Nasihat adalah Makanan Hati
(Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain)
الْعِبَارَتُ قُوْتٌ لِعَائِلَةِ الْمُسْتَمِعِيْنَ، وَلَيْسَ لَكَ إِلَّا مَا أَنْتَ لَهُ آكِلٌ
“Keterangan (kata² yg berhubungan dengan ilmu makrifat), itu bagaikan makanan bagi yg mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa² kecuali apa yg engkau makan.”
Pada kenyataan lahir bahwa warna dan bentuk makanan itu bermacam-macam (berbeda-beda), dan makanan yg cocok dengan seseorang kadang tidak cocok bagi yg lainnya karena bedanya watak dan selera, dan makanan itu yg berguna bagi tiap² orang itu hanya yg dimakan. Begitu juga makanan yg bangsa maknawi, yg difahami dari ilmu makrifat itu juga berbeda-beda. Apa yg cocok dengan seseorang kadang tidak cocok untuk orang lainnya, sehingga suatu keterangan yg disampaikan kepada orang banyak/jama’ah, itu terkadang berbeda juga pemahaman satu dengan yg lainnya, itu karena berbeda tujuannya.
Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi ra. berkata: “Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqoqil-qonadil di Mesir, dan disitu bertemu dengan Guru², dan setelah hidangan dikeluarkan, disitu ada satu wadah dipakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang² makan tiba² wadah itu berkata: ‘Karena kini aku telah mendapat kehormatan dari Allah untuk tempat makanan Guru² ini maka mulai saat ini aku tidak rela dipakai tempat kotoran.’ Kemudian ia terbelah menjadi dua.”
Syaikh Ibnu Arabi bertanya kepada hadirin semua: “Apakah kalian semua telah mendengar?” Jawab mereka: “Ya, kami mendengar. Ia berkata, ‘Sejak aku dipakai tempat makanan Guru², maka aku tidak mau menjadi tempat kotoran lagi.'”
Syaikh Ibnu Arabi berkata: “Tidak begitu katanya.” Para hadirin bertanya: “Lalu ia berkata apa?” Jawab Syaikh Ibnu Arabi: “Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Allah dijadikan tempat Iman, maka janganlah rela ditempati najis², syirik, maksiat dan cinta dunia.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Ungkapan yg diucapkan oleh ahli tarekat tentang ilmu dan makrifat adalah makanan ruh bagi para pendengarnya atau mereka yg membutuhkan nasihat dan hikmah, persis seperti makanan yg dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Apa yg kau peroleh tak lain adalah apa yg telah kau makan. Tidak setiap orang cocok dengan satu makanan tertentu karena perbedaan kebiasaan dan kesukaan. Demikian pula dengan makanan ruh, makanan ruh untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain karena perbedaan kecenderungan dan keinginan mereka masing².
Bahkan, terkadang satu ungkapan yg dilontarkan kepada satu kelompok pun, tiap² anggota kelompok itu akan berbeda dalam memahaminya dengan yg dipahami anggota lainnya. Mungkin sebagian orang ada yg memahami sebuah ucapan dengan makna yg berbeda dengan yg di inginkan si pembicara, namun batinnya terpengaruh oleh hal itu secara menakjubkan.
رُبَّمَا عَبَّرَ عَنِ الْمَقَا مِ مَنِ اسْتَشْرَفَ عَلَيْهِ، وَرُبَّمَا عَبَّرَ عَنْهُ مَنْ وَصَلَ إِلَيْهِ، وَذَالِكَ مُلْتَبِسٌ إِلَّا عَلَى صَاحِبِ بَصِيْرَةٍ
“Bisa jadi, yg menjelaskan perihal maqam adalah orang yg belum sampai kesana. Bisa jadi pula, yg menjelaskannya adalah orang yg telah sampai kesana. Semuanya samar, kecuali bagi orang yg memiliki ketajaman bashirah/mata hati.”
