Sikap Kita Ketika Dipuji Orang
الناس يمدحونك لما يظنونه فيك فكن انت ذاما لنفسك لما تعلمه منها
“Orang-orang memujimu atas apa yg mereka sangka ada pada dirimu. Karena itu, celalah dirimu atas apa yg kau ketahui ada pada dirimu.”
Jangan sampai terpengaruh/tertipu dengan pujian orang² yg tidak mengetahui hakikatnya dirimu, tetapi kamu harus kembali melihat dirimu dengan mencela dirimu sebab perbuatanmu yg terbalik/tidak sama dengan prasangka orang lain pada dirimu.
Dan siapa yang merasa senang dengan pujian orang lain terhadap dirinya, berarti dia telah memberi kesempatan pada setan untuk masuk dan merusak imannya.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Manusia memujimu atas sifat² terpuji yg ada padamu. Oleh karena itu, jangan kau tertipu dan terpesona oleh pujian mereka kepadamu, tetapi celalah dirimu sendiri. Celalah dirimu karena apa yg tidak sesuai dengan sangkaan manusia kepadamu.
Oleh sebab itu, Sayyidina Ali kw. sering berdoa, “Ya Allah, jadikan kami lebih baik daripada apa yg mereka kira dan jangan tuntut kami dengan apa yg mereka katakan tentang kami. Ampuni dosa kami atas apa yg tidak mereka ketahui.”
Ucapan Syaikh Ibnu Atha’illah: “Celalah dirimu!” bukan berarti bahwa kau disuruh untuk mendustakan perkataan manusia atau mencoba mengubah sangkaan mereka terhadapmu. Akan tetapi, maksudnya, kau tidak boleh tertipu atau terpesona dan tidak mengutamakan pengetahuanmu atas sangkaan mereka.
Jika seorang pemuji berbohong, misalnya dengan terlalu berlebihan dalam memuji, dan kebohongannya telah diketahui, laksanakanlah sabda Rasulullah Saw., “Lemparkan debu di wajah para pemuji.”
Pujian seperti itu dilarang.
Demikian pula jika pujian dapat mendorong orang yg dipuji tertipu dan membuatnya melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri maka laksanakan perintah Rasulullah Saw., “Jauhilah pujian karena ia sama dengan tindakan menyembelih seseorang.”
المؤمن اذامدح استحيى من الله ان يثنى عليه بوصف لايشهده من نفسه
“Seorang mukmin, jika dipuji, akan malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yg tidak ia dapati pada dirinya.”
Jadi apabila orang lain memuji dirinya dan menyebut kebaikannya, dia merasa malu kepada Allah, karena dia merasa tidak mempunyai sifat² yg layak dipuji, sebab ia merasa hanya mendapat karunia Allah jika ia bisa berbuat sesuatu yg baik, dan bukan dari usaha dan kemampuannya sendiri.
Seorang salik itu harus tidak percaya dengan pujian orang lain, tetapi dia juga tidak diperintah untuk merubah/menolak supaya orang lain tidak memuji atau berprasangka baik padanya, dia hanya di perintah untuk tidak terpengaruh, dan supaya mendahulukan apa yg diketahui terhadap dirinya sendiri, mengalahkan prasangka orang lain. Yg penting tidak keterlaluan pujiannya, kalau keterlaluan maka harus ditolak.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Mukmin sejati adalah mukmin yg tidak mendapati pada dirinya sifat² terpuji sehingga layak untuk dipuji. Dia hanya memandang bahwa sifat itu datang dari Allah. Jika manusia memujinya dan menyebut-nyebut kebaikannya, ia akan malu kepada Allah karena ia tidak mendapati sifat yg dipuji itu ada pada dirinya.
Rasa malunya kepada Allah adalah rasa malu penuh takzim dan pengagungan kepada-Nya dengan sifat² yg tak ada padanya. Dengan begitu, ia akan bertambah benci dan jijik kepada dirinya sendiri, pandangannya terhadap kebaikan dan karunia Allah semakin besar. Inilah kesyukuran yg dengannya ia akan mendapatkan yg lebih dan selamat dari sikap nyaman dengan pujian manusia.
اجهل الناس من ترك يقين ما عنده لظن ماعند الناس
Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yg meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang².
Orang yg dipuji orang lain dan terpengaruh dengan pujiannya, dan menganggap baik pada dirinya sendiri, orang seperti ini adalah orang paling bodoh, karena yg yakin ia ketahui yaitu kekurangan² dan dosa² yg telah dilakukannya atau rendahnya akhlaknya dan kelemahan imannya sendiri.
Al-Harits Al-Muhasiby mengumpamakan pada orang yg senang dipuji orang lain, itu bagaikan orang yg senang dengan ejekan orang padanya. Seumpama ada orang berkata, “Kotoranmu itu berbau harum.” Lalu engkau gembira dengan pujian yg demikian, padahal engkau sendiri jijik dan tahu kotoran itu berbau busuk. Ketahuilah bahwa kotoran dosa dan jiwa itu lebih busuk daripada kotoran (tinja) orang.
