Asy-Syeikh Sebagai Seorang Guru Mursyid
Sebagai pengganti kemursyidan ayahanda beliau, asy Syekh menjalankan tugas sebagai guru mursyid 3 thoriqot Agung dengan penuh rasa tanggung jawab. Selain ke 3 thoriqot yang beliau ajarkan, yakni thoriqot Syadziliyah, Qodiriyah wan Naqsyabandiyah, dan Naqsyabandiyah, secara pribadi asy Syekh juga menjalani 2 thoriqot yang lain. Namun, kepada penulis asy Syekh tidak pernah menyebutkan nama 2 thoriqot beliau yang lainnya itu.
Sehari-harinya asy Syekh secara konsekwen selalu mengamalkan semua thoriqot yang beliau miliki, baik yang beliau ajarkan maupun yang beliau pakai sendiri. Pernah pada suatu sore ba’da Ashar, ketika itu penulis bersama ayahanda dipanggil menghadap beliau. Setelah kami bersalaman dan duduk di hadapan beliau, terlihat asy Syekh sedang duduk sambil memutar tasbih beliau dengan cepat. Kami pun hanya bisa terdiam. Kira-kira 10 menit kemudian, asy Syekh lalu melemparkan tasbih beliau tidak jauh dari tempat duduk beliau seraya berkata, “Membaca Naqsyabandiyah, kak Musa.”
Tentang tanggung jawab asy Syekh membai’at para murid beliau, asy Syekh pemah bercerita bahwa beliau pernah melakukan bai’atan thoriqot Syadziliyah di suatu daerah di Jawa Barat selama hampir sehari semalam. Hal itu karena saking banyaknya murid yang akan beliau bai’at. Sedangkan, dalam tradisi bai’atan di pondok PETA, murid harus dibai’at satu per satu. Sejak dulu di pondok PETA tidak dikenal bai’atan secara masal atau kolektif. Asy Syekh mengatakan bahwa setiap murid secara langsung berhadapan dengan beliau (face to face) untuk dibai’at dan didoai satu per satu.
Oleh karena itulah, ketika di Jawa Barat itu karena saking banyaknya, maka waktunya pun menjadi cukup panjang. Ketika itu, bai’atan dimulai ba’da Subuh dan baru selesai pada dini hari besoknya. Bai’atan dilakukan secara terus menerus kecuali pada saat ishoma (istirahat, sholat, dan makan) saja. Setclah asy Syekh bercerita tentang hal itu, ada seorang teman penulis yang ‘usil’ bertanya, “Begitu itu apa nggak boleh diwakilkan to, pak Yai?” Asy Syekh menjawab,"‘Boleh. . ., asal aku mau digebuki malaikat.”
Asy Syekh pernah pula mengatakan bahwa waktu untuk melaksanakan bai’atan juga harus dalam waktu yang ‘tepat’. Kata asy Syekh. “Bai’atan itu suatu hal yang berat dan memerlukan konsentrasi yang prima. Situasi dan kondisi alam ghaib juga harus dalam keadaan stabil dan kondusif.”
Sebagai seorang guru mursyid thoriqot Naqsyabandiyah, asy Syekh sangat paham tentang seluk beluk thoriqot yang dikenal cukup rumit itu. Pernah, asy Syekh dalam sebuah perjalanan di daerah Jawa Tengah, ketika di suatu masjid beliau berjumpa dengan seorang mursyid thoriqot Naqsyabandiyah yang sebelumnya tidak saling mengenal. Singkat cerita, setelah beliau berdua berdiskusi, akhimya pak kyai itu minta tolong kepada asy Syekh untuk menjelaskan secara detail cara pengamalan thoriqot tersebut. Asy Syekh pun kemudian memenuhi permintaan pak kyai itu.
Asy Syekh pemah berkata kepada ayahanda penulis, “Mak de Sholeh itu wali, kak Musa, tapi tidak seperti saya. Kalau saya itu kebebanan mengasuh (Jawa, ngemong) umat.” Yang asy Syekh maksud ‘mak de Sholeh’ adalah mbah Kyai Sholeh Sayuti bin H. Rois. Beliau adalah kakak kandung mbah Nyai Sa’diyah, ibunda asy Syekh. ‘Mak de’ dalam bahasa Jawa berarti ‘paman’. Pada masa hidupnya, mbah Kyai Sholeh Sayuti dikenal masyarakat Tulungagung dengan nama ‘mbah wali Sayuti’. Dari kalimat yang asy Syekh sampaikan itu menunjukkan secara jelas bahwa beliau adalah seorang waliyulloh yang sekaligus di karuniai irsyad (waliyyan mursyidan).
Di lain waktu asy Syekh pemah berkata, “Gus Dur itu seorang wali. Kewalian Gus Dur akan terlihat nanti setelah beliau wafat. Lihat saja nanti Gus Dur menjadi presiden dan bertingkah nyeleneh itu hanya sebagai penutup kewaliannya.
Pada masa Syekh Mustaqim, dari ketiga thoriqot yang diajarkan di pondok PETA, thoriqot Syadziliyah merupakan thoriqot yang lebih disyi’arkan dibandingkan 2 thoriqot lainnya. Hal ini karena memang ada pesan khusus dari Syekh Abdur Rozaq, Termas, agar Syekh Mustaqim mengembangkan thoriqot tersebut di daerah Tulungagung.
Secara silsilah, asy Syekh menerima ijazah dan kemursyidan thoriqot Syadziliyah, dari ayahanda beliau :
- Syekh Mustaqim bin Husein, beliau menerima dari guru beliau
- Syekh Abdur Rozaq bin Abdullah at Tarmasi, dari
- Syekh Ahmad, Kadirejo, Klaten, dari
- Sayyidisy Syekh Ahmad Nahrowi Muhtarom al Jawi tsummal Makky, dari
- Sayyidisy Syekh Muhammad Sholih al Mufty al Hanafy al Makky, dari
- Sayyidisy Syekh Muhammad ‘Ali bin Thohir al Watri al Hanafi al Madani, dari
- Sayyidisy Syekh al ‘Allamah asy Syihab Ahmad Minnatulloh al ‘Adawi asy Syabasi al Azhary al Mishry al Maliky, dari
- Sayyidisy Syekh al ‘An'f Billah Muhammad al Bahity, dari
- Sayyidisy Syekh Yusufasy Syabasi adh Dhoriry, dari
- Asy Syekh Asy Syihab Ahmad bin Musthofa al Iskandary Asy Syahir Bisshobbagh, dari
- Syekh al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Abdul Baqi’ az Zurqoni al Maliky, dari
- Sayyidisy Syekh an Nur ‘Ali bin Abdur Rohman al Ajhuri al Mishry al Maliky, dari
- Sayyidisy Syekh al ‘Allamah Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr al Qorofi, dari
- Syekh al Hafidh al Burhan Jamaluddin Ibrahim bin Ali binAhmad al Qurosyi asy Syafl’i al Qolqosyandi. dari
- Syekh asy Syihab Taqiyyuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar al Muqdisi asy Syahir bil Wasithy, dari
- Syekh al ‘Allamah Shodruddin Abil Fatkhy Muhammad bin Muhammad bin lbrohim al Maidumi al Bakry al Mishry, dari
- Syekh al Quthubuz Zaman Sayyid Abul Abbas Ahmad bin ‘Umar al Anshory al Mursi, dari
- Quthbul Muhaqqiqin Sulthonil Auliya’is Sayyidinasy SyekhAbil Hasan ‘Ali asy Syadzily, dari
- Sayyidy ‘Abdus Salaam bin Masyisyi, dari
- Sayyidy ‘Abdur Rohman al ‘Atthor az Zayyat, dari
- Sayyidy Taqiyyuddin al Fuqoyr, dari
- Sayyidy Fakhruddin, dari
- Sayyidy Nuruddin Abil Hasan ‘Ali, dari
- Sayyidy Muhammad Tajuddin, dari
- Sayyidy Muhammad Syamsuddin, dari
- Sayyidy Zainuddin al Qozwiny, dari
- Sayyidy Ibrohim al Bashry, dari
- Sayyidy Ahmad Marwany, dari
- Sayyidy Sa’id, dari
- Sayyidy Sa’du, dari
- Sayyidy Fatkhus Su’ud, dari
- Sayyidy Sa’id al Ghozwany, dari
- Sayyidy Abi Muhammad Jabir, dari
- Sayyidy al Hasan bin ‘Ali, dari
- Sayyidy ‘Ali binAbi Tholib, dari
- Sayyidil Mursalin Sayyidina Muhammadin ibni ‘Abdillah ‘alaihi afdholush Sholaati wa Azkat Taslim dari
- Sayyidina Jibril ‘alaihis salaam, dari
- Robbil ‘Izzati Robbil ‘Alamiin.
Asy-Syekh Sebagai Pemimpin Umat.
Sejak awal asy Syekh memikul tanggung jawab sebagai seorang guru spiritual atau mursyid, beliau merasa bahwa untuk mewujudkan tanggung jawab itu tidak hanya dalam masalah masalah ruhani saja. Namun, beliau juga harus memperhatikan kesejahteraan umat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan al Imam al Quthub asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily, rodliyallohu 'anhu *).
Oleh karena itulah, upaya asy Syekh bersahabat dengan kalangan pejabat tinggi serta mendirikan Lembaga Bantuan Hukum adalah salah satu cara beliau untuk menolong meringankan beban umat.
Selain itu, asy Syekh juga sering melontarkan kritik pedas terhadap para tokoh dan pemimpin umat yang mengabaikan nasib orang-orang yang seharusnya menjadi tanggungjawab mereka. Lebih dari itu, mereka justru memanfaatkan kepercayaan rakyat atau umat untuk kepentingan mereka pribadi dan keluarganya. Yang sering membuat jengkel asy Syekh adalah prilaku mereka yang justru ‘menari di atas penderitaan orang lain’.
Asy Syekh pemah mengajak putera-puteri beliau ke stasiun kereta api. Saat di stasiun itu beliau perlihatkan keadaan rakyat yang rata-rata dari golongan tidak mampu. Beliau mengatakan bahwa pada saat mereka (rakyat kecil) akan bepergian mereka harus bersusah payah, mulai harus antri membeli tiket, berdesak-desakan ketika akan naik ke gerbong, berebut tempat duduk, dan harus berdiri atau duduk di bawah ketika mereka tidak kebagian tempat duduk. Asy Syekh juga menunjukkan kepada mereka para kuli angkut dan pedagang asongan.