29.11.22

Berencana Bepergian ke Jakarta

  Pada hari Jumat, tanggal 7 Januari 2005 itu sebenamya asy Syekh berencana akan tindak (pergi) ke Jakarta dengan terlebih dahulu mampir ke Surabaya untuk memeriksakan kesehatan beliau. Oleh karena itu, pada Kamis malam itu beliau sempat membeli sendiri kopyah di toko yang berada di dekat pondok.

Sedangkan, semua yang akan beliau bawa ke Jakarta sudah ditata rapi oleh bu Nyai Zahro' di tas koper beliau.

Salah satu barang penting yang beliau bawa adalah kertas undangan untuk menghadiri khaul yang ditujukan kepada presiden SBY. Acara khaul Syekh Mustaqim  36 dan mbah Nyai Sa'diyah ke 17 di pondok PETA itu akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 13 Februari 2005.

Kira-kira 1 minggu sebelumnya, mas Heru diutus asy Syekh untuk ke Jakarta guna mengkomunikasikan dengan pihak istana tentang rencana audiensi asy Syekh dengan presiden SBY. Ketika itu, yang menjadi komunikator dengan pihak protokol presiden adalah bpk. Drs. Syaifullah Yusuf (gus Ipul) yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Hasil komunikasi pun sudah disampaikan mas Heru kepada asy Syekh bahwa pertemuan itu direncanakan pada hari Sabtu (8/1) atau hari Minggu (9/ l).

Ketika masih di Tulungagung, undangan tersebut sudah ditandatangani Syekh Sholachudin selaku Ketua Panitia dan asy Syekh sendiri selaku khodimul ma’had. Sedangkan, ada 1 tanda tangan lagi yang belum, yaitu tandatangan mas Heru selaku Sekretaris Panitia yang saat itu sudah menunggu di Jakarta.

Pengalaman pribadi penulis.

Terkait dengan hari-hari menjelang wafatnya asy Syekh, penulis memiliki beberapa peristiwa tersendiri sehubungan dengan beliau. Secara kronologis, peristiwa itu adalah sebagai berikut: 

1.) Hari Kamis Wage, tanggal 23 Desember 2004. Pada hari itu penulis mengikuti acara amaliyah malam Jumat Kliwon. Pada waktu ba'da Maghrib, penulis sudah datang dan menghadap beliau di ndalem. Setelah tiba waktunya amaliyah, aSy Syekh mengajak penulis untuk naik ke lantai atas pondok, tempat biasanya dilaksanakan amaliyah malam Jumat Kliwon. 

Pada waktu pengerjaan sholat-sholat sunnatnya, asy Syekh mengimaminya sendiri. Ketika pada salah satu rokaat sholat sunnat itu, ada salah seorang jamaah yang berada di Shof terdepan melihat asy Syekh sempat agak terhuyng-huyung. Setelah selesai pengerjaan semua sholat sunnat, asy Syekh langsung membalikkan badan beliau ke arah jamaah (menghadap ke Timur). 

Setelah itu asy Syekh mengambil microphone yang ada di dekat beliau. Beliau lalu memberikan taushiyah yang merupakan pertemuan terakhir beliau dengan para murid dalam jumlah banyak (jamaah). Masih segar dalam ingatan penulis kata-kata yang asy Syekh dawuhkan. Asy Syekh berkata, “Kula niku mboten saget ndungo dowo-dowo mergo kula niku ngroyok. Kula niku lek ndungo cekak aos. Wong sak mungguhno ndungo niku mboten wajib, kula niku mboten ajenge ndungo. Pun ngoten mawon. ” (Saya itu tidak bisa berdoa panjang-panjang sebab saya itu tidak fasih. Saya itu kalau berdoa singkat kata. Wong seandainya berdoa itu tidak wajib, saya itu tidak akan berdoa. Sudah begitu saja). 

