Hati Menjadi Sumbernya Nur
ู
ุทุงูุน ุงูุงููุงุฑ ุงููููุจ ูุงูุงุณุฑุงุฑ
“Tempat terbitnya cahaya Ilahi adalah hati dan relung batin.”
Hati dan sirr-nya para ‘Arifiin itu ibaratnya seperti langit yg menjadi tempat berjuta-juta bintang, bulan dan matahari. Seperti yg sudah diterangkan pada hikmah yg terdahulu bahwa nur yg keluar dari hati ‘Arifin itu lebih terang dibandingkan sinarnya bintang, bulan dan matahari.
Sebagian ‘Arifin berkata: “Andaikan Allah membuka Nur hatinya para waliyullah, niscaya cahaya matahari, bulan akan suram (kalah). Sebab cahaya matahari dan bulan bisa tenggelam dan gerhana, sedangkan Nur hati para wali itu tidak bisa tenggelam dan gerhana.”
Dalam hadits qudsi, Rasulullah Saw. bersabda, firman Allah Ta’ala: “Tidak cukup untuk-Ku bumi dan langit-Ku, tetapi yg cukup bagi-Ku hanya hati hamba-Ku yg beriman.”
Jadi kalau kita tidak mengetahui nurnya ‘Arifin, itu bagian dari belas kasihnya Allah Ta’ala.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Tempat terbitnya cahaya maknawi yg berupa bintang² pengetahuan, bulan ilmu, dan matahari tauhid adalah hati dan relung batin. Hati orang ‘arif seumpama langit yg di dalamnya seluruh bintang bersinar.
Cahaya² maknawi itu lebih terang sinarnya daripada cahaya² bintang sesungguhnya. Seorang ‘arif berkata, “Jika Allah membukakan tempat² bersinarnya cahaya di hati para wali-Nya, niscaya cahaya matahari dan bulan akan redup oleh pancaran cahaya hati mereka. Cahaya matahari dan bulan tak sebanding dengan cahaya hati karena cahaya keduanya masih bisa dihalangi oleh gerhana, selain juga akan tenggelam di malam atau siang hari. Sementara itu, cahaya hati wali Allah tidak pernah tenggelam atau mengalami gerhana.
Syaikh Abul Hasan Ali asy-Syadzili berkata, “Jika Allah menyingkap cahaya seorang mukmin yg bermaksiat, cahaya itu menyinari semua yg ada di antara langit dan bumi. Lantas, bagaimana halnya dengan cahaya mukmin yg taat?”
Di antara bukti kelembutan Allah untuk seluruh makhluk adalah, Dia tidak menyingkap cahaya² kaum ‘arif. Syaikh Abul Abbas al-Mursi berkata, “Jika Allah membukakan hakikat para wali-Nya, niscaya wali² itu akan disembah karena sifat² dan watak²nya sama dengan sifat² Allah Ta’ala.”
ููุฑ ู
ุณุชูุฏุน ูู ุงููููุจ ู
ุฏุฏู ุงูููุฑ ุงููุงุฑุฏ ู
ู ุฎุฒุงุฆู ุงูุบููุจ
“Cahaya yg tersimpan di dalam kalbu bersumber dari cahaya yg datang dari perbendaharaan ghaib.”
Sebagaimana diterangkan dalam hikmah terdahulu, bahwa Allah Ta’ala menerangi alam semesta ini dengan cahaya benda (matahari, bulan) buatan-Nya. Sedangkan Allah Ta’ala menerangi hati dengan nur sifat²Nya. Selanjutnya dalam hikmah ini mejelaskan bahwa Nur cahaya keyakinan dalam hati para ‘Arifin itu salurannya langsung dari Nur yg berasal dari perbendaharaan alam ghaib. Sehingga Nur yg ada dalam hati ‘Arifin semakin bertambah terang memancar.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Cahaya yg tersimpan dalam hati disebut nurul yaqin (cahaya keyakinan), yaitu yg tersimpan dalam hati orang² ‘Arif. Cahayanya bertambah terang dengan cahaya sifat² azali yg bersumber dari perbendaharaan ghaib. Jika Allah menampakkan diri dan sifat²Nya kepada mereka, cahaya yg masuk ke dalam hati mereka akan bertambah. Itu adalah bukti perhatian Allah Ta’ala kepada mereka.
Dalam Lathaif Al-Minan disebutkan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala, jika mengangkat seorang wali, Dia akan menjaga hatinya dari segala kebendaan dan menjaganya dengan cahaya² yg terus meneranginya.”
Syaikh Ibnu Atha’illah mengisyaratkan bahwa cahaya yg tersimpan dalam hati terbagi menjadi dua, sebagaimana dijelaskan hikmah berikutnya.
ููุฑ ููุดู ูู ุจู ุนู ุงุซุงุฑู، ูููุฑ ููุดู ูู ุจู ุนู ุงูุตุงูู
“Ada cahaya yg menyingkap jejak²Nya dan ada cahaya yg menyingkap sifat²Nya.”
Hikmah ini juga bisa di artikan:
Nur yg ada dihati ‘Arifin itu bisa membuka/mengetahui keadaan makhluk, mengetahui apa yg ada diatas dan dibawah langit, apa yg ada dibawah bumi, dll. Yg seperti ini dinamakan Kasyaf Shuwari. Menurut ulama’ ahli hakikat, Kasyaf Shuwari itu tidak dipentingkan.
