Perbedaan Antara Engkau Menyertai Alam dengan Alam Menyertaimu
اَنْتَ مَعَ الْأَكْوَانِ مَا لَمْ تَشْهَدِ الْمُكَوِّنَ، فَإِذَا شَهِدْتَهُ كَانَتِ الْأَكْوَانُ مَعَكَ
“Kau tunduk kepada alam selama belum melihat Penciptanya. Jika kau telah menyaksikan-Nya maka alam akan tunduk kepadamu.”
Selama masih ada hajat kebutuhan kepada alam benda, maka engkau tetap menjadi budak hamba kebendaan, tetapi bila engkau telah sadar bahwa benda ini tidak bergerak sendiri, bahkan tergantung pada Penciptanya, maka ketika engkau sadar yg demikian, engkau tidak berhajat lagi kepada alam benda, dan merasa kaya cukup dengan Pencipta alam benda, sehingga benda itu pun tunduk kepadamu dengan izin Allah Ta’ala Penciptanya.
Syaikh Abu Bakar asy-Syibli ra. berkata, “Tidak pernah tergerak di dalam hati orang yg mengenal kepada Allah pencipta alam ini, sesuatu dari hal alam benda: Yakni seorang yg benar² telah mengenal Allah, sama sekali tidak merasa butuh kepada kebendaan.”
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Kau hanya akan terpaku pada alam dan bersandar kepadanya selama kau tidak melihat siapa Pencipta alam itu. Jika kau sudah melihat Sang Pencipta di dalamnya, alam akan bersamamu. Dengan kata lain, kau tidak membutuhkannya, namun kau akan memilikinya. Alamlah yg akan membutuhkan dan melayanimu. Jika kau meminta sesuatu dari alam, permintaanmu akan cepat terwujud. Jika kau katakan kepada suatu benda alam, “Jadilah!”, niscaya ia akan terjadi dengan izin Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, tak heran jika sebagian wali ada yg berkata kepada langit, “Turunkan hujanmu!” atau berkata kepada angin, “Bertiuplah!” maka angin itu pun bertiup dan awan menurunkan hujannya. Sebabnya adalah karena para wali merasa ghaib dari alam dengan menyaksikan Penciptanya. Dalam kondisi syuhud ini, seorang wali akan kehilangan indranya dan kehilangan kemanusiaannya, tetapi tidak mesti ia harus mengalami kefana’an.
لَايَلْزَمُ مِنْ ثُبُوْتِ الْخُصُوْصِيَّةِ عَدَمُ وَصْفِ الْبَشَرِيَّةِ، إِنَّمَا مَثَلُ الْخُصُوْصِيَّةِ كَإِشْرَاقِ شَمْسِ النَّهَارِ، ظَهَرَتْ فِي الْأُفُقِ وَلَيْسَتْ مِنْهُ، تَارَةً تَشْرُقُ شُمُوْسُ أَوْصَافِهِ عَلَى لَيْلِ وُجُوْدِكَ، وَتَارَةً يَقْبِضُ ذٰلِكَ عَنْكَ فَيَرُدَّكَ إِلٰى حُدُوْدِكَ ,فَالنَّهَارُ لَيْسَ مِنْكَ وَإِلَيْكَ، وَلَكِنَّهُ وَارِدٌ عَلَيْكَ
“Adanya keistimewaan tidak berarti lenyapnya sifat² manusia. Keistimewaan tersebut ibarat sinar mentari siang. Ia tampak di cakrawala, padahal bukan bersumber dari cakrawala. Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu. Kadangkala pula Dia mencabutnya kembali darimu dan mengembalikanmu pada batas semula. Siang tersebut bukan berasal darimu dan bukan pula menuju kepadamu. Namun, ia datang dari Allah untukmu.”
Sifat² khushusiyah (kewalian) seperti kasyaf terhadap sesuatu hal, atau kekuatan yg istimewa untuk berbuat dan mengadakan sesuatu, itu semua tidak melazimkan lenyapnya sifat² manusia biasa, seperti kebodohan, kemiskinan dan kelemahan. Sama dengan sinar matahari terhadap benda² yg tadinya gelap mendapat cahaya matahari maka berubah menjadi terang, tetapi jika terbenam matahari itu tidak termasuk sifat dzatnya, maka apabila menerima nur tajalli maka tampak keluar dari padanya sifat² Allah Ta’ala yg menerangi dzatnya itu, tetapi bila ditarik kembali nur tajalli itu, maka kembalilah sifat² yg asli pada manusia. Maka sifat² khushusiyah (keistimewaan/kewalian) itu bukan sifat manusia yg asli, hanya menjelma (datang) kepadanya, pada sifat² yg ditentukan Allah Ta’ala sendiri yg memberi itu.
Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:
Adanya kelebihan yg diberikan Allah Ta’ala kepadamu yg berupa kekuatan dan kemampuan melakukan apa saja terhadap semua benda dan mengungkap rahasianya tidak berarti hilangnya sifat kemanusiaanmu, seperti sifat tidak memiliki, lemah, tak berdaya, hina, dan bodoh. Sifat² manusia itu merupakan hal yg bersifat inti dan pasti melekat pada diri setiap hamba.
Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelebihan itu dengan mengatakan, “Keistimewaan itu ibarat sinar mentari siang hari.” Keistimewaan seumpama sinar yg amat panas dan terang benderang. Ia muncul di cakrawala langit, tetapi tidak bersumber dari cakrawala itu sendiri. Jika matahari siang muncul di cakrawala yg gelap gulita, kegelapan itu akan bersinar terang. Jika ia tenggelam, cakrawala akan kembali gelap seperti sediakala. Hal itu dikarenakan, benderangnya cakrawala bukan merupakan sifat dasar cakrawala itu, melainkan hanyalah asupan dan pemberian. Tentu sifat² asupan tidak bisa menghilangkan sifat² dasar.
Seperti itulah sifat² manusia yg ada pada dirimu, seperti kemiskinan, kelemahan, dan ketidakberdayaan, persis dengan keadaan di malam hari. Jika matahari muncul di malam hari atau jika Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya pada dirimu dengan sifat² kaya dan kuasa-Nya, dzatmu akan bersinar terang dengan kekayaan dan kekuasaan. Namun, apabila cahaya itu diambil lagi, dzatmu akan kembali seperti semula. Inilah yg di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha‘illah dengan ucapannya, “Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu.”
Maksudnya, sifat² Allah Ta’ala yg di umpamakan dengan matahari akan tampak pada sifat² pribadimu yg di umpamakan dengan malam hari. Dengan demikian, keistimewaanmu akan tampak dan kau pun menjadi mampu dengan kuasa Allah Ta’ala, kuat dengan kekuatan Allah Ta’ala, dan tahu dengan ilmu Allah Ta’ala, demikian seterusnya. Jika Allah Ta’ala menampakkan Diri-Nya padamu dengan sifat² kuasa-Nya, kau akan memiliki kekuatan yg dapat menutupi kelemahanmu. Apabila Dia menampakkan Diri-Nya padamu dengan sifat ilmu-Nya, kau akan memiliki ilmu yg menutupi kebodohanmu, demikian seterusnya.
Terkadang, Allah Ta’ala mencabut sifat²Nya kembali darimu dan mengembalikanmu seperti semula; lemah, tak berdaya, dan bodoh. Dengan begitu, keistimewaanmu menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, terkadang pada diri Rasulullah Saw. tampak sifat² kekuatan dan kemampuan sehingga tak heran jika Beliau bisa memberi makan seribu orang dengan hanya satu sha’ gandum. Namun, sesekali Beliau lemah dan tak berdaya sehingga Beliau harus mengikat batu di perutnya demi menahan rasa lapar yg menderanya. Seperti itu pula yg dialami oleh para wali pewarisnya.
Keistimewaan yg tampak padamu bukan berasal dari dirimu sendiri, bukan sifat² dasarmu. Ia adalah sifat asupan atau pemberian dari Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, Dia akan mengabadikannya padamu. Jika Dia menginginkan sebaliknya, Dia akan menghilangkannya lagi.
Oleh sebab itu, pada waktu² tertentu, para wali terlihat memiliki kekuatan. Namun, terkadang mereka lemah dan tak berdaya. Meski demikian, cahaya hati mereka dan rahasia batinnya tetap tidak hilang dan tidak tenggelam. Yg tenggelam dan hilang dari mereka hanyalah keistimewaan yg tampak pada tampilan lahir mereka. Wallaahu a’lam