Hikmah ini sebagai lanjutan hikmah ke sebelumnya, yg perlu kita perhatikan, ada orang yg menerangkan suatu maqam karena mengambil dari keterangan kitab, atau menghafal kata² para ulama’ shufiyyah, lalu diterangkan pada orang lain. Berbeda dengan orang² yg sudah sampai pada maqam itu, yg berbicara tentang maqam itu biasa saja, seperti berbicara tentang lainnya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Bisa jadi, orang yg menjelaskan perihal maqam, seperti maqam zuhud, maqam wara’, dan maqam tawakkal, adalah orang yg belum sampai ke maqam tersebut, bisa jadi pula orang yg memang sudah sampai. Kedua kondisi itu amat sulit dibedakan, kecuali oleh orang yg memiliki bashirah/mata hati karena ia mampu melihat gambaran batin seseorang.
Orang yg belum mencapai maqam biasanya senang membicarakan maqam. la menganggapnya sebagai sesuatu yg luar biasa. Ia juga merasa dirinya hebat karena sebentar lagi akan sampai kesana. Lain halnya dengan orang yg sudah mencapai maqam. Ia membicarakan maqam-nya dengan biasa² saja, seperti berbicara tentang hal lain.
Mungkin juga, orang yg menjelaskan perihal maqam ini adalah orang yg menukilnya dari sebuah kitab sembari menjaga ahwal-nya dari kebiasaan bicara orang² sehingga tak heran jika akhirnya ia dianggap sebagai orang yg sudah mendapatkan maqam itu. Untuk mengenali orang seperti ini, kita harus menerapkan kaidah² ilmu. Jika ia selalu banyak menjawab, cenderung fanatik dan egois, berarti ia hanya seorang pendusta yg mengaku-aku telah mendapatkan sebuah maqam.
لَايَنْبَغِي لِلسَّالِكِ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْ وَارِدَاتِهِ, فَإِنَّ ذَالِكَ يَقِلُّ عَمَلَهَا فِي قَلْبِهِ وَيَمْنَعُهُ وُجُوْدَ الصِّدْقِ مَعَ رَبِّهِ
“Tidak semestinya seorang salik mengungkapkan karunia (warid) yg diperolehnya. Hal itu bisa mengurangi pengaruh warid dalam qalbu dan menghalangi ketulusannya kepada Tuhan.”
Seperti keterangan² terdahulu tentang warid, yaitu: perkara yg diberikan Allah kepada hamba-Nya yg berupa ilmu yg langsung dari Allah yg berhubungan dengan Tauhid.
Sebaiknya salik (orang yg berjalan menuju Allah) tidak menerangkan dan membuka waridnya kepada orang lain, kecuali pada Guru Mursyid-nya, karena bisa mengurangi atsar-nya dalam hati sehingga tidak sempurna manfaatnya warid di dalam hati, dan juga bisa menghalangi kesungguhannya kepada Allah, karena menerangkan warid itu tidak lepas dari syahwat/kesenangan nafsu, nafsu merasa enak dan senang, yg bisa menjadikan kuat sifat²nya nafsu. Yg demikian itu pandangannya belum bulat kepada Allah, tetapi masih selalu mengharap apa² dari makhluk. Dan lagi kalau ia bisa menyimpan rahasia Tuhan yg diberikan kepadanya, ia akan mendapatkan kepercayaan untuk rahasia² yg lebih besar selanjutnya.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Seorang salik tak layak untuk mengungkapkan anugerah dan karunia yg di alaminya, berupa ilmu laduni maupun rahasia² tauhid. Ia tidak boleh mengungkapkannya dengan keinginan sendiri. Justru semestinya ia menyembunyikan dan menjaganya agar tak seorang pun tahu, kecuali Guru Mursyid-nya.
Mengungkapkan hal itu bisa mengurangi kesan karunia itu di dalam qalbu sehingga ia tidak bisa memanfaatkannya secara utuh. Hal itu juga dapat menghalangi ketulusannya kepada Tuhan karena biasanya, pengungkapan tentang karunia itu tidak akan lepas dari nafsu syahwat. Saat mengungkapnya, nafsu menemukan kenikmatan dan kelapangan. Tentu hal itu akan menguatkan sifat² syahwatnya dan kekuatan sifat itulah yg menghalanginya untuk tulus kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam