26.11.22

Manaqib Syekh Abdurrozaq At-Tarmasi

  Syekh Abdur Rozaq adalah putera laki laki  K.H Abdulloh. Kakek beliau, KH. Abdul Manan, adalah pendiri pondok pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Kakak sulung laki-laki beliau adalah Syekh Muhammad Mahfudz at Tarmasi (1868 1920) merupakan seorang ulama besar dari Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah al Mukarromah. Syekh Mahfudz merupakan guru para ulama Indonesia yang belajar di Mekah pada waktu itu. Seperti Hadrotusy Syekh Hasyim Asya'ary, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syansuri, K.H.Maksum Lasem, dan lain-lain.

Selain sebagai seorang ulama ahli Hadits yang mengajar di Masjidil Haram, beliau juga seorang penulis kitab yang sangat produktif. Kitab-kitab tulisan beliau banyak dipakai sebagai kitab pegangan dan sumber referensi di berbagai perguruan Islam di seluruh dunia. Selain itu, Syekh Mahfudz juga merupakan seorang mursyid thoriqot Syadziliyah.

Kakak laki-laki beliau yang lain, K.H. Dimyathi adalah penerus ayahanda beliau, K.H. Abdullah, memimpin pondok pesantren Tremas. Pada masa kepemimpinan beliaulah pondok Tremas mengalami kemajuan yang luar biasa.

Asy Syekh Raden Haji Abdur Rozaq bin Abdullah at Tarmasi atau lebih populer dengan panggilan Den Dur lahir sekitar tahun 1880. Beliau memiliki perilaku yang unik dibanding dengan kakak-kakak beliau. Beliau, dalam kesehariannya lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang berlatar belakang dunia hitam, seperti para penjudi, pemabuk, pencopet, pencuri, dan tukang adu ayam. Sehari-harinya, waktu beliau lebih banyak dihabiskan di pasar, terminal, jalanan, warung-warung, arena judi, dan di kalangan adu ayam. Sehari-harinya beliau berpenampilan sangat sederhana. Tidak pernah memakai penutup kepala, hanya berkaos oblong, suka memakai celana
komprang 3/4 (Jawa, bumbung), dan kemana mana selalu berkalungkan sarung.

Meskipun begitu, tidak sedikit kawankawan beliau yang pada akhirnya 'takluk' dan insyaf di bawah bimbingan beliau. Hal itu sering terjadi lantaran para petaruh itu selalu beliau 'habisi' sampai ludes semua uang mereka. Mereka tidak pernah bisa menang setiap berhadapan dengan beliau. Nah, ketika mereka sudah menyatakan takluk itulah beliau lalu mengarahkan mereka secara perlahan-lahan agar mereka menjadi orang yang ahli ibadah. Sehingga, sewaktu beliau berkecimpung di dunia hitam itu, banyak para 'pendosa-pendosa' itu yang akhirnya menjadi santri beliau.

Semula, semua orang tidak ada yang mengetahui kalau Den Dur memiliki keistimewaan yang sangat luar biasa. Bahkan, santri-santri pondok Tremas pun sering mengeluh kepada kakak beliau, Mbah Kyai Dimyathi, lantaran sebagai putera sekaligus adik seorang kyai, tempat tinggalnya pun di komplek pondok pesantren, tapi beliau tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan pihak pondok. Bahkan, para santri belum pernah sekali pun melihat beliau mengikuti sholat jamaah di masjid pondok. Mbah Dim sebagai seorang kakak sebenarnya sudah berulang-ulang menasehati dan mengingatkan beliau. Tetapi, nasehat tinggallah nasehat masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Den Dur tetap semaunya sendiri.

Namun setelah tiba saatnya Alloh SWT membuka kepada masyarakat siapa sebenamya Den Dur itu, maka satu per satu karomah beliau pun oleh Alloh SWT mulai diperlihatkan kepada masyarakat. Di antara beberapa karomah beliau, ialah:

MENYEBERANGKAN SUNGAI ORANG BANYAK.

Pafa suatu hari, sungai yang cukup besar yang memisahkan 2 desa di Pacitan meluap karena banjir. Padahal, ketika itu banyak masyarakat desa A sedang mendatangi undangan pernikahan tetangga mereka di desa B erletak di seberang sungai. Ketika mereka berangkat, jembatan yang menghubungkan kedua desa itu masih bisa mereka lewati. Akan tetapi, tatkala mereka akan pulang. temyata jembatan itu telah terputus dan runtuh di terjang banjir. Melihat jembatan yang akan mereka lalui ternyata terputus, maka mereka pun menjadi kebingungan.

DI tengah-tengah kebingungan mereka, tiba-tiba muncullah Den Dur dari arah yang tidak mereka ketahui. Den Dur kemudian menyuruh mereka untuk berbaris berderet ke belakang dengan saling berpegangan pada bahu orang yang berada di depannya. Sementara, orang yang berada di baris terdepan berpegangan pada bahu Den Dur. Setelah semuanya siap, mereka kemudian disuruh Den Dur untuk memejamkan mata. Selanjutnya, mereka disuruh mengikuti secara bersama-sama mengucapkan bacaan basmalah di bawah komando Den Dur. Setelah secara serempak mereka membaca “bismillaahir rokhmaanir rokhiim” dengan suara yang keras, kemudian Den Dur menyuruh mereka untuk membuka mata. Ternyata, mereka sudah berada di seberang sungai.

Kejadian seperti cerita tersebut di atas, pernah pula dialami oleh Mbah Kasirun, 'asisten' Den Dur yang bertugas membawakan ayam jago milik beliau kemana pun beliau pergi. Pada suatu hari, Mbah Kasirun mengalami kebingungan karena sungai yang akan diseberanginya sedang meluap. Padahal, biasanya air sungai itu tingginya hanya semata kaki saja. Pada saat itu, Mbah Kasirun tidak berani menyeberanginya karena takut terseret banjir. Tiba-tiba datanglah Den Dur. Beliau mengatakan, “Run, sini, pegang tanganku, lalu pejamkan matamu.” Sedetik kemudian, Den Dur dan Mbah Kasirun pun sudah sampai di seberang sungai.

ADU AYAM DI BEBERAPA TEMPAT.

Pada zaman penjajahan Belanda, setiap hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina. pemerintah Belanda selalu menyelenggarakan pesta rakyat. Pesta rakyat itu, selain digelar di negeri Belanda sendiri, juga diselenggarakan di negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. Berbagai hiburan dan kesenian ditampilkan sebagai hiburan kepada rakyat. Aneka permainan dan lomba pun tidak ketinggalan dikompetisikan, termasuk adu ayam.

Sebagai penggemar, bahkan 'tokoh terkemuka' adu ayam, Den Dur tentunya tidak menyianyiakan kesempatan itu. Beliau bersama teman-temannya, jauh-jauh hari sudah mempersiapkan ayam aduan unggulannya masing-masing. Di Pacitan, arena adu ayam itu tidak hanya terpusat di satu tempat saja. Arena adu ayam atau biasa disebut 'kalangan' itu di gelar di beberapa kecamatan. Namun, meskipun begitu, waktu penyelenggaraannya dilaksanakan secara bersamaan.

Ketika tiba pada hari H pertandingan, ternyata di seluruh 'kalangan' semua ayam jago milik Den Dur bisa mengungguli ayam jago milik peserta yang lain. Pada malam harinya, setelah usai semua pertandingan itu, para 'botoh' alias penjudi adu ayam pun berkumpul di sebuah kedai di mana mereka sering kongkow-kongkow. Dalam perbincangan mereka pada malam itu, yang menjadi topik pembicaraan adalah ayam jago milik Den Dur. Mereka yang mengikuti pertandingan di kecamatan A menceritakan betapa hebatnya ayam jago milik Den Dur. Kata mereka, “Melawan ayam jagonya Den Dur, hanya sekali gebrak saja ayam jagonya si Fulan langsung KO.”

Hal itu diamini oleh mereka yang mengikuti pertandingan di kecamatan B. Demikian pula, hal yang sama dikatakan oleh mereka yang mengikuti pertandingan di kecamatan C. Setelah itu, hampir bersamaan mereka saling menanyakan siapakah yang memegang ayam jagonya Den Dur ketika dalam pertandingan tadi siang.

Ternyata, jawaban mereka sama. Yang memegang ayam aduan milik Den Dur, baik yang di kecamatan A, B, maupun C, adalah Den Dur sendiri. Maka, seketika itu menjadi hebohlah 'majelis perbotohan' itu. Mereka semua heran. Bagaimana tidak, dalam waktu yang bersamaan, di 3 tempat yang berbeda dengan jarak yang saling berjauhan, temyata Den Dur di situ ada semua. Dan, hebatnya lagi, di 3 tempat berbeda itu, ayam aduan milik Den Dur dinyatakan berjaya semua.

Memang kalau urusan adu ayam, Den Dur tidak pernah bisa dikalahkan. Hal ini ternyata ada rahasianya. Rahasia itu pernah 'dibocorkan' oleh seseorang yang mukasyafah (Jawa, waskita). Orang tersebut dengan mata batinnya pernah melihat sendiri kejadian itu. Dia mengatakan, “Lha bagaimana ayam jagonya Den Dur tidak akan selalu menang, lha wong itu sebenarnya bukan ayam, tapi itu musang.” Ya, memang sudah pastilah, sejago-jagonya ayamjago kalau berhadapan dengan seekor musang ya pasti 'amblas'.

MINTA UANG UNTUK BERJUDI.

Pada suatu ketika, di siang hari bolong, Mbah Kyai Dimyathi dalam perjalanan pulang dari kota Pacitan, di tengah jalan beliau dicegat Den Dur. Ketika itu Den Dur, secara terus terang, meminta uang untuk berjudi kepada kakak beliau itu. Entah dengan alasan apa, oleh Mbah Dim permintaan beliau itu dikabulkan. Mbah Dim lalu memberikan sejumlah uang kepada beliau.

Setelah Mbah Dim sampai di rumah, tepatnya di depan masjid pondok Tremas, pada saat Mbah Dim menurunkan dari dokar barang-barang bawaan beliau, tiba-tiba datanglah Den Dur dengan tergopoh-gopoh. Beliau bermaksud membantu Mbah Dim. Pada saat itu, mata Den Dur kelihatan sembab layaknya orang yang baru bangun dari tidur.

Mbah Dim pun lalu bertanya, “Lho Dur, kamu tadi barusan ketemu aku di jalan, to? Sekarang kok sudah ada di sini?” Den Dur pun menjawab, “Sampeyan tadi ketemu siapa to, Mas? Lha wong dari tadi pagi saya di rumah saja, kok. Lha ini loh, saya baru saja bangun tidur.” Menyadari keanehan yang terjadi pada adik beliau, Mbah Dim pun berkata, “O, ya sudah kalau begitu.”

DISIKSA DAN DllNJAK-INJAK ORANG-ORANG PKI.

Pernah pada suatu hari di tahun 1948, beliau 'diciduk' di tengah jalan lalu disiksa oleh orang-orang PKI Muso di atas sebuah truk. Beliau ketika itu akan dibawa ke Madiun. Banyak orang yang menyaksikan kalau beliau di atas truk itu di injak-injak sampai berdarah-darah dan terluka parah.

Salah seorang yang menyaksikan kejadian itu lalu melapor kepada Mbah Nyai Sawiyah, isteri beliau di rumah. Orang itu bercerita sambil menangis meraung-raung karena merasa kasihan kepada Den Dur. Mbah Nyai pun terheran-heran. Bagaimana tidak, lha wong saat itu pula Den Dur sedang tidur di kamar beliau. Sambil tersenyum Mbah Nyai mengatakan, “Kenapa sampeyan menangis? Lha itu to, Den Dur dari pagi tadi di rumah saja, kok. Kalau tidak percaya, itu sampeyan lihat sendiri di kamarnya.”

