20.11.22

Wafatnya Asy-Syekh Abil Hasan Asy-Syadziliy R.A.

 Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan syawal 656H/ 1258 M Pada awal bulan Dzul Qa'dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitulloh.  Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai beliau ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan bawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syekh pun menjawab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal ditengah perjalanan nanti.”

Pada hari yang sudah ditentukan, ' berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun 'ldzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan al Qoshir, asy Syekh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syekh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asySyekh.

Setelah para keluarga dan murid beliau berkumpul, lalu asy Syekh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang beliau sampaikan, asy Syekh mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan “HIZIB BAHRI”. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung lsmulloohil a'dhorn, yaitu nama-nama Alloh Yang Maha Agung.”

Kemudian, setelah asy Syekh menyampaikan pesan pesan beliau itu, lalu asy Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syekh Abul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapl dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid beliau masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabatsahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Alloh SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian, dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Alloh SWT.”

Pada waktu antara maghrib dan 'isya, beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian beliau memanggil asy Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rodliyallohu 'anh, salah satu putera beliau, “Hai Muhammad, tempat itu (asy Syekh menunj uk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.” Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya memang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.

Mengetahui air sumur itu asin, maka putra beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syekh Syarafuddin menawarkan kepada beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan.

Kemudian asy Syekh mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian.” Selanjutnya oleh putera beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syekh kehendaki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Alloh Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Setelah itu kemudian asy Syekh menerjakakan sholat' isya' lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh lalu berbaring dan menghadapkan wajah beliau kepada Alloh SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau.  Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil. manggil Tuhannya dengan mengucapkan,
“Ilaahiy, ilaahiy....... ” (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku…)".
Dan kadang-kadang pula beliau lanjutkan dengan mengucapkan, “Allohumma mataa yakuunul liqo'?”
(“Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syekh dengan penuh rasa tawadhu', saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syekh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera beliau itu lalu menggerak gerakkan tubuh asy Syekh. Sedikit terkejut dan tertegun syekh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syekh al Imam al Quthub, radhiyallahu 'anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji 'un.

Ketika itu beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia datuk beliau, Rosululloh SAW. Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syekh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama, shiddiqih, dan auliya'ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta'ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung juga untuk mendapatkan berkah dari mengiringkan jenazah asy Syekh, rodliyallohu 'anh.

Semua orang pada hari itu benar-benar merasakan kehilangan. Bagi para ulama dan kalangan sholihin merasa kehilangan orang yang selama ini membimbing dan memberikan petuahnya kepada mereka, di samping sebagai teman diskusi yang mengasyikkan dan amat luas khazanah ilmu pengetahuannya. Selain itu, kelemahlembutan, kesantunan, keramahan, dan kerendahhatian beliau bisa pula menjadi suri tauladan yang nyata dan terpercaya bagi mereka.

Sedangkan bagi Sultan, para pangeran, dan pejabatpejabat kerajaan merasa kehilangan orang yang selama ini selalu memberikan pengarahan, peringatan, dan nasehat-nasehat kepada mereka. Sultan dan para pejabat itu merasa betapa besar peranan dan andil asy Syekh kepada kerajaan dalam mewujudkan pemerintahan yang adil dan bijaksana demi kesejahteraan rakyat seluruh negeri.

Demikian pula perasaan sedih dan kehilangan dialami pula oleh keluarga dan murid-murid asy Syekh. Pada hari itu mereka telah ditinggalkan oleh orang yang benar-benar mereka cintai dan hormati. Selama kehidupan asy Syekh, umur beliau sebagian besar banyak dihabiskan untuk keluarga dan umat beliau. Seluruh kasih sayang dan perhatian beliau senantiasa dicurahkan kepada mereka. Dalam rangkaian doa-doa beliau selalu tidak pernah tertinggalkan permohonan maghfiroh dan rohmat bagi mereka.

Bagi masyarakat kebanyakan, apa lagi. Tidak sedikit di antara mereka yang mencucurkan air mata karena merasa telah ditinggalkan oleh orang yang selama ini selalu menyantuni, membantu, membela, dan mengayomi mereka. Berbagai problem kehidupan, mulai dari persoalan pribadi, rumah tangga, ekonomi, sampai permasalahan dengan pihak kerajaan pun, mereka selalu lari dan mengadu kepada beliau. Segala macam keluh-kesah dan penderitaan senantiasa mereka tumpahkan kepada asy Syekh untuk dicarikan jalan pemecahannya. Pembelaan dan keberpihakan beliau kepada rakyat kecil dan kaum dhuafa, beliau tunjukkan dengan seringnya beliau maupun utusannya menjadi penyambung lidah rakyat dengan pihak kerajaan.

Oleh karena itu, desa Khumaitsaroh yang pada hari-hari sebelumnya tampak sepi dan hanya untuk lalu-lalang para kafilah saja, pada hari itu tiba-tiba berubah menjadi amat ramai luar biasa. Bagaimana tidak, para pejabat kerajaan maupun ulama ulama yang berta'ziyah tentu tidak datang sendirian. Mereka rata-rata diiringi oleh para pengawal dan pengikut-pengikutnya. Di samping itu murid-murid beliau yang jumlahnya sangat banyak dan orang-orang awam yang mendengar berpulangnya beliau tentu tidak akan melewatkan waktu untuk turut berta'ziyah dan memberikan penghormatan.

Jenazah asy Syekh pun kemudian dimakamkan di desa itu pula. Makam beliau sampai sekarang terpelihara dengan baik. dan banyak kaum muslimin yang datang dari segenap penjuru dunia untuk menziarahi beliau.

Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis  : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung.