Tajrid Dan Kasab
٢ - إرَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِى الاَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخفِيَّةِ، وَإِرَادَتُكَ الاَسْبَابَ معَ اِقَامةِ اللهِ اِيَّاكَ فى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلِيَّةِ
2. “Keinginanmu untuk tajrid [hanya beribadat saja tanpa berusaha untuk dunia], padahal Allah masih menempatkan engkau pada golongan orang-orang yang harus berusaha [kasab], maka keinginanmu itu termasuk nafsu syahwat yang samar [halus]. Sebaliknya keinginanmu untuk berusaha [kasab], padahal Allah telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang harus beribadat tanpa kasab [berusaha], maka keinginan yang demikian berarti menurun dari semangat yang tinggi”.
Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir tentang ayat-ayat Alloh, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah(menghamba) kepada Alloh,sesuai tuntunan Al-qur’an.
Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja(kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah.
Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar.
Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Alloh yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.
Dan tanda-tanda bahwa Alloh menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak [rakus] terhadap milik orang lain.
Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha [Tajrid]. Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.
Syeikh Ibnu ‘Atoillah berkata : "Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy. Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu"
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tajrid adalah sebuah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi di mana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yg dimaksud dengan kesibukan duniawi adalah kesibukan² yg tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang. Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah Ta’ala telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yg tersamar.
Dianggap “syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, namun keinginan batinmu yg sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang² mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yg telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang² ‘arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yg belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban² ibadah dan dzikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yg akan diberikan oleh manusia.
Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah Ta’ala telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khaliq.
Sebenarnya, berbaur dengan orang² yg sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yg wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) ialah tetap diam di tempat yg telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah Ta’ala untuknya, sampai Allah Ta’ala sendiri yg akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah Ta’ala, na’udzubillaah. Wallaahu a’lam