25.11.22

Sejarah Terjadinya Situ Lengkong

 Setelah cukup lama sang Pangeran berkelana di negeri Arab dan Mesir, tibalah saatnya beliau untuk pulang dan kembali ke tanah Sunda. Sebagaiman amanat ayahanda beliau agar pada saat pulang sang Pangeran tidak lupa membawakan air zam-zam dengan wadah yang sudah ditentukan. Maka, dengan izin Alloh SWT, sang Pangeran pun bisa membawa pulang air zam-zam itu dengan wadah berupa sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman rotan.

Sesampainya di Panjalu, keadaan pun sudah berubah. Ayahanda beliau, Prabu Cakradewa, ternyata sudah 'Lengser Keprabon Madheg Pandhito'. Beliau sudah berketetapan hati untuk turun dari tahta kerajaan Panjalu untuk selanjutnya mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan duniawi. yah. Prabu Cakradewa bertapa atau khalwat di suatu bukit di daerah Pasir Jambu yang masih terletak di kawasan Panjalu. Singgasana kerajaan Panjalu pun sudah beliau serahkan kepada putera sulung beliau yang bernama Prabu Sang Hyang Lembu Sampulur II.

Setelah melepas rindu dengan ibunda beliau, Pangeran Borosngora lalu menuju ke tempat pertapaan Prabu Cakradewa. Karena sedemikian rindunya sang Pangeran kepada ayahanda beliau, ditambah dengan perasaan gembira karena beliau telah bisa pulang dengan membawa pesanan sang ayah, maka Sang Pangeran pun segera naik ke atas bukit dengan berlari-lari sambil berteriak-teriak memanggil-manggil ayah beliau. Sang Pangeran menghampiri ayahanda beliau yang pada saat itu tengah tertidur di atas sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu.

Mengetahui ayahanda beliau sedang tidur, maka Pangeran Borosngora pun langsung mendekati sang ayah. Selanjutnya, Sang Pangeran lalu membangunkan ayahanda tercinta beliau itu. Karena, mungkin, saking terkejutnya, di samping ayahanda beliau itu juga seorang pendekar silat, maka begitu terbangun, secara refleks kaki sang Prabu menendang sekeras-kerasnya keranjang berisi air zam-zam yang dibawa putera beliau itu.

Tak pelak, demi terkena tendangan itu, maka melayanglah keranjang rotan itu tinggi ke angkasa dan kemudian jatuh di kaki bukit Pasir Jambu itu. Setelah sampai di tanah, maka tumpahlah air yang ada di dalam keranjang itu. Air zam-zam itu pun lalu mengalir dan menyebar ke permukaan kaki bukit itu. Dan, atas kehendak Alloh Yang Maha Agung, air yang mengalir dari mulut keranjang itu bukannya semakin habis, tapi justru alirannya semakin lama semakin besar dan bertambah deras. Dan, akhirnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, bukit itu pun dikelilingi oleh air zam-zam itu.

Bukit itu kemudian berubah menjadi sebuah pulau atau nusa yang oleh penduduk setempat disebut Nusa Gede atau Nusa Larang. Disebut Nusa Larang karena menurut adat istiadat masyarakat Panjalu, di Nusa Larang itu berlaku beberapa larangan bagi orang yang berkunjung ke situ untuk agar tidak berprilaku sombong dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat serta mengucapkan kata-kata kotor dan tidak sopan. Barangkali, kata "Larang" ini mirip dengan kata "Haram" yang disematkan pada kata "Tanah" bagi kota Mekah dan Madinah. Di tanah haram Mekah dan Madinah juga berlaku beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan bagi orang yang sedang berada di 2 kota suci (Haromain) tersebut.

Dan, air yang mengelilingi pulau itu pada akhirnya membentuk sebuah danau yang di kemudian hari dinamakan Situ Lengkong atau ada pula yang menyebut Situ Panjalu. Situ, dalam bahasa Sunda artinya danau.

