Sejarah Mbah Panjalu
Sejarah Mbah Panjalu diawali dengan kedatangan seorang ulama dari kerajaan Samudera Pasai yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali ke wilayah kerajaan Panjalu di tanah Pasundan, pada awal abad XIV atau sekitar tahun 1300 Masehi. Kerajaan Samudera Pasai tercatat sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Wilayah kerajaan ini terletak di pesisir Utara pulau Sumatera atau di propinsi NAD (Nangroe Aceh Darussalam) sekarang. Raja yang berkuasa pada waktu itu ialah Sultan Muhammad Malik as Saleh atau Malikus Saleh (periode 1267 1297) yang merupakan raja pertama kerajaan Samudera Pasai dan putera beliau, Sultan Muhammad Malik Az Zahir (periode 1297 - 1326).
Misi dan tujuan Sayyid Muhammad berlayar ke pulau Jawa adalah sematamata untuk mendakwahkan agama Islam di tanah Pasundan yang pada waktu itu sebagian besar masyarakatnya masih menganut agama Hindu dan Budha. Oleh karena itulah, kawasan Pasundan sering pula disebut sebagai tanah Priangan atau Parahyangan yang berarti tempat bersemayamnya para Hyang atau Dewa. Sementara itu, di beberapa wilayah lainnya tidak sedikit masyarakat yang masih menganut ajaran leluhurnya yang disebut Sunda Wiwitan yang bercirikan animisme dan dynamisme. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu masyarakat Pasundan adalah orang yang sangat relegius.
Dakwah Sayyid Muhammad itu pada kenyataannya mendapat sambutan positif dari masyarakat Sunda. Semakin hari semakin banyak masyarakat yang masuk agama Islam. Hal ini tentu dirasakan cukup mengganggu dan membuat penasaran bagi penguasa setempat yaitu raja Saka Galuh Panjalu yang bernama Prabu Sang Hyang Lembu Sampulur I.
Maka, pada suatu hari datanglah Raja Panjalu dengan membawa serta pengawalnya ke tempat di mana Sayyid Muhammad tinggal. Setelah dia lakukan dialog, tanya jawab, dan perdebatan yang semakin memanas maka audiensi itu pun dilanjutkan dengan saling adu kesaktian. Pada masa itu. saling adu kesaktian untuk menunjukkan keunggulan seseorang merupakan hal yang lumrah terjadi.
Namun, adu kesaktian atau pertandingan kali ini bukanlah sembarang pertandingan, tapi pertandingan yang mengandung konsekwensi yang cukup berat bagi keduanya. Bagaimana tidak, keduanya sudah bersepakat bahwa bagi pihak yang kalah dalam adu kesaktian itu harus mau mengikuti agama yang dianut pihak pemenang. Setelah kesepakatan itu disetujui kedua belah pihak dan disaksikan oleh semua yang hadir, maka dimulailah adu kesaktian itu.
Sayyid Muhammad kemudian menancapkan sebatang lidi ke dalam tanah dan meminta Prabu Panjalu untuk mencabutnya. Sayyid Muhammad berkata kepada sang Prabu, "Wahai Tuan Prabu yang saya muliakan, apabila Tuan nanti bisa mencabut lidi ini, maka itu berarti saya kalah. Dan, sesuai dengan peijanjian, saya akan mengikuti agama Tuan. Namun sebaliknya, apabila Tuan Prabu tidak mampu mencabut lidi ini, maka itu berarti Tuan kalah dan Tuan harus mengikuti agama saya." Dijawab dengan tegas oleh sang Prabu, "Baik ....... , saya setuju dan saya siap menerima akibatnya."
Kemudian sang Prabu segera menghampiri lidi itu, lalu membaca manteramantera yang beliau miliki dan kemudian dicabutlah lidi itu. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan kesaktian yang beliau miliki, sang Prabu berusaha mencabut lidi itu. Tapi, atas kekuasaan Alloh Yang Maha Agung, dalam waktu yang cukup lama dan tubuh sang Prabu pun sudah bergetar keras dan basah bermandikan keringat, lidi itu ternyata tetap tidak bergeming. Tidak cukup sekali upaya sang Prabu untuk 'menundukkan' lidi itu. Berkali-kali dicoba, berkali-kali pula sang Prabu mengalami ke gagalan.
