Allah Ta’ala adalah, Allah Ta’ala menampakkan keajaiban sebuah perkara kepada makhluk-Nya karena Allah Maha Mencipta segala sesuatu.” Allah Ta’ala kagum kepada satu kaum yg diseret ke surga tak lain karena saat semua orang ingin segera menyongsong surga dan keindahannya, mereka malah menolak untuk masuk kesana sampai harus diseret, seakan mereka diseret ke dalam sesuatu yg tidak mereka sukai.

Ada pendapat yg mengatakan bahwa yg dimaksud “kagum” disini adalah konsekuensi kagum, yaitu berbuat baik kepada yg dikagumi. Misalnya, jika kau katakan, “Betapa Zaid seorang yg alim,” konsekuensinya kau tentu ingin berbuat baik kepada Zaid dan menghormatinya.

Jadi, maknanya, Allah Ta’ala ingin berbuat baik kepada kaum itu dengan mengundang mereka masuk surga dan menyeret mereka dengan paksa. Ini berlaku bagi orang² awam. Orang awam harus diseret dengan rantai kewajiban agar mereka melakukan ketaatan.

Bagi orang² khusus, mereka tidak membutuhkan paksaan, ancaman, atau peringatan karena Allah Ta’ala telah melapangkan dada mereka, menerangi mata hati mereka, dan mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka sehingga mereka lebih mencintai ketaatan dan membenci maksiat. Maka dari itu, mereka tidak membutuhkan sedikit pun paksaan karena mereka terbebas total dari kebendaan dan kemakhlukan yg menguasai hati. Mereka selalu taat dengan penuh sukarela, bahkan jika mereka dipaksa untuk meninggalkan ketaatan itu, mereka tidak akan tahan dan tidak akan bersabar. Andai ada taklif (pembebanan hukum) bagi mereka, fungsinya saat itu tak lain untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada yg memberi beban hukum. Sebagaimana para raja yg memerintah menteri²nya agar melayaninya, tak lain untuk menambah kedekatan dan penghormatan mereka kepada rajanya.

أَوْجَبَ عَلَيْكَ وُجُوْدَ خِدْمَتِهِ، وَمَا أَوْجَبَ عَلَيْكَ إِلَّا دُخُوْلَ جَنَّتِهِ

“Ketika Dia mewajibkanmu untuk berkhidmah kepada-Nya, sebenarnya Dia mewajibkanmu masuk ke dalam surga-Nya.”

Pada kenyataan lahirnya hamba diwajibkan untuk taat beribadah kepada Allah Ta’ala, padahal sebenarnya ibadah yg diwajibkan atas hamba itu sedikitpun tidak bermanfaat untuk-Nya, sebagaimana maksiat yg sama sekali tidak berpengaruh/mendatangkan mudharat kepada Allah Ta’ala. Adapun sesungguhnya taat ibadah yg diwajibkan atas hamba itu untuk kepentingan dan kebaikan hamba itu sendiri, yakni supaya hamba masuk surga.

Sebagaimana diterangkan pada hikmah sebelumnya: Allah Ta’ala kagum dengan kaum yg harus ditarik dengan rantai (kewajiban), supaya mereka mau masuk surga (yg seharusnya orang itu berebut untuk masuk surga, karena surga itu perkara yg agung, sangat indah dan penuh dengan kenikmatan dan kesenangan, tapi anehnya mereka tidak mau masuk surga, bahkan harus ditarik dengan rantai).

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Hendaknya engkau mempunyai satu wirid (amalan) yg tidak engkau lupakan selamanya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dan cinta kepada Allah Ta’ala.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala mewajibkanmu untuk berkhidmat kepada-Nya secara lahir. Sebenarnya, Dia tidak mewajibkanmu, kecuali untuk masuk ke dalam surga-Nya.

Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk. Ketaatan mereka kepada-Nya tidak berguna bagi-Nya dan maksiat mereka tidak pula merugikan-Nya.

Allah Ta’ala mewajibkan amal atas hamba, karena manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri yaitu agar mereka masuk surga bukan agar mereka mendapatkan kemuliaan dengan amal itu.

Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Allah Ta’ala mewajibkan para hamba untuk taat kepada-Nya karena kurangnya semangat mereka untuk beribadah. Untuk itu, Allah Ta’ala harus menyeret mereka dengan rantai kewajiban. Allah Ta’ala melakukan ini tak lain untuk manfaat yg akan kembali kepada mereka sendiri, yaitu masuk surga-Nya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw.: “Allah kagum dengan kaum² yg digiring ke surga dengan rantai.”

Hadits ini dipahami bahwa mereka yg dipaksa dan diwajibkan untuk taat tak lain agar mereka masuk surga. Allah Ta’ala tidak mewajibkan mereka, kecuali agar mereka memasuki surga.
Wallaahu a’lam