Setelah itu, sambil berjalan, asy Syekh meminta kepada mbah Ghofur untuk mengimami wiridannya, “Kang Ghofur, wiridane sampeyan imami. " Asy Syekh kemudian langsung turun dan kembali ke ndalem. Setelah selesai wiridan, melalui anak pondok asy Syekh menyuruh penulis agar menghadap beliau Ketika penulis sudah berada di hadapan asy Syekh, beliau langsung bertanya, “Aku ngomong koyok ngono kuwi mau, kiro-kiro  Wong wong ngerti opo ora ? ” (Aku ngomong seperti itu tadi. kira kira orang orang mengerti apa tidak?). Penulis pun menjawab "mestinya kan mengerti, Yai?" 

Setelah itu asy Syekh meminta 2 piring nasi kepada anak pondok yang saat itu sedang mengeluarkan nasi untuk jamaah dari dapur ndalem. Asy Syekh lalu dahar bersama dengan penulis. 

Sementara itu, pada malam Jumat Kliwon itu pula, asy Syekh mengutus mas Heru dengan diantar kang Zein untuk mewakili beliau menghadiri undangan audiensi dan silaturahmi antara para kyai sepuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan presiden SBY di gedung gubernuran Grahadi, Surabaya. Dalam audiensi itu asy Syekh mengutus mas Heru untuk menyampaikan 2 hal amanat beliau kepada presiden SBY. 

Yang pertama, asy Syekh berkirim salam kepada pak SBY. Yang ke dua, asy Syekh berpesan kepada presiden SBY agar apabilau sewaktu-waktu Indonesia tertimpa musibah besar, maka presiden SBY supaya menerimanya dengan sabar dan tawakal. Asy Syekh berpesan agar pak SBY tidak perlu terpengaruh dengan kata-kata para ahli klenik yang nantinya mereka akan meminta pak SBY untuk memasang tumbal bagi keselamatan Indonesia. 

Pada saat mas Heru bertemu presiden, maka disampaikanlah salam dan pesan asy Syekh kepada presiden. Ketika itu presiden SBY juga menitipkan salam balik untuk asy Syekh. 

2.) Hari Jumat Kliwon, tanggal 24 Desember 2004, sekitar pukul 14.00 asy Syekh rawuh ke rumah ayahanda dijln. Masjid No. 6, Kota Blitar. Seperti biasanya, asy Syekh dahar siang dengan menu seadanya. Beliau selalu menyukai masakan ibunda penulis dengan catatan beliau selalu minta disediakan sambal dan 'krupuk uyel'. Namun, pada hari itu asy Syekh dahar hanya sedikit. Setelah sholat Maghrib beliau lalu kondur (pulang). 

Di kemudian hari, penulis mendapat cerita dari pak Jirin dan alm. pak Wahono, bahwa ketika perjalanan pulang dari Blitar itu asy Syekh yang ketika itu berbaring di jok tengah mobil beliau, beberapa kali berkata dengan suara yang setengah berteriak, “Yaa Alloh, kalau tidak ada manfaatnya, janganlah Panjenengan perlihatkan kepada saya.” Kata para penderek (aspri/ ajudan) beliau, hal itu sudah beberapa kali beliau ucapkan sejak beberapa hari sebelumnya. 

3.) Hari Minggu Pahing, tanggal 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.00 WIB terjadilah gempa bumi hebat disusul tsunami daerah provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan beberapa wilayah di pulau Sumatera. Korban jiwa tercatat 131.000 lebih orang meninggal dunia dan sekitar 30.000 orang dinyatakan hilang. 

4.) Hari Rabu, tanggal 29 Desember 2004, pukul 20.30 WIB, penulis ke pondok PETA dengan maksud untuk matur kepada beliau apakah tidak sebaiknya santri-santri pondok PETA dikirim ke Aceh untuk membantu penanganan korban, mengingat begitu banyaknya korban yang luka-luka dan meninggal dunia. Namun, pada saat itu asy Syekh sedang tidak enak badan, beliau ingin beristirahat. Penulis pun tidak berhasil menghadap beliau. 

5.) Hari Jumat Pahing, tanggal 31 Desember 2004, sekitar pukul 16.00 asy Syekh menelpon penulis. Asy Syekh mengatakan bahwa beliau akan datang ke Blitar dan berpesan agar ibunda penulis tidak usah menyediakan daharan. Asy Syekh mengatakan bahwa beliau ingin dahar di sebuah rumah makan padang yang terletak di Selatan masjid Agung. 

Setelah selesai asy Syekh dahar di rumah makan tersebut, sekitar pukul 16.30 asy Syekh datang ke rumah ayahanda, Ketika itu asy Syekh mengatakan kepada penulis bahwa beliau berencana akan bertemu presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Asy Syekh akan menyampaikan kepada presiden SBY terkait dengan dua hal berupa saran dan masukan beliau kepada Presiden SBY.

Yang pertama, yaitu tentang konsep rumah
'knock down' untuk para pengungsi korban tsunami yang berjumlnh ratusan ribu jiwa. 

Kedua yaitu asy Syekh akan menyampaikan saran agar presiden menyerukan kepada seluruh aparat pemerintah bersama masyarakat untuk mengadakan istighotsah secara berkala yang digelar di setiap kecamatan di seluruh Indonesia. Karena, menurut beliau, setelah tsunami itu di Indonesia akan terjadi lagi musibah yang memakan korban cukup banyak. Dan, selang 1,5 tahun kemudian terjadilah gempa bumi di daerah Bantul dan Jogyakarta yang menelan korban lebih dari 6.000 orang meninggal dunia. 

Sehubungan dengan rencana pertemuan dengan presiden itulah, asy Syekh menyuruh penulis untuk dicetakkan kertas berkop Yayasan Pondok PETA dengan huruf warna emas. Penulis pun kemudian memanggil H. Fathul Mongin, adik penulis yang biasa menangani barang-barang cetakan. Menurut adik penulis kepada asy Syekh, barang yang asy Syekh maksudkan itu baru bisa selesai paling cepat hari Jumat berikutnya. Seusai sholat Maghrib, asy Syekh pun kondur. Pada saat beliau kondur itu kota Blitar mulai diguyur hujan. 

6.) Hari Kamis Pon, tanggal 6 Januari 2005, sekitar pukul 19.50 asy Syekh menelepon penulis. “Assalaamu 'alaikum... " sapa asy Syekh. “Wa 'alaikumus salaam... ” jawab penulis. Asy Syekh lalu bertanya, “Nang, kamu lagi apa?” Penulis pun menjawab, “Tidak lagi apa-apa, Yai.” Asy Syekh kemudian berkata, “Kamu ke sini....” (Jawa, reneo). Penulis menjawab, “0 inggih, Yai.’-’ Asy Syekh pun menutup pembicaraan, "Assalaamu 'alaikum.... ” “Wa 'alaikumus salaam... "jawab penulis. 

Setelah telepon ditutup, tiba-tiba terlintas dalam pikiran penulis bahwa asy Syekh pasti menanyakan kertas surat pesanan beliau. Maka, kemudian penulis pun langsung ke rumah H. Fathul Mongin yang rumahnya hanya terpaut satu rumah dari rumah 
penulis. Ketika penulis menanyakan tentang hal itu, Mongin mengatakan kalau pesanan asy Syekh tersebut jadinya baru besok pagi. Nah, di situlah kebodohan dan kebengalan penulis kembali terlihat. Penulis berpikir, “Kalau begitu besok pagi saja saya ke pondok sambil membawa pesanan asy Syekh.” Maka, pada malam itu penulis pun tidak jadi berangkat ke Tulungagung. 

7.) Hari Jumat Wage, tanggal 7 Januari 2005, sekitar puku12.30, penulis terbangun dari tidur oleh suara telepon rumah. Dari seberang terdengar suara ibunda penulis dengan suara setengah berteriak yang mengabarkan bahwa Syeikhina wa Mursyidina wa Murobbi ruukhina Hadlrotusy Syekh Romo K. H. Rd. Muhammad Abdul Djalil Mustaqim, rokhimahulloh, telah berpulang. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji 'uun. Beliau wafat pada usia 63 tahun. 

Setelah itu, penulis langsung menuju ke rumah ayahanda yang hanya berjarak sekitar 100 meter. Di rumah ayahanda sudah duduk terdiam ayahanda, ibunda, dan beberapa adik penulis. Dengan perlahan ayahanda berkata, “Yang membuat aku sedih, sampai beliau meninggal, aku masih belum bisa taat dan menjalani ajaran-ajaran beliau.”