Pada akhirnya, setelah segala upaya sang Prabu tidak membuahkan hasil, maka beliau pun menyatakan menyerah. Dan, sesuai dengan kesepakatan, maka sang Prabu pun kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Sayyid Muhammad bin Umar.
Dalam perkembangan selanjutnya, Sayyid Muhammad kemudian oleh Prabu Lembu Sampulur l dikawinkan dengan puteri Adipati Galuh yang bernama Ratu Sari Kidang Pananjung. Beliau, seketika itu pula juga diangkat sebagai panglima kerajaan. Selain itu, Sayyid Muhammad juga dinobatkan sebagai Pangeran pewaris tahta kerajaan Panjalu. Kelak di kemudian hari, ketika tiba saatnya beliau menduduki singgasana kerajaan menggantikan Prabu Sang Hyang Lembu Sampulur l, beliau mendapat gelar sebagai raja Saka Galuh Panjalu dengan sebutan Prabu Sang Hyang Cakradewa.
Di era pemerintahan Prabu Cakradewa, beliau terkenal sebagai raja Panjalu yang adil dan bijaksana. Karena kesaktian dan kewibawaannya, beliau sangat disegani raja-raja lainnya di Tanah Pasundan. Rakyat pun merasakan kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera. Beliau benar-benar dicintai segenap rakyat kerajaan Panjalu. Meskipun sebagai pendatang, beliau sangat menjunjung tinggi Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yang merupakan warisan para raja pendahulu beliau dan sudah menjadi pedoman masyarakat Panjalu secara turun-temurun, yaitu: "Mangan Karna Halal, Pake Karna Suci, Tekad Ucap Lampah Sabhenere", yang artinya makan makanan yang halal, berpakaian yang bersih (suci), itikad ucapan (dan) prilaku yang benar. Sampai sekarang falsafah hidup tersebut masih tetap dipegang teguh oleh orang-orang Panjalu.
Dari hasil perkawinan dengan Ratu Sari Kidang Pananjung itu Prabu Sang Hyang Cakradewa dikaruniai 6 orang putera-puteri, yaitu:
- Prabu Sang Hyang Lembu Sampulur II,
- Prabu Sang Hyang Borosngora,
- Sang Hyang Panji Barani,
- Mamprang Kancana Artas Wayang,
- Ratu Punut Agung, dan
- Angga Runting.
Di antara keenam putera-puteri Sayyid Muhammad itu, putera beliau yang ke dua yang bernama Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar yang bergelar Prabu Sang Hyang Borosngora inilah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama MBAH PANJALU. Beliau, oleh sang ayah diperintahkan untuk menuntut ilmu ke Mekah sekaligus untuk mengerjakan ibadah haji,
Sayyid Muhammad atau Prabu Cakradewa berkata kepada Sayyid Ali atau Pangeran Borosngora, yang pada waktu itu berusia sekitar 20 tahun, "Wahai anakku, kini sudah tiba saatnya engkau untuk mengerjakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Selain itu, pergunakan pula kesempatan dalam perjalanan hajimu itu untuk memperdalam ilmu agama. Carilah guru yang bisa membimbing perjalananmu menuju ke hadirat Alloh SWT carilah ilmu sebagai bekalmu untuk berdakwah dan mensyi'arkan agama Alloh SWT kepada masyarakat."
"Kemudian, nanti apabila engkau telah cukup dalam menuntut ilmu dan mengerjakan ibadah haji, sebelum engkau pulang, bawakanlah aku air zam-zam. Dan, bawalah ini sebagai wadah air zam-zam itu." Prabu Cakradewa menyerahkan sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman rotan yang dirangkai menyerupai gayung yang agak panjang kepada Pangeran Borosngora. Anyaman rotan itu, sebagaimana layaknya sebuah keranjang, tidak rapat dan berlubang-lubang (Jawa, moto ero).
Maka, setelah memohon diri dan meminta doa restu kepada ayah dan bunda beliau, berangkatlah Pangeran Borosngora menunaikan perintah ayahandanya tersebut.
Ketika perjalanan Pangeran Borosngora sudah hampir memasuki kota Mekah, tepatnya di padang Arofah, beliau bertemu dengan seorang lakilaki paruh baya yang berjalan dengan membawa tongkat. Terjadilah dialog antara orang yang membawa tongkat itu dengan Pangeran Borosngora.
“Assalamu 'alaikum...., " sapa laki-laki itu. "Wa 'alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh..., " jawab Sang Pangeran.
Kemudian dialog pun dilanjutkan dengan tanya jawab seputar nama, asal daerah, dan tujuan perjalanan. Ketika sampai pada pertanyaan tentang tujuan, maka dijawablah oleh Pangeran Borosngora bahwa tujuan perjalanannya itu adalah untuk mengerjakan ibadah haji dan menuntut ilmu.
Orang itu sembari tersenyum mengatakan, "Wahai anak muda. . . ., kalau kamu akan menuntut ilmu, maka barangkali orang yang paling tepat untuk kamu jadikan guru adalah orang yang saat ini sedang berdiri di hadapanmu.…" Mendengar kalimat terakhir orang itu, berdesirlah darah muda sang Pangeran. Wajahnya berubah menjadi merah padam menahan amarah. Sang Pangeran merasa sangat direndahkan. "Ini sebuah penghinaan," gumam sang Pangeran. Bagaimana tidak, sang Pangeran merasa bahwa dirinya adalah orang yang sangat sakti mandraguna, sulit dicari tandingannya, kok ini ada orang yang belum diketahui asal-usulnya tiba-tiba datang dan akan mengguruinya. Sang Pangeran benar-benar marah dan tersulut emosinya.
Pangeran Borosngora dengan suara yang bergetar, kemudian berkata, "Hey, orang asing. . .., berhati-hatilah kalau berbicara. Kamu ternyata belum tahu dan mengenal siapa aku sebenarnya. Ketahuilah, bahwa aku adalah putra Prabu Sang Hyang Cakradewa yang sudah sangat terkenal kesaktiannya. Dan, ketahui pula bahwa aku sudah mewarisi seluruh ilmu dan kesaktian ayahku. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau kamu yang justru seharusnya berguru kepada aku. "
"Sabar...., sabar. . ..., anak muda. Aku tahu kalau kamu adalah anak muda yang memiliki kesaktian yang cukup lumayan. Dan, aku juga tahu kalau di daerahmu sana tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkanmu. Tetapi, ketahuilah wahai anak muda, bahwa taraf ilmu dan kesaktianmu itu masih amat jauh di bawahku. Oleh karena itu, sebaiknya engkau segera meminta kesediaanku untuk menjadi gurumu." Mendengar jawaban orang itu, semakin marahlah sang Pangeran. "Baik, kamu tidak usah banyak bicara. Sekarang mari kita buktikan ...... ," timpal sang Pangeran.
Dengan tetap tersenyum, orang itu mengatakan, "Ouw, begitu? Sekarang begini saja. . Kiranya kita tidak usah repot-repot harus beradu kekuatan. Tidak usah pula kita saling mengeluarkan aji mantera dan kesaktian. Wahai anak muda, seandainya kamu setuju, bagaimana kalau tongkatku ini aku tancapkan ke dalam tanah, setelah itu lalu kamu coba untuk mencabutnya. Apabila nanti kamu bisa mencabutnya, maka itu berarti aku kalah dan aku akan berguru kepadamu. Namun sebaliknya, apabila ternyata kamu nanti tidak bisa mencabutnya, itu berarti kamu yang kalah dan kamu harus berguru
'kepadaku. Bagaimana, anak muda?" Dengan wajah yang diliputi rasa amarah yang luar biasa, sang Pangeran menjawab, "Baik. . . ., terserah kamu. "
Kemudian orang tak dikenal itu pun lalu menancapkan tongkatnya ke dalam tanah kemudian mempersilakan Pangeran Borosngora untuk mencabutnya. Tidak lama kemudian, dengan gagahnya sang Pangeran menghampiri tongkat itu lalu dipegangnya dengan tangan kirinya, dan kemudian dicabutnya tongkat itu. Namun, apa yang terjadi? Tongkat itu tetap tegak berdiri, tak sedikit pun goyah dan berubah posisinya. Bahkan, selanjutnya, dengan mengerahkan segenap tenaga dan ilmunya, sang Pangeran tetap tidak mampu mencabut tongkat itu. Tampak tubuh sang Pangeran bergetar keras dan keringat pun bercucuran. Akan tetapi, tongkat itu tetap bergeming. Cukup lama sang Pangeran berjuang 'menaklukkan' tongkat itu. Segenap ilmu dan mantera yang dimiliki pun sudah tuntas habis dirapalnya. Berkali-kali dicoba, berkali-kali pula sang Pangeran menemui kegagalan.
Dan, pada akhirnya, sang Pangeran pun lalu menyatakan menyerah. Setelah Pangeran Borosngora menyatakan menyerah, kemudian orang asing itu menghampiri tongkatnya lalu dengan entengnya orang itu mencabut tongkat itu dari tempatnya menancap.
Sang Pangeran kemudian duduk bersimpuh di hadapan orang asing itu dengan wajah tertunduk. Sang Pangeran lalu menyampaikan suatu permohonan kepada orang itu agar orang itu berkenan menerima beliau sebagai muridnya. Permohonan itu tetap Pangeran sampaikan kepada orang asing itu kendati dalam perjanjian tadi sudah jelas dinyatakan bahwa pihak yang kalah otomatis menjadi murid bagi pihak yang menang. '
Setelah Pangeran Borosngora benar-benar menyatakan menyerah dan meminta untuk menjadi murid orang asing itu, barulah orang itu secara terus terang menyampaikan siapakah sebenarnya jati diri beliau. Ternyata, beliau adalah Sayyidina Ali bin Abi Tholib, karromallohu wajhah, yang nota bene adalah leluhur sang Pangeran sendiri Beliau adalah salah satu khulafur rosyidin yang juga masih sepupu sekaligus menantu Rosululloh SAW Memang, kalau ditinjau dari waktu peristiwa itu terjadi,suatu hal yang sangat mustahil Bagaimana tidak peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1350 Masehi, sedangkan Sayyidina Ali sendiri sudah wafat pada tahun 661 Masehi/40 Hijriyah.Jadi, kalau dihitung-hitung, berarti peristiwa itu terjadi sekitar 690 tahun setelah wafatnya Sayyidina Ali, karromallohu wajhah.
Setelah selesai proses bergurunya sang Pangeran kepada Sayyidina Ali, pada saat perpisahan antara guru dan murid itu, Sayyidina Ali bin Abi Tholib. karromalloohu wajhah, menyerahkan 3 buah benda sebagai cendera mata kepada sang Pangeran. Benda-benda itu terdiri dari satu bilah pedang, satu buah tongkat untuk khutbah yang berbentuk mirip tombak bermata dua (dwi sula) yang disebut "cis", dan satu lembar baju atau jubah kebesaran.
Di antara 3 benda pusaka pemberian Sayyidina Ali itu yang sampai sekarang masih tetap terpelihara dengan baik tinggal pedangnya saja. Pedang sayyidina Ali itu kini disimpan di museum "Pasucian Bumi Alit" yang terletak di dekat. Alun-alun kecamatan Panjalu, sekitar 1 kilometer dari situ Lengkong. Setiap setahun sekali, tepatnya pada hari Senin atau Kamis minggu terakhir dalam bulan Rabiul Awal atau bulan Mulud,
pedang pemberian Sayyidina Ali, karromallohu wajhah, serta benda-benda pusaka peninggalan kerajaan Panjalu lainnya dilaksanakan upacara penjamasan benda-benda pusaka. Upacara adat itu disebut Nyangku yang dilaksanakan oleh para keturunan Mbah Panjalu yang tergabung dalam "Yayasan Borosngora"
bersama dengan masyarakat Panjalu.
Sedangkan 'cis' (tongkat untuk khotbah yang menyerupai tombak bermata dua) pada tahun 1950 hilang dicuri Gerombolan DI/TII. Kalau baju atau jubah kebesaran, ada pula yang menyebut 'jubah kesultanan', sudah sejak lama hancur karena lapuk dimakan usia.
Setelah itu, sang Pangeran kemudian melanjutkan perj alanannya masuk kota Makkah al Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji. Selang beberapa waktu kemudian, beliau lalu melanjutkan peralanan ke kota Madinah al Munawwaroh untuk berziarah ke makam datuk beliau, Sayyidina Mu hammad SAW. Selanjutnya, beliau berkesempatan pula berkunjung k negeri Mesir. Di ketiga kota tersebut sang Prabu bermukim cukup lama lebih dari 6 tahun. Beliau berkesempatan pula berbai'at thoriqot Syadziliyah kepada salah seorang mursyid thoriqot tersebut di sana.