Pemakaman Asy-Syeikh
Setelah selesai jenazah dimandikan dan dikafani, ba’da sholat Shubuh kemudian dibawa ke musholla. Ketika matahari mulai naik, para penta'ziyah pun mulai berdatangan. Sekitar pukul 6.30 diadakanlah musyawarah yang membahas rencana pemakaman asy Syekh. Musyawarah dipimpin langsung asy Syekh Sholachudin dan dihadiri antara lain oleh mbah Ghofur, Romo Kyai Ali Murtadlo (keduanya kakak asy Syekh), bpk. K.H. Maschun, bpk. K.H. Jamilun, ayahanda penulis, bpk. Athiyah Athoilah (wabup Tulungagung), dan penulis sendiri.
Hasil musyawarah itu memutuskan bahwa jenazah asy Syekh akan dibawa ke masjid Al Munawwar pada pukul 11.00 sambil menunggu kedatangan puteri asy Syekh, yaitu Ning Nujum, Ning Nia, mas Munib Huda (menantu), dan beberapa kerabat asy Syekh dari Jakarta. Direncanakan pula, akan dilaksanakan sholat jenazah di masjid Al Munawwar seusai pelaksanaan sholatJumat.
Sementara itu, di luar, gelombang penta'ziyah semakin besar. Mereka semua ingin masuk ke pondok untuk mengikuti sholat jenazah, namun hal itu sesuatu yang tidak mungkin mengingat keterbatasan kapasitas pondok. Untuk mengatur agar tertib, maka 'pasukan' keamanan yang dipimpin mas Edi Tentara pun bekerja ekstra keras. Penulis pun, melalui pengeras suara, terus menerus memandu para penta'ziyah supaya tertib.
Ketika itu, penulis ingat cerita tentang suasana pemakaman Syekh Mustaqim pada 35 tahun sebelumnya. Hal itulah yang berkali-kali penulis serukan yaitu agar para penta'ziyah bersikap tenang dan terus menerus membaca secara sirri bacaan-bacaan sekehendak hati mereka masing-masing apapun yang sudah diajarkan asy Syekh seperti sholawat, istighfar, dzikir, khizib-khizib, asma'-asma' Alloh SWT, dan lain sebagainya.
Selain itu, juga disampaikan agar pelaksanaan sholat jenazah dilakukan secukupnya saja. Artinya, guna memberikan kesempatan pada penta'ziyah lainnya, maka untuk tahlil dan doanya supaya dilakukan sendiri-sendiri di luar. Sedangkan, untuk menunjuk imam sholat jenazah setiap gelombangnya, penulis meminta kepada alm. bpk. Kyai Mudloflr Suhaimi dan bpk. K.H. Imron Jamil untuk menentukannya. Semua ini dilakukan agar para penta‘ziyah bisa ikut melaksanakan sholat jenazah.
Sekitar pukul 10.35 tibalah mas Munib dan Ning Nujum, Ning Nia, serta beberapa kerabat asy Syekh seperti mas Muh (keponakan), mas Heru, dan mbak Tun beserta keluarganya. Setelah agak siang, datang pula rombongan dari Jakarta yang di antararanya ustadz Luqman Hakim, bpk. Muhaimin Iskandar
(cak Imin, Wakil Ketua DPR RI), dan mas Chusainudi.
Setelah itu, tepat pukul 11. 00 jenazah asy Syekh dibawa ke Masjid agung Al Munawwar Untuk menghindari ketidak tertiban, orang yang mengangkat keranda sudah ditentukan oleh pihak keluarga, yaitu romo kyai Ali Mustaqim. Beliau kemudian melimpahkan wewenang itu kepada mas Edi Triono (tentara) Mas Edi pun lalu menunjuk kang Sukir, kang Bas, kang Huda dan kang Nur untuk mengangkat keranda dari pondok ke masjid . dan dari masjid ke pondok.
Di masjid, seusai pelaksanaan sholat Jumat, diadakanlah sholat jenazah yang diikuti seluruh jamaah sholat Jumat dan ribuan penta’ziyah. Pada waktu itu bertindak sebagai imam sholat jenazah adalah bpk. H. Nawawi Muhammad, Kampungdalem, yang pada hari itu bertugas sebagai imam sholat Jumat. Sedangkan, untuk doanya dipimpin bpk. K.H. Abdul Wahid Zuhdi.
Setelah selesai sholat jenazah, maka jenazah pun sedianya dibawa sedianya kembali ke pondok. Sebelum keranda di angkat, mas Edi selaku penanggung jawab keamanan terlebih dahulu menyampaikan kepada para pentaziyah dalam posisi duduk dan memberi jalan untuk keluarnya keranda dari masjid. Selain itu juga diumukan bahwa yang diperbolehkan mengangkat hanya orang-orang yang sudah ditentukan. Dan, alhmdulillah itu perjalanan keranda dari masjid sampai pondok pun berjalan lancar. Setelah sampai di pondok, diadakanlah upacara pemberangkatan dengan acara tunggal yaitu sambutan atas nama keluarga. Setelah itu, keranda dibawa masuk ke dalam komplek makam. Prosesi pemakaman langsung di bawah komando asy Syekh Sholachudin. Pada saat itu, yang menerima jenazah di liang lahad adalah Gus Syauqi (keponakan, di bagian atas), mas Munib Huda (menantu, di bagian tengah), dan habib Umar bin Hasan al Hadad (menantu, di bagian kaki).
Setelah selesai menjalankan tugas, maka ketiganya lalu naik ke atas. Namun, mas Munib oleh Syekh Sholachudin diperintahkan untuk turun lagi guna mengumandangkan adzan dan iqomah. Pada saat penutupan liang lahad diiringi pula pembacaan surat Yasin, al Mulk, dan al Waqiah yang dipandu alm. H. Tarmudzi Ali (kak Ujik).
Ketika jasad asy Syekh dimasukkan ke dalam liang lahad, ada satu peristiwa yang dialami pak Achsin, salah satu penderek setia asy Syekh. Saat itu pak Achsin hampir terjatuh masuk ke dalam liang lahad, namun bisa terpegang pak Karim. Pada keesokan harinya, Syekh Sholachudin memanggil dan menanyakan hal itu kepada pak Achsin. Setelah pak Achsin bercerita, Syekh Sholachudin pun kemudian bertanya, “Memangnya kamu mau menemani Abahe?” Dengan intonasi mantap pak Achsin menjawab, “Nggih, Yai, saya mau..., betul, saya mau...” Dan, selang seminggu kemudian pak Achsin benar-benar menyusul asy Syekh.
Pada keesokan harinya, ditatalah karangan bunga ucapan duka cita yang datang dari seluruh penjuru negeri. Karangan bunga yang berjumlah sangat banyak itu datang mulai dari presiden SBY, para menteri, para petinggi mabes TNI dan Polri, para pejabat Kejaksaan Agung, beberapa gubemur, Pangdam, Kapol. da, serta dari kalangan pengusaha tingkat lokal maupun nasional. Dari nama-nama yang tertera di karangan bunga itu terlihatlah betapa luas pergaulan asy Syekh semasa hidup beliau.