20.11.22

Bermukim Di Mesir.

 Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melakukan  perjalanan, tibalah asy Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu beliau  singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah, pada saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan  tanggal 15 Sya'ban (Nisfu Sya'ban). Dan, karena takdir Alloh jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh Abul Hajjaj al Aqshory, radhiyallahu 'anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari,  oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Alloh SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syekh Abul  Hajjaj al Aqshory.

Namun, yang jelas banyak yang meriwayatkan bahwa beliau mendapatkan kedudukan sebagai seorang Wali Quthub adalah ketika beliau berada di negeri Mesir pada kedatangan asy Syekh kali ini. Hal ini sesuai dengan apa yang sudah dipetakan oleh guru beliau, asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu  Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hafsani. Pada waktu asy Syekh masih berada di gunung Barbathoh, guru beliau itu mengatakan, “Dan di sana pulalah kelak engkau akan menerima waris al Quthubah dan menjadikan dirimu sebagai seorang Quthub.

Juga dikisahkan, sewaktu beliau sudah menginjakkan kaki di wilayah negeri Mesir ini,dikatakan Alloh SWT kepada beliau, “Wahai Ali, kini telah sirna harihari penuh kepenatan" dan malapetaka bagimu. Kini sudah tiba saatnya hari kebahagiaan, sepuluh lawan sepuluh (telah seimbang), sebagaimana yang dialami datukmu, (shallallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam). ”

Kedatangan beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan! ” Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan
gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.

Oleh Sultan Mesir beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bemama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).

Di tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syekh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya:
  1. Asy Syekh Syahabuddin,
  2. Ahmad,
  3. Abul Hasan Ali, 
  4. Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, 
  5. Zainab, dan 
  6. Arifatul Khair.
Sebagian putra-putri beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah beliau lakukan selama di Tunisia, di “negeri para ulama” ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar mengajar. Asy Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengemban thoriqot beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai'at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar. ' '

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai'at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti:
  1. Sulthonul 'Ulama Sayyid asy Syekh 'lzzuddin bin Abdus Salam, 
  2. Asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, 
  3. Asy Syekh al Muhadditsiin al Hafldh Taqiyyuddin bin Daqiiqil 'Ied, 
  4. Asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul 'Adhim al Mundziri, 
  5. Asy Syekh Ibnush Shalah, 
  6. Asy Syekh Ibnul Haajib, 
  7. Asy Syekh Jamaluddin Ushfur, 
  8. Asy Syekh Nabihuddin bin 'Auf, 
  9. Asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh,
  10. Al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, radhiyallahu 'anh, wafat tahun 638 H./ 1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya.
Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan “Al Kamilah”.

Suatu hari, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah, seorang waliyulloh yang berayah dan berkakekkan waliyulloh pula, yang pada saat itu menjabat sebagai imamnya para kadi negeri Mesir, berkomentar, “Aku memperoleh limpahan keberkahan atas kehadiran asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily, dan seluruh anak negeri patut berbangga karena kebersamaannya dengan beliau.”

Akan tetapi, walaupun asy Syekh sudah menetap di negeri Mesir dan semakin masyhur di sana, hubungan tali silaturahmi antara asy Syekh dan para sahabat serta murid-murid beliau di Tunisia pun tetap terjalin dengan baik. Asy Syekh sering berkirim surat kepada mereka, dan begitu pula sebaliknya. Dalam suratnya, asy Syekh banyak menceritakan keadaan beliau, mulai dari kehidupan keluarga yang diliputi dengan kebahagiaan, sampai perkembangan dakwah beliau yang semakin cemerlang di Mesir. Selain itu, asy Syekh juga senantiasa berpesan kepada mereka agar para sahabat dan murid-murid beliau mampu hidup mandiri, tidak menjadi peminta-minta, dan tidak sampai menyusahkan orang lain, serta selalu hidup rukun dengan sesamanya. Begitu pula orang-orang terkasih di Tunisia pun acap kali mengajukan berbagai pertanyaan kepada beliau. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, mulai dari masalah-masalah keagamaan sampai berbagai persoalan tentang kehidupan. Dan yan lebih penting lagi, di Tunisia, murid-murid beliau masih dengan setia tetap menghidupkan nama serta ajaran-ajaran beliau di negeri itu.

Dalam surat-surat beliau itu terlukiskan betapa asy Syekh adalah orang yang benar-benar memiliki jiwa yang penuh dengan gelora kasih sayang, memperhatikan kesejahteraan jiwa para pengikutnya, menguasai sepenuhnya pengetahuan tentang ilmu-ilmu tasawwuf, sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual, dan mampu mengembangkan kualitas ruhaniyah murid-murid beliau. Kandungan surat-surat beliau juga menggambarkan akan kecerdasan beliau yang luar biasa, kedalaman ilmunya tentang berbagai hal, dan kearifannya dalam menjawab segala permasalahan.

keagungan beliau kealiman keshalihan, dan kelemah lembutan budi pekerti beliau semakin ramai menjadi buah bibir masyarakat dan para ulama Mesir di berbagai kesempatan.

Pernah, pada suatu malam, yaitu sewaktu terjadinya peperangan di kota Al Manshurah, ketika para orang alim termasuk asy Syekh, berkumpul dalam sebuah tenda guna membahas dan mendaras kitab “Ar Risalah”, buah pena asy Syekh al Imam Abul Qosim al Qusyairy (w. 467 H./ 1074 M) salah satu di antara kitab-kitab yang amat asy Syekh kagumi. Pada mulanya, masing-masing ulama memberikan ulasannya terhadap isi kandungan kitab itu, sedangkan asy Syekh hanya  terdiam untuk mendengarkan tanpa memberikan pandangan dan komentarnya. Ketika para ulama itu kemudian mendesak agar asy Syekh bersedia memberikan tanggapannya, maka beliau dengan kerendahhatiannya menjawab, "Tuan-tuan yang mulia, bukankah Anda semua adalah orang orang yang amat menguasai ilmu-ilmu agama? Seandainya pun nanti saya memberikan pandangan tentu hal itu akan sia-sia belaka, karena tampaknya sudah tidak ada 'tempat' lagi bagi saya. Oleh karena itu, menurut saya, sebenarnya sudah cukuplah semua itu.”

“Namun,” lanjut asy Syekh, “Karena Tuan-tuan menghendaki pandangan saya tentang masalah itu, insya Alloh akan saya coba untuk mengemukakan pendapat saya.” Setelah itu beliau diam sejenak, lalu tidak berapa lama kemudian barulah memberikan tanggapan dan ulasannya tentang hal yang tengah dibicarakan.

Ulasan dan keterangan yang asy Syekh kemukakan di hadapan para pembesar agama itu sungguh merupakan suatu hal yang masih amat asing di pendengaran mereka. Para ulama itu mendengarkan dengan seksama serta penuh keharuan dan  ketakjuban. Begitu setelah selesai asy Syekh menguraikan pendapat beliau, sebagaimana permintaan para ulama itu, tiba-tiba salah seorang yang dikenal paling alim di antara mereka, Sulthonul Ulama asy Syekh lzzuddin bin Abdus Salam, berdiri di sudut tenda seraya berkata dengan setengah berteriak, “Wahai saudara-saudaraku! "Ketahuilah bahwa apa yang baru saja Anda dengar tadi bukanlah kata-kata yang biasa kita dengar, akan tetapi semua itu merupakan tetesan ilham langsung dari Alloh SWT yang datangnya bersamaan dengan keluarnya kata-kata itu sendiri !!!

Selain dakwah dan syiar beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawwuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani yang beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.

Thoriqot yang asy Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawwuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk mengenal dan “lari” kepada Alloh SWT.

Selain itu, thoriqot yang beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Alloh SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.

Di samping kiprah beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalam perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab.

Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.

Dikisahkan, bahwa pada waktu itu asy Syekh dengan gagah beraninya maju ke tengah-tengah medan laga. Suatu bukti sifat kesatriaan beliau, sambil tak henti-hentinya berteriak-teriak untuk mengobarkan semangat juang para mujahidin dan prajurit kerajaan. “Ayo, saudara-saudaraku, maju terus, jangan mundur. Jangan takut, jangan khawatir, mati berarti sorga. Alloohu akbar!” '

Dilukiskan, situasi pada waktu itu sudah sedemikian gawatnya. Pasukan kafir dengan bengisnya terus mendesak kedudukan kaum muslimin yang saat itu berjuang mati-matian mempertahankan kota Al Manshurah sebagai benteng pertahanan yang amat penting. Bagaimana tidak, karena apabila kota Al Manshurah sampai jatuh ke tangan orang-orang katir, maka kota Kairo, sebagai jantung negeri Mesir dan pusat pemerintahan tentu akan dengan mudah mereka kuasai. Karena keadaan yang seperti itu, sampai-sampai asy Syekh dan Sultan Mesir, Adz Dzahir Bibris, selama beberapa hari tidak sekejap pun bisa memejamkan mata. Beliau amat prihatin dengan situasi yang mengancam Islam dan negerinya itu.

Selain syekh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam Syekh lzzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh Majduddin al lkhmimi. Para Shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Alloh SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelah selesai _ mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.

Dan, alhamdulillah karena anugerah Alloh jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rosululloh SAW. Pada waktu itu, Rosululloh SAW berpesan kepada beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan, Rosululloh menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 655 H./ 1257 M. Usai peperangan itu asy Syekh lalu kembali ke Iskandaria.

Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis  : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung