15.4.23

Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan

كَيْفَ تَطْلُبُ الْعِوَضَ عَلَى عَمَلٍ هُوَ مُتَصَدِّقٌ بِهِ عَلَيْكَ؟ أَمْ كَيْفَ تَطْلُبُ الْجَزَاءَ عَلَى صِدْقٍ هُوَ مُهْدِيْهِ إِلَيْكَ؟

“Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yg menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”

Amal yg boleh minta upah, ialah apabila amal ibadah itu semuanya tidak menguntungkan Tuhan, dan tidak menolak mudharat terhadap Tuhan, bahkan semua amal itu kembali kepada yg beramal sendiri. Lebih² amal perbuatan itu sebagai sedekah dari Tuhan, sedang keikhlasan beramal itu suatu hadiah yg sangat berharga dari Tuhan pula.

Syaikh Syu’bah bin al-Hajjaj al-Wasithi ra. berkata, “Menuntut balasan atas amal taat itu disebabkan oleh karena lupa terhadap karunia pemberian Allah.”

Syaikh Abul Abbas bin Atha’ullah ra. ketika ditanya, “Amal perbuatan apakah yg terdekat kepada murka Allah?” Jawabnya, “Melihat diri dan perbuatannya, dan lebih dari itu menuntut upah/balasan atas kelakuan amalnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bagaimana kau meminta pahala atas amal yg telah Allah Ta’ala sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yg manfaatnya kembali kepada orang itu. Disini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah Ta’ala. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.

Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah Ta’ala untukmu. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yg menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”

Disini Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “sedekah dan hadiah” sebagai pengingat atas hal yg disebutkan, yaitu bahwa amal dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal tersebut. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan “bagaimana” yg menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.

Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “menyedekahkan”, sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yg merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, Beliau menggunakan lafal “menghadiahkan”. Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang² kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yg diberi hadiah itu.

قَوْمٌ تَسْبِقُ أَنْوَارُهُمْ أَذْكَارَهُمْ، وَقَوْمٌ تَسْبِقُ أَذْكَارُهُمْ أَنْوَارَهُمْ، وَقَوْمٌ لَااَذْكَارٌ وَلَااَنْوَارٌ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ ذَالِكَ

“Ada kaum yg cahayanya mendahului dzikir, ada kaum yg dzikirnya mendahului cahaya. Ada kaum yg dzikir dan cahayanya berada dalam posisi yg sama. Ada pula kaum yg tidak memiliki dzikir dan cahaya, na’udzu billaah.. (kami berlindung kepada Allah dari golongan yg tidak berdzikir dan tidak ada cahayanya itu).”

Ada yg berdzikir untuk mendapatkan nur terang hatinya, maka disebut berdzikir, dan ada yg telah terang nur hatinya, ini pun juga berdzikir. Sedang orang yg sama/berbanding antara dzikir dengan nurnya, maka dengan dzikirnya dapat hidayah, dan dengan nurnya dapat di ikuti.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi qs. berkata, “Manusia ada dua macam, ada yg mendapat karunia Allah Ta’ala, sehingga berbuat taat kepada Allah Ta’ala, dan ada pula yg dengan taatnya kepada Allah Ta’ala mencapai kebesaran karunia Allah Ta’ala.”

Firman Allah Ta’ala, “Allah memilih untuk karunia-Nya siapa yg dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepadanya, siapa yg sungguh² datang/kembali kepada-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kaum yg cahayanya mendahului dzikir adalah kaum majdzubun (orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya) dan muradun (orang² yg dikehendaki Allah Ta’ala untuk dekat dengan-Nya). Ketika mereka menghadapi cahaya, terdengarlah pada mereka dzikir² tanpa beban. Dzikir² itu pun dengan mudah mempengaruhi mereka.

Ada pula kaum yg dzikirnya mendahului cahaya. Mereka adalah para muridun (yg menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala) dan salikun (yg meniti jalan menuju Allah Ta’ala). Mereka adalah orang² yg terbiasa ber- mujahadah dan bersusah payah dalam beribadah. Mereka melakukan dzikir dengan penuh perjuangan. Dengan dzikir itu, mereka bisa mendapatkan cahaya.

Golongan pertama, mereka meraih ketaatan kepada-Nya dengan bantuan karamah Allah Ta’ala. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan Allah menentukan siapa yg dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yg besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 105)

Sementara itu, golongan kedua meraih karamah Allah Ta’ala dengan ketaatan kepada-Nya. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman-Nya, “Dan orang² yg berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar² akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan² Kami. Dan sesungguhnya Allah benar² beserta orang² yg berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69)

ذاكر ذكر ليستنير قلبه، وذاكر استنار قلبه فكان ذاكرا، والذي استوت اذكاره وانواره فبذ كره يهتدي وبنوره يقتدي

“Ada orang yg berdzikir agar terang hatinya, lalu dia pun menjadi pedzikir. Ada orang yg terang hatinya, lalu dia pun menjadi pedzikir. Ada pula yg dzikir dan cahayanya sama sehingga dengan dzikirnya itu ia mendapat petunjuk dan dengan cahayanya itu ia melangkah.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ada orang yg berdzikir agar terang hatinya. Mereka adalah para salikun. Kemudian, ada orang yg terang hatinya, lalu ia berdzikir. Mereka itulah para majdzubun. Baginya berdzikir seakan bernapas seperti biasa, bahkan lebih ringan lagi. Beda halnya dengan golongan pertama (salikun).

Seperti telah dijelaskan, salik lebih sempurna daripada majdzub karena salik benar² mengetahui jalan menuju Allah Ta’ala. Mereka mendapatkan karamah dengan perjuangan dan penderitaan, sedangkan majdzub tidak demikian karena mereka tidak pernah meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Mereka mendapat karamah Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala yg menarik mereka untuk didekatkan kepada-Nya. Seperti itulah kondisi mayoritas majdzub. Jika tidak, sebagian dari mereka mungkin akan meniti jalan yg dipersingkat oleh pertolongan Allah Ta’ala untuknya sehingga ia menempuhnya dengan cepat. Di sini mungkin ia tetap menempuh jalan, tetapi ia tidak mengalami liku²nya dan menapaki panjang jaraknya.

مَا كَانَ ظَاهِرُ ذِكْرٍ إِلَّا عَنْ بَاطِنِ شُهُوْدٍ وَفِكْرٍ

“Dzikir yg terlihat bersumber dari penyaksian batin dan hasil berpikir.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Dzikir yg lahir tak lain bersumber dari musyahadah /penyaksian terhadap Tuhan secara batin dan hasil tafakkur tentang-Nya. Masing² dari majdzub dan salik tidak mengucapkan dzikir secara lahir, kecuali setelah syuhud/menyaksikan Tuhan secara batin dan memikirkan-Nya. Seorang majdzub akan mengalami hal itu, sedangkan salik tidak mengalaminya karena tebalnya sifat kemanusiaannya. Meski demikian, ia tetap tidak kehilangan cahaya secara total. Jika tidak mendapatkan cahaya tersebut, tentu ia tidak akan berdzikir. Seperti telah disebutkan di awal, “Sekiranya tidak ada karunia Ilahi, tidak akan ada dzikir,” atau, “Sekiranya tidak ada tajalli  (penampakan ilahi), tidak akan ada tahalli (penyerapan sifat-Nya).”

Maksud dzikir di sini adalah seluruh amal lahir. Disebut dzikir karena dzikir adalah ruh amal² tersebut karena semua amal mengandung dzikir (mengingat Allah). Masing² dari musyahadah  /penyaksian dan tafakkur untuk melakukan dzikir dijalani oleh majdzub  dan salik.

أَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَسْتَشْهِدَكَ، فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الظَّوَاهِرُ، وَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدَّيِتَهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَائِرُ

“Allah membuatmu menyaksikan-Nya sebelum memintamu menyaksikan-Nya. Maka dari itu, seluruh anggota tubuh pun mengakui Ketuhanan-Nya dan semua hati serta relung batin menyadari keesaan-Nya.”

Allah Ta’ala ber- tajalli ke dalam hati tiap orang, menurut kadar kekuatan/ tingkat orang itu, sehingga iman tiap orang itu pun menurut apa yg diperlihatkan oleh Allah Ta’ala daripada kebesaran kekuasaan-Nya. Apabila Allah Ta’ala telah ber- tajalli kepada seorang hamba-Nya, maka pada orang ini bahwa semua makhluk seolah-olah mengakui Ketuhanan-Nya sebagaimana makin yakin dalam hati sanubarinya (perasaan ke Esaan) Allah Ta’ala yg tidak bersekutu dalam Dzat, Sifat, Af’al, kekuasaan, kebesaran dan hikmah kebijaksanaan semua ajaran, jaminan dan aturan-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya dalam hatimu. Dengan begitu, kau bisa menyaksikan-Nya berdasarkan kadar diri dan kedudukanmu sebelum Dia memintamu untuk bersaksi atas keagungan-Nya dengan dzikir dan ibadahmu karena dzikir dan ibadah adalah sebentuk kesaksianmu atas keagungan Tuhan yg patut disembah dan diingat, serta pengakuan atas keesaan-Nya. Oleh karena itu, semua anggota tubuhmu akan berbicara tentang Ketuhanan-Nya atau berbicara tentang segala hal yg menunjukkan Ketuhanan Allah Ta’ala, sedangkan hati dan batin akan menyadari keesaan-Nya.

Kemungkinan maknanya adalah, di alam ghaib, Allah Ta’ala membukakan hakikat Ketuhanan, keesaan, dan kepengaturan-Nya untuk para arwah. Di alam nyata, Dia juga menampakkannya dengan cara memasukkan hakikat itu ke dalam jasad². Selanjutnya, melalui lisan para Nabi-Nya, para jasad itu dituntut untuk bersaksi atas Ketuhanan-Nya, maka semua jasad pun bersaksi dengan lisan dan ucapannya. Kesaksian itu keluar dari jasad ketika ia dituntut untuk bersaksi berdasarkan apa yg disaksikannya.

Makna ucapan Syaikh Ibnu Atha’illah, “Allah membuatmu menyaksikan-Nya” adalah Allah Ta’ala menampakkan keesaan-Nya di alam arwah. “Sebelum memintamu untuk menyaksikan-Nya” bermakna, Dia memintamu bersaksi setelah menempatkan keesaan-Nya di dalam jasad sehingga jasad berbicara tentang Ketuhanan-Nya dengan lisan dan ucapan. Maksudnya, ketika Allah Ta’ala meminta jasad melalui lisan para Nabi-Nya untuk bersaksi, jasad pun angkat berbicara dan menyaksikan keesaan-Nya. Wallaahu a’lam