15.4.23

Merasa Dirinya Tawadhu’, Berarti Dia Sombong

مَنْ أَثْبَتَ لِنَفْسِهِ تَوَاضُعًا فَهُوَا الْمُتَكَبِّرُ حَقًّا، إِذْ لَيْسَ الْتَّوَاضُعُ إِلَّا عَنْ رِفْعَةٍ، فَمَتَى أَ ثْبَتَّ لِنَفْسِكَ تَوَاضُعًا فَأَنْتَ الْمُتَكَبِّرُحَقًّا

“Siapa yg merasa dirinya tawadhu’, berarti ia sombong karena tawadhu’ tidak muncul dari orang yg merasa mulia. Maka dari itu, ketika kau merasa mulia, berarti kau telah sombong.”

Seseorang yang merasa bertawadhu’ (merendah diri) itu disebabkan ia merasa besar dan tinggi, hanya saja ia merendah dan perasaan besar dan tinggi diri itulah hakikat kesombongan, dan itu pula arti takabbur yg di sabdakan oleh Rasulullah Saw., “Sombong itu ialah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” Menghina orang lain disebabkan merasa diri besar dan tinggi, serta mulia.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Siapa yg merasa dirinya rendah hati (tawadhu’), berarti ia sombong karena pengakuan diri sebagai orang yg tawadhu’ itu bersumber dari perasaan ketinggian kedudukan yg sebenarnya layak ia dapatkan, namun ia rendahkan.

Ketika kau merasa tinggi dan mulia seraya merasa ber- tawadhu’, berarti kau benar² telah sombong. Sifat sombong ini tidak akan sirna darimu, kecuali dengan adanya perasaan ketidakberartian, misalnya dengan melihat kedudukan itu sebagai sesuatu yg tidak ada nilainya sama sekali.

لَيْسَ الْمُتَوَاضِعُ الَّذِي إِذَا تَوَاضَعَ رَأَى أَنَّهُ فَوْقَ مَا صَنَعَ، وَ لَكِنَّ الْمُتَوَاضِعَ إِذَا تَوَاضَعَ رَأَى أَنَّهُ دُوْنَ مَا صَنَعَ

“Orang tawadhu’ bukanlah orang yg ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuat. Namun, orang yg tawadhu’ ialah orang yg melihat dirinya lebih rendah daripada yg diperbuat.”

Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, “Seorang hamba tidak dapat bertawadhu’ kepada Allah, hingga mengetahui kedudukan dirinya (letak dirinya).”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, “Selama seseorang itu merasa ada orang yg lebih jahat darinya, maka ia sombong.” Dan ketika ditanya, “Bilakah seorang itu bertawadhu’?” Jawabnya, “Jika tidak merasa ada kedudukan atau kemuliaan, dan tawadhu’ seseorang itu menurut kadar makrifatnya terhadap Allah dan dirinya.”

Muhammad bin Muqatil ra. ketika dimintai doa oleh orang², ia menangis sambil berkata, “Semoga bukan sayalah yg menyebabkan kamu menderita bala bencana ini. Dan tanda bahwa ia benar² bertawadhu’, jika ia tidak marah ketika dihina atau dicela.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Orang yg merendah hati bukanlah orang yg saat melakukan sikap tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yg diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yg tawadhu’ ialah orang yg jika melakukan perbuatan tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia melihat bahwa dirinya lebih rendah daripada yg diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.

Kesimpulannya, seorang yg tawadhu’  adalah orang yg tidak menyatakan bahwa dirinya tawadhu’ karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yg memiliki sifat tawadhu’ sejati adalah orang yg jika melakukan perbuatan² tawadhu’, ia tidak menetapkan sikap tawadhu’ bagi dirinya dan tidak mengaku tawadhu’ karena melihat dirinya lebih rendah daripada yg telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu. Sifat tawadhu’  seperti itulah buah dari syuhud yg diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawadhu’ dan merasa lebih tinggi daripada yg telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu, berarti ia sombong.

Oleh sebab itu, Asy-Syibli berkata, “Siapa yg melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yg tawadhu’.”

Di antara tanda seseorang bersifat tawadhu’ ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka.

التَّوَاضُعُ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ مَا كَانَ نَاشِئًا عَنْ شُهُوْدِ عَظَمَتِهِ وََتَجَلِّي صِفَتِهِ

“Tawadhu’ yg sebenarnya bersumber dari syuhud (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Sikap rendah hati sesungguhnya adalah sikap yg timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah Ta’ala yg tampak di mata seorang hamba itu yg menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.

Allah Ta’ala tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.

Ada pula sikap tawadhu’ yg tidak hakiki, yaitu yg bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah dan serba kekurangan. Tawadhu’ ini bukan rendah hati yg sesungguhnya karena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi qs. berkata, “Tawadhu’ menurut ahli tauhid bukanlah takabbur.”

Imam Al-Ghazali mengomentari ucapan Imam Al-Junayd ini dengan berkata, “Mungkin maksudnya, seorang yg bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga tak perlu merendahkannya lagi.”

Orang yg rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana’ setelah melihat kebesaran Allah Ta’ala. Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif disebutkan, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yg bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub.”

لَايُخْرِجُكَ عَنِ الْوَصْفِ إِلَّا شُهُوْدُ الْوَصْفِ

“Yang membuatmu keluar dari sifat angkuh adalah penyaksianmu terhadap sifat agung Tuhan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Tak ada yg membuatmu keluar dari sifat² burukmu, seperti sombong dan ujub, kecuali setelah kau menyaksikan sifat² Allah Ta’ala, seperti kemuliaan dan keagungan-Nya. Seorang hamba tak bisa terbebas dari sifat² dirinya, kecuali setelah ia menyaksikan sifat² Tuhannya.

Siapa yg melihat kesombongan Tuhannya, ia tidak akan sombong lagi. Siapa yg melihat kekayaan-Nya, ia tidak akan merasa kaya lagi. Siapa yg melihat kuasa-Nya, ia tidak akan merasa memiliki kekuasaan dan kemampuan apa². Dengan begitu, ia akan hidup dengan Tuhannya, bukan dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, siapa yg menyaksikan sifat² Tuhannya, tak ada lagi keangkuhan dalam dirinya. Wallaahu a’lam