MEMANDIKAN AYAM DAN MENGGALI KUBUR.

Pada suatu ketika, ada seorang warga tetangga pondok Tremas meninggal dunia. Rumah si mayit terletak di sebelah Timur pondok. Sedangkan, tempat pemakaman yang disebut sebagai maqbaroh 'Gunung Lembu' terletak kira-kira 350 meter dari pondok ke arah Barat, melewati pondok dan rumah kediaman Den Dur.

Ketika para penta'ziyah menghantarkan si mayit menuju ke pemakaman pada saat melintas di depan rumah Den Dur, mereka semua melihat Den Dur sedang asyik memandikan dan menjemur ayam aduannya di depan rumah beliau. Demi melihat Den Dur seperti itu, tentu saja di dalam hati mereka timbul rasa dongkol. Bisik-bisik tetangga pun terjadi. Mereka menganggap bahwa kali ini Den Dur sudah benar-benar keterlaluan. Tidak pula terhadap lingkungan pondok, terhadap lingkungan tetangga pun Den Dur mereka nilai sudah 'mati rasa‘, tidak ada kepekaan dan kepedulian sosial sama sekali.

Namun, apa yang terjadi? Setelah mereka sampai di pemakaman, ternyata Den Dur sudah berada di dalam lubang makam bersiap-siap menyambut
turunnya jenazah ke liang lahad. Melihat hal yang seperti itu, tentu saja rombongan penghantar jenazah itu kaget dan heran bukan kepalang. Kemudian, mereka lalu menyuruh 2 orang pemuda untuk melihat siapa sebenarnya tadi yang sedang memandikan ayam di depan rumah Den Dur. Maka, dengan berlari 2 pemuda itu menuju ke rumah Den Dur.

Ternyata, mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa orang itu adalah benar-benar Den Dur yang saat itu masih tetap asyik dengan ayam ayam jagonya. Bahkan, saat itu Den Dur sempat menyapa mereka, “Ada apa, Ie (anak muda)?” Setelah itu, kedua pemuda tadi langsung berlari kembali ke pemakaman. Sesampai di pemakaman, mereka melihat Den Dur saat itu masih berada di dalam lubang makam, sedang ikut-ikutan menguruk liang lahad.

Yang lebih menghebohkan lagi, berdasarkan keterangan orang-orang yang menggali makam, mereka mengatakan bahwa Den Dur sejak pagi sudah bersama-sama mereka turut membantu menggali makam. Sementara itu, para tetangga yang berangkat berta'ziyah melihat bahwa Den Dur sejak pagi sudah 'sibuk' dengan ayam-ayam aduan beliau.

Sejak kejadian-kejadian yang tidak masuk akal itulah kemudian orang-orang mulai mencoba mencari tahu tentang jati diri Den Dur. Setelah melalui beberapa tahap investigasi, ternyata mereka baru tahu kalau Den Dur itu setiap malam selalu 'menghilang'. Sahabat-sahabat beliau yang ada di terminal maupun di pasar Pacitan tidak ada yang mengetahui keberadaan Den Dur kalau sudah di atas pukul 10 malam. Mereka mengira kalau Den Dur setiap malam selalu pulang ke rumah beliau.

Sementara itu, keluarga beliau yang di rumah pun sudah hafal kalau beliau setiap malam tidak pernah berada di rumah. Keluarga beliau meyakini bahwa Den Dur setiap malam pasti bersama teman-teman beliau di pasar atau terminal. Dan, hal itu sudah berjalan sejak beberapa tahun berlalu. Ternyata, dari hasil penyelidikan diketahui bahwa setiap malam sampai waktu Subuh, Den Dur menjalankan sholat dan wirid di suatu tempat di tepi sebuah sungai.

Selain itu, juga akhirnya diketahui bahwa beliau berguru kepada asy Syekh as Sayyid Ahmad yang berdomisili di desa Kadirejo, kecamatan Karanganom, kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Beliau berbai'at thoriqot Syadziliyah dan sekaligus diangkat oleh guru beliau itu sebagai khalifah atau guru mursyid thoriqot tersebut.

DEN DUR DAN MBAH SUR.

Pada suatu hari, Syekh Mustaqim mengutus murid beliau yang bernama Mbah R.M. Suryo Hadi Kusumo atau yang lebih akrab disapa dengan nama Mbah Sur untuk mengantarkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Den Dur di Tremas, Pacitan.

Perjalanan Tulungagung Pacitan itu ditempuh Mbah Sur dengan berjalan kaki sampai berhari-hari, menyusuri hutan dan jalan yang berkelok-kelok, melewati kabupaten Trenggalek dan Ponorogo. Pada suatu malam, Mbah Sur beristirahat dan bermalam di sebuah hutan di daerah Pacitan. Ketika beliau bersiap-siap untuk tidur, tiba-tiba ada seekor harimau loreng yang cukup besar menghampiri beliau. Melihat kedatangan binatang buas itu, beliau bukannya lari ketakutan tapi malah merebahkan diri. Mengetahui si 'calon mangsa' tidak lari ketakutan, si loreng pun akhirnya mendekati beliau dan ikut-ikutan rebahan di samping beliau. Beliau, dengan agak setengah terkantuk-kantuk malah mengelus-elus harimau itu dan mempermainkan kumis si loreng. Namun, tidak berapa lama kemudian si raja hutan itu bangun lalu berjalan perlahan-lahan meninggalkan beliau.

Pada keesokan paginya, beliau lalu melanjutkan perjalanannya yang sudah tinggal sedikit lagi. Sesampai di kediaman Den Dur, dari kejauhan tampak Den Dur sudah menyambut beliau. Den Dur berdiri di tengah pintu dengan berkacak pinggang. Sementara, tangan kiri beliau berpegangan pada gawangan pintu. Setelah Mbah Sur agak dekat, Den Dur sambil tertawa berkata, “ Wah, wah. . ., sampeyan itu bagaimana, masak kumisnya orang tua kok dibuat mainan begitu? Ha. . ., ha. . ., ha. . .”

Syekh Abdur Rozaq pernah menikah dua kali. Isteri beliau yang pertama berasal dari Solo. Dari isteri pertama ini beliau dikarunia seorang anak laki laki yang bernama Bpk. Darul Khoiri. Namun, pernikahan beliau dengan isteri pertama ini tidak bertahan lama. Untuk selanjutnya, sampai wafatnya, Bpk. Darul Khoiri lalu bertempat tinggal di desa Bakung, kecamatan Udanawu, kabupaten Blitar.

Setelah itu, Den Dur menikah lagi dengan Mbah Nyai Sawiyah yang berasal dari Pacitan. Dari pernikahan dengan Mbah Nyai Sawiyah ini, beliau dikarunia 6 orang anak yang bernama:
  1. Ibu Qodriyah Abd. Rozaq, 
  2. Bpk. Ky. Wakil Abd. Rozaq, 
  3. Bpk. Amin Abd. Rozaq, 
  4. Bpk. Ky. Jami' Abd. Rozaq, 
  5. Bpk. Mustaqim Abd. Rozaq, dan 
  6. Bpk. Sayuti Abd. Rozaq.

Syekh Abdur Rozaq meninggal pada hari Kamis Pon, tanggal 3 April 1958 atau tanggal 14 Ramadhan 1377 H. Jenazah beliau dimakamkan di maqbaroh (pemakaman) 'Gunung Lembu' yang terletak sekitar 350 meter ke arah Barat dari Pondok Tremas. Di pemakaman itu juga di semayamkan para Kyai dari keluarga besar Pondok Tremas.