Seorang Hakim dipuji oleh orang awam/biasa, maka ia menangis, lalu ditanya: “Mengapa engkau menangis? Padahal orang itu memujimu.”
Jawabnya: “Ia tidak memujiku, melainkan setelah dia mengetahui bahwa yg ada padaku sifat² yg sama dengan sifat²nya.”
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Orang yg paling bodoh adalah orang yg meninggalkan keyakinan atau pengetahuannya tentang kelemahan dan aib diri serta kekurangan hubungannya dengan Allah karena sangkaan orang² bahwa dirinya baik sehingga mereka memujinya. Jika orang yg dipuji itu tertipu dan yakin bahwa dirinya layak mendapat pujian tersebut serta terperdaya oleh kesaksian seluruh makhluk tentangnya, ia menjadi manusia terbodoh karena ia mengabaikan keyakinannya dan lebih mengutamakan sangkaan tentangnya. Ia lebih mengutamakan sesuatu yg ada pada orang lain daripada yg ada pada dirinya.
اذا اطلق الثناء عليك ولست باهل فاثن عليه بما هو اهله
Jika kau mendapat pujian, sedangkan kau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Dzat yg memang layak menyandangnya.
Kenyataannya apa yg disanjungkan orang² padamu itu tidak ada pada dirimu, atau kau mempunyai cacat/aib, sehingga kau tidak berhak menerima pujian itu, maka kau harus memuji kepada Allah, yg telah menutupi aib² dan kekuranganmu.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Kau tidak layak mendapat pujian karena pujian mereka sesungguhnya tidak ada padamu. Orang² memujimu karena Allah menutupi aib dan celamu itu. Sekiranya bukan karena karunia Allah kepadamu dan tirai-Nya yg menutupi aibmu, niscaya kau tidak layak mendapat pujian tersebut.
Oleh karena itu, etikanya, kau harus memuji Tuhanmu yg memang layak dipuji agar hal itu menjadi kesyukuranmu atas nikmat ditutupnya tirai darimu dan banyaknya lisan yg memuji kendati kau tidak layak mendapatkannya. Oleh sebab itu, jangan tertipu dan terpesona oleh ucapan orang² yg memujimu.
الزهاد اذامدحوا انقبضوا لشهودهم الثناء من الخلق، والعارفون اذا مدحوا انبسطوا لشهودهم ذالك من الملك الحقّ
Jika kaum zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk. Ketika kaum ‘arif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah Yang Maha Haqq.
Orang ‘arif itu selalu hadir ke hadhratullah, tidak pernah memandang selain Allah, mereka menganggap pujian² itu datang dari Allah, sehingga mereka gembira, dan pujian itu bisa menambah kekuatan hatinya dan kedudukannya di hadapan Allah, karena mereka tidak memandang pada dirinya, tidak membanggakan amalnya, dan tidak terpengaruh dengan pujian ataupun celaan orang lain.
Rasulullah Saw. sendiri pernah dipuji dengan qasidah oleh Hassan dan Ka’ab bin Zuhair. Rasulullah Saw. menunjukkan kegembiraan bahkan memberikan mantel kepada Ka’ab bin Zuhair.
Orang yg mempunyai maqam ini, antara dihina dan dipuji orang tidak akan ada bekasnya dalam hati, karena mereka tidak memandang itu semua dari makhluk, tapi mereka melihat itu semua dari Allah Ta’ala.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Jika orang² zuhud dipuji, mereka akan gelisah karena merasa pujian itu dari makhluk, bukan dari Allah. Mereka gelisah karena takut tertipu oleh pujian itu sehingga kedudukan mereka di sisi Allah akan hilang. Sebaliknya, jika orang² ‘arif dipuji, mereka akan senang karena merasa bahwa pujian itu dari Allah Yang Maha Haqq.
Mereka selalu hadir bersama Tuhannya dan tidak menyaksikan kecuali Dzat-Nya. Jika mereka dipuji, mereka menganggap pujian itu dari Allah, karena itu mereka senang dan bahagia. Itu yg membuat tinggi ahwal dan kedudukannya karena mereka tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa ujub dan tertipu.
Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., “Jika seorang mukmin dipuji di hadapannya, keimanan akan bertambah dalam hatinya.”
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah memuji Syaikhnya, Syaikh Abul Abbas al-Mursi, dan Beliau tetap diam. Pada dirinya, pujian itu menduduki tempat yg agung. Seperti itulah yg di alami kaum ‘arif lainnya. Para pemilik maqam ini, jika dicela dan dihina, mereka tidak akan merasa resah, kecewa, atau sakit hati karena tidak merasa bahwa celaan itu berasal dari orang yg mencelanya.
Wallaahu a’lam