22.11.22

Bersandarlah Pada Alloh
Jangan Pada Amal

١ - مِنْ عَلَامَاتِ الْإِعْتِمَادِ عَلىَ العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
1. "Sebagian dari tanda bahwa seorang itu bergantung pada kekuatan amal dan usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan atas rahmat dan karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan dan dosa"


Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Alloh, meminta kepada Alloh supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Alloh,. sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Alloh. sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rohmat Alloh, maka amalnyapuan akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.

seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh.
Kalimat: Laa ilaha illalloh. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Alloh, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Alloh.

Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Alloh subhanahu wata’ala.
Apabila kita dilarang menyekutukan Alloh dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Amal yg dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua kelompok orang yg mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah Ta’ala secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yg tekun beribadah) dan para murid (orang yg menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu²nya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah Ta’ala. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu²nya cara yg bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.

Kedua golongan ini sama² tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yg mereka inginkan.

Berbeda halnya dengan orang² yg mengenal Tuhan dengan baik (‘arif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yg mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah Ta’ala semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah Ta’ala.

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang² yg menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yg mereka lakukan, bukan pada Allah Ta’ala secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Ta’ala Yang Maha Rahmat yg akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan ‘abid atau murid. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yg termasuk golongan ‘arif  akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah Ta’ala atas dirinya.

Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan ‘arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yg melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.

Maka dari itu, siapa yg tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) ‘arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.

Melalui hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin mendorong para salik  (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah Ta’ala; termasuk bergantung pada amal ibadah. (Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi). Wallaahu a’lam