Setelah terjadinya peristiwa yang sangat luar biasa itu, Pangeran Borosngora oleh ayahanda beliau diminta untuk menjadi panglima kerajaan Panjalu di bawah kepemimpinan kakak beliau, Prabu Sang Hyang Lembu Sampulur II. Namun, ternyata, kakak beliau itu tidak terlalu lama bertahta di Panjalu. Prabu Lembu Sampulur II kemudian hijrah dan mendirikan sebuah kerajaan di daerah Cimalaka yang terletak di kaki gunung Tampomas Sumedang.

Sepeninggal Prabu Lembu Sampulur II hijrah ke Cimalaka, maka tahta kerajaan Saka Galuh Panjalu pun beralih ke tangan Sayyid Ali bin Muhammad dengan gelar Prabu Sang Hyang Borosngora Dikraton. Beliau dibantu adik beliau yang bernama Pangeran Panji Barani yang berkedudukan sebagai Mahapatih atau Panglima kerajaan Panjalu. Selain itu, beliau juga dibantu 2 orang ulama kerajaan, yang selain alim dan arif bijaksana juga memiliki kesaktian yang sangat luar biasa. Beliau berdua adalah murid Prabu Cakradewa sekaligus merupakan sahabat karib Pangeran Borosngora yang bemama Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus dan Buni Sakti.

Nama yang terakhir ini di kerajaan Panjalu berkedudukan sebagai Senapati Kerajaan. Pada masa pemerintahan Prabu Borosngora inilah pusat kerajaan Panjalu beliau pindahkan dari Dayeuh Luhur ke Nusa Gede yang terletak di tengah-tengah Situ Panjalu.

Akan halnya, Prabu Cakradewa kemudian berkhalwat di suatu tempat sampai datangnya akhir hayat beliau. Diperkirakan beliau dimakamkan di Cipanjalu, desa Maparah, kecamatan Panjalu, kabupaten Ciamis.

Prabu Borosngora menduduki tahta kerajaan Panjalu selama 14 tahun (1357-1371). Selain beliau menjalankan tugas sebagai seorang raja, di Nusa Larang itu pula, beliau juga mensyiarkan agama Islam dengan cara membuka padepokan yang mengajarkan berbagai cabang ilmu agama Islam yang beliau terima langsung dari guru beliau. Sayyidina Ali bin Abi Tholib, karromallohu wajhah, terutama yang berkaitan dengan thoriqot Syadziliyah dan beraneka ragam ilmu Hikmah. Kepada murid-muridnya, beliau juga mengajarkan jurus-jurus silat sebagai ilmu bela diri.

Pada zaman itu, dakwah dan penyebaran agama Islam memang masih sangat diperlukan adanya ilmu-ilmu Hikmah dan kepiawaian bela diri. Hal itu bertujuan untuk mengimbangi ilmu para pendeta agama Hindu dan Budha yang rata-rata memiliki kesaktian dan ilmu sihir yang mengagumkan yang dikhawatirkan bisa melemahkan iman dan aqidah para mualaf dan umat Islam pada umumnya.

Murid-murid beliau datang dari berbagai daerah, seperti Banten, Cirebon, Bandung, Pekalongan, Magelang, dan lain-lain. Setelah murid-murid beliau selesai menimba ilmu di Panjalu, kemudian pulang ke daerah asal mereka masing-masing, maka ilmu-ilmu itu pun berubah nama sesuai dengan daerah asal si murid, seperti ilmu Banten, Ilmu Cirebon, ilmu Pekalongan, dan lain sebagainya.

Setelah beliau bertahta selama 14 tahun, beliau kemudian menyatakan "Lengser Keprabon Madheg Pandhita". Singgasana kerajaan pun beliau serahkan kepada putera ke dua beliau yang bernama Prabu Haryang Kancana.

Oleh putera beliau itu, selanjutnya pusat kerajaan dipindahkan ke Dayeuh Nagasari .

Pasca menanggalkan gelar keprabon, nama beliau kemudian menjadi lebih terkenal dengan sebutan Mbah Panjalu. Selanjutnya, di Nusa Larang itu beliau lebih berkonsentrasi dalam berkhalwat sambil mengajar murid-muri beliau. Beliau bermukim di Nusa Larang itu dalam waktu yang cukup lama.

Dalam perkembangan berikutnya, beliau kemudian meninggalkan Nusa untuk selanjutnya mengembara dengan tujuan mengembangkan dakwah beliau. Diperkirakan, langkah pengembaraan beliau ke arah Barat, yaitu di seputaran daerah: Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Sumedang, Bandun dan Cianjur. Sebelum meninggalkan Nusa Larang, beliau berpesan kepada anak cucu beliau, kurang lebih begini, "Siapa saja putera dan para
cucuku tidak usah tahu di mana aku dikuburkan."

0leh karena itulah, sampai sekarang tidak diketahui secara pasti di mana beliau dimakamkan. Ada yang berpendapat bahwa beliau dimakamkan di GegerOmas, yaitu di sebuah situs makam yang bernama Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi, desa Ciomas, Kecamatan Panjalu. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa makam beliau terletak di Jampang
Mangung, Sukabumi. Ada pula yang meyakini beliau dimakamkan di suatu daerah di tepi sungai Cileuleuy, kampung Langkob, desa Ciambar, kecamat Nagrak, Sukabumi. Syahdan, beliau dikaruniai Alloh SWT umur yang cukup panjang.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa sosok seperti Hyang Bunisora Suradipati, Prabu Kian Santang, Prabu Walangsungsang, Prabu Kuda Lelepan, Prabu Jampang Manggung, atau Batara Guru di Jampang pada hakikatnya adalah orang yang sama, yaitu Sanghyang Borosngora atau Syeh Mbah Panjalu atau Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar, rodliyallohu 'anhu Prabu Sang Hyang Borosngora dikaruniai dua orang putera yaitu Prabu Haryang (Rahyang) Kuning dan Prabu Haryang (Rahyang) Kancana.

Dari putera ke dua Mbah Panjalu, inilah di kemudian hari keturunannya sampai kepada Syekh Mustaqim bin Muhammad Husein, pendiri Pondok PETA Tulungagung. Dan, Prabu Haryang Kancana Dipuso Lengkong pula inilah yang mewarisi singgasana kerajaan Panjalu. Pada masa pemerintahan beliau, pusat kerajaan Panjalu beliau pindah dari Nusa Gede ke Dayeuh Nagasari (sekarang bernama desa Ciomas, kecamatan Penjalu).

Berbeda dengan ayahanda beliau, Prabu Haryang Kancana menduduki singgasana kerajaan Panjalu dalam waktu yang cukup lama, yaitu mulai tahun 1371 sampai wafatnya beliau pada tahun 1475. Pada masa itulah, dakwah Islamiyah di Bumi Parahyangan mengalami perkembangan yang 'cukup pesat. Selain sebagai raja, beliau juga melanjutkan pengajaran di padepokan yang didirikan ayahanda beliau (Mbah Panjalu) di Nusa Gede pasca ayahanda beliau itu mengembara dan meninggalkan Nusa Gede.

Pada masa beliau menjadi raja Panjalu,rakyat pun merasakan kehidupan yang aman, tenteram, dan sejahtera.

Prabu Haryang Kancana merupakan orang pertama yang jasadnya dimakamkan di Nusa Gede. Keturunan Mbah Panjalu lainnya yang dimakamkan di Nusa Gede, adalah: Raden Tumenggung Cakranagara 111 (w. 1853, makam beliau berdekatan dengan makam Prabu Haryang Kancana). Raden Demang Sumawijaya, Prabu Haryang Prajasasana Kyai Sakti, Raden Demang Argakusumah, dan Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV).

Walloohu a'lam bish showab.