Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan Kecuali Setelah Hilang
مَنْ لَمْ يَعْرِفْ قَدْرَ النِّعَمِ بِوُجْدَانِهَا عَرَفَهَا بِوُجُوْدِ فِقْدَانِهَا
“Orang yg tidak mengetahui nilai nikmat tatkala mendatanginya akan sadar tatkala sudah lepas dari dirinya.”
Kebanyakan manusia itu tidak tahu agung dan besarnya nikmat² yg dirasakan, kecuali ketika kehilangan nikmat tersebut. Sehingga banyak yg bilang: orang yg tahu besarnya harga air, yaitu hanya orang yg dicoba kehausan di hutan. Kalau dia berada di tepi sungai yg mengalir, dia tidak akan tahu besarnya harga air.
Begitu juga dengan nikmat Rahmat, Hidayah, diberi kekuatan bisa beribadah dan taat, yg itu sebagai nikmat yg sangat besar, yg terkadang kita lupa kalau semua itu pemberian dari Allah Ta’ala yg sangat besar dan agung. Sehingga terkadang kita akui kalau itu semua milik kita, kemampuan kita, hasil usaha kita dan lain². Sehingga terkadang Allah Ta’ala memberi cobaan kepada kita berbuat dosa/maksiat (kegelapan), supaya kita sadar dan ingat bahwa semua nikmat itu atas pemberian Allah Ta’ala yg wajib kita syukuri.
Rasulullah Saw. bersabda: “Jika seseorang melihat orang yg lebih dari padanya kekayaan dan kesehatannya, maka hendaklah ia juga melihat kepada orang yg lebih menderita dari padanya.”
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw. bersabda: “Lihatlah orang² yg dibawahmu, dan jangan melihat orang yg di atasmu, karena yg demikian itu akan menyebabkan meremehkan nikmat yg diberikan Allah kepadamu.”
Syaikh Sariy as-Saqathi ra. berkata: “Siapa yg tidak menghargai nikmat, maka akan dicabut nikmat itu dalam keadaan ia tidak mengetahui.”
Syaikh Fudhail bin Iyadh ra. berkata: “Tetaplah mensyukuri nikmat, sebab jarang sekali nikmat yg telah hilang akan datang kembali. Sesungguhnya orang yg sangat mengetahui nikmatnya air itu, hanya orang yg benar² haus.”
Orang yg beruntung yaitu: orang yg pengertian dengan pengalaman (dengan kejadian) yg terjadi pada dirinya atau orang lain. Dan siapa yg tidak mensyukuri nikmat berarti membiarkannya hilang, dan siapa yg mensyukuri nikmat berarti telah mengikat nikmat itu dengan tali ikatannya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Turunnya kegelapan adalah sebagai pertanda dan pengenal besarnya kenikmatan karena segala sesuatu akan semakin jelas dengan adanya kebalikannya.”
Saat ada lawan atau tandingannya akan tampaklah keutamaan sebuah benda. Nikmat pandangan akan diketahui manakala seseorang di uji dengan kebutaan. Kadar air dan nilainya akan diketahui seseorang manakala ia diuji dengan rasa haus yg berat di tengah padang pasir tandus. Nilai air tidak akan diketahui oleh orang yg ada di pinggir danau atau sungai yg mengalir. Nikmat itu baru terasa oleh seseorang tatkala nikmat itu sudah hilang darinya.
لَاتُدْهِشْكَ وَارِدَاتُ النِّعَمِ عَنِ الْقِيَامِ بِحُقُوْقِ شُكْرِكَ، فَإِنَّ ذٰلِكَ مِمَّا يَحُطُّ مِنْ وُجُوْدِ قَدْرِكَ
“Jangan sampai nikmat yg berlimpah membuatmu lalai dalam menunaikan kewajiban bersyukur karena hal itu dapat merendahkan derajatmu dihadapan Allah.”
Kita diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mensyukuri semua nikmat pemberian-Nya menurut kadar kemampuan yg diberikan Allah Ta’ala kepada kita, bukan sebanyak nikmat yg diberikan Allah Ta’ala. Sebab itu tidak mungkin kita laksanakan, karena Allah Ta’ala memberi nikmat yg besar kepada kita sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala, sedangkan kita harus mensyukuri nikmat menurut kadar kemampuan kita dari Allah Ta’ala.
Nabi Dawud as. berkata: “Tuhanku, anak Adam ini telah Engkau beri pada tiap helai rambut ada nikmat diatas dan dibawahnya, maka bagaimana akan dapat menunaikan syukur kepada-Mu?”
Jawab Allah Ta’ala: “Hai Dawud, Aku memberi sebanyak-banyaknya, dan rela menerima yg sedikit, dan untuk mensyukuri nikmat itu bila engkau mengetahui bahwa nikmat yg ada padamu itu dari Aku (Allah).”
Umar bin Abdul Aziz ra. berkata: “Tiadalah Allah memberi nikmat kepada hamba, kemudian hamba mengucap “Alhamdulillaah” , melainkan nilai pujian itu jauh lebih besar dari nikmat yg diberikan itu.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Jangan sampai limpahan nikmat membuatmu terpesona dan lalai dalam menunaikan kewajiban² syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Misalnya, dengan melihat kelemahan dirimu dalam menunaikan hak² itu sehingga kau lupa bersyukur. Sikap lalai itulah yg dapat merendahkan derajatmu. Allah Ta’ala telah mengangkat derajatmu dan membuat yg sedikit padamu menjadi banyak. Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa membawa amal yg baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am [6]: 160)
Jangan sampai banyaknya nikmat yg diberikan Allah Ta’ala kepadamu membuat dirimu lupa bersyukur kepada-Nya. Jangan sampai pula kau berpandangan bahwa nikmat yg kau rasakan itu datang dengan sendirinya sehingga kau tidak mau bersyukur kepada yg memberinya. Kedua sikap ini adalah sikap yg bodoh dan tercela.
Di antara bentuk syukur dengan lisan adalah berdzikir mengingat Allah Ta’ala, atau membaca wirid setelah shalat lima waktu.
Wallaahu a’lam