Dan Nur itu juga bisa membuka sifat² keagungan, dan keindahan Allah Ta’ala. Nur yg seperti ini tidak akan bisa berhasil kecuali Allah Ta’ala memperlihatkan sifat² keagungan-Nya pada hamba. Hal seperti ini disebut Kasyaf Maknawi. Dan inilah yg terpenting menurut para ‘Arifin.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Ada cahaya yg menyingkap keadaan makhluk² sehingga ia menyinari ahwal para hamba dan menyinari yg ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq.
Ada pula cahaya yg menyingkap sifat² Allah Ta’ala dan keindahan-Nya. Cahaya ini tidak akan terlihat, kecuali pada orang² yg darinya tampak sifat² Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yg dicari oleh para muhaqqiq.
Syaikh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya yg menyingkap Dzat-Nya,” karena penampakan Dzat Allah yg murni dan bersih dari sifat² masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikannya. Sebagian lagi membenarkan kemungkinannya.
Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyebut penampakan Dzat Allah yg murni ini dengan bawรขriq (kilat) karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.
ุฑุจู
ุง ูููุช ุงููููุจ ู
ุน ุงูุงููุงุฑ ูู
ุง ุญุฌุจุช ุงููููุณ ุจูุซุงุฆู ุงูุงุบูุงุฑ
“Bisa jadi hati terhenti pada cahaya², sebagaimana terhijabnya jiwa oleh gelapnya bayang² ciptaan.”
Ada dua perkara yg bisa menghijab/menghalangi manusia berjalan menuju Allah Ta’ala, yaitu:
Hijab/penghalang yg berupa Nur, yaitu macam²nya cahaya ilmu dan makrifat. Apabila hati hamba selalu silau melihat dan condong kepada Nur ilmu dan makrifatnya, dan menjadikan ilmu dan makrifatnya sebagai tujuan ibadahnya, bukan karena Allah Ta’ala yg memberi ilmu dan makrifat.
Hijab berupa kegelapan, yaitu kesenangan nafsu syahwat dan adat kebiasaan nafsu.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Bisa jadi hati tertutup oleh cahaya² dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah Ta’ala, sebagaimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah Ta’ala.
Hijab yg menghalangi dari Allah Ta’ala itu ada dua macam. Pertama, hijab yg bersumber dari cahaya, yaitu ilmu dan pengetahuan. Jika hati berhenti padanya, ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud.
Kedua, hijab yg bersumber dari kegelapan, yaitu nafsu syahwat dan kebiasaannya. la digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan karena tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.
ุณุชุฑ ุงููุงุฑ ุงูุณุฑุงุฆุฑ ุจูุซุงุฆู ุงูุธูุงูุฑ، ุงุٕฌูุงูุง ููุง ุงู ุชุจุชุฐู ุจูุฌูุฏ ุงูุงุธูุงุฑ ูุงู ููุงุฏู ุนูููุง ุจูุณุงู ุงูุงุดุชูุงุฑ
“Dia menutup cahaya batin dengan tebalnya perbuatan lahir untuk memuliakannya, sehingga tidak menjadi murah lantaran mudah terlihat orang dan tidak diseru dengan lisan yg menyebutkan ketenarannya.”
Nur cahaya kewalian itu sangatlah agung dan mulia, maka Allah Ta’ala mengagungkannya dari kehinaan sebab diperlihatkan, dan dijaga oleh Allah Ta’ala dari keterkenalan di kalangan makhluk.
Hikmah ini juga sudah diterangkan pada hikmah terdahulu, dan juga Allah Ta’ala menutupi nur kewalian karena rahmat/kasih sayang dari Allah Ta’ala terhadap orang² mukmin, sebab sekiranya nur kewalian terbuka pada seseorang, orang tersebut berkewajiban mencukupi hak²nya wali, yg mungkin tidak dapat melaksanakannya. Dan dengan demikian berarti telah berbuat dosa durhaka.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:
Allah Ta’ala menutup cahaya hati para wali-Nya dengan perbuatan lahir mereka dan profesi yg mereka geluti dalam kehidupan sehari-hari karena perbuatan lahir para wali itu dapat menghalangi orang lain untuk melihat cahaya hati mereka. Allah Ta’ala melakukan itu demi memuliakan cahaya batin mereka sehingga tidak murah dan tidak tergoda oleh popularitas karena ia memiliki kedudukan tinggi dan rawan godaan.
Allah Ta’ala memuliakannya agar ia tidak di obral karena mudah dilihat. Allah Ta’ala menjaganya dari ketenaran di antara makhluk agar tidak menyebabkannya terhina di tengah mereka. Hal ini sudah dijelaskan Syaikh Ibnu Atha’illah dalam hikmahnya, “Maha Suci Allah yg telah menutup rahasia keistimewaan dengan ditampakkannya sifat² kemanusiaan.”
Allah Ta’ala menutup cahaya dan rahasia keistimewaan itu tak lain sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kaum mukmin. Hal itu disebabkan, jika rahasia kewalian itu ditampakkan pada seseorang, niscaya orang itu akan dituntut untuk melaksanakan kewajiban² yg tak mampu dilakukannya. Jika ia kurang dalam melaksanakan kewajiban² itu, ia akan terjebak pada sesuatu yg dilarang. Wallaahu a’lam