Kehidupan sehari-hari Asy-Syeikh
Dalam kesehariannya, asy Syekh selalu berpenampilan rapi bersih, segar (fresh), dan senantiasa berbau harum. Kemanapun asy Syekh pergi, bahkan di rumah pun, di saku baju beliau selalu terdapat sebotol kecil minyak wangi yang berkwalitas tinggi dan berbau segar. Minyak wangi itu sering asy Syekh usapkan ke telapak tangan dan baju beliau. Sehingga, pada saat murid-murid asy Syekh yang ketika salaman dan mencium tangan beliau, maka mereka pun akan mencium aroma harum yang segar dari tangan beliau.
Rambut beliau selalu dalam keadaan tersisir rapi. Kumis asy Syekh senantiasa teratur dan selalu beliau pangkas manakala sudah terlihat panjang. Demikian pula kuku-kuku beliau. Jenggot dan cambang beliau selalu beliau cukur bersih setiap 2 atau 3 hari sekali.
Dalam hal berpakaian, ketika di rumah dan tidak sedang ada tamu, asy Syekh selalu berpenampilan sederhana. Beliau selalu bersarung, berkopiah hitam, serta mengenakan kaos singlet dan kaos oblong wama putih. Pada saat ada tamu, barulah beliau mengenakan pakaian. Baju yang sehari-hari beliau pakai hanyalah berupa baju koko.
Namun, ketika asy Syekh bepergian, performance beliau pun sudah jauh berbeda. Asy Syekh selalu mengenakan celana panjang berwama hitam lengkap dengan ikat pinggangnya, hem polos lengan panjang atau pendek, dan berkopiah hitam. Pada saat memakai hem, bagian bawah baju beliau selalu beliau masukkan ke dalam celana. Ketika menghadiri suatu acara, sering kali asy Syekh memakai baju batik atau hem yang memakai sedikit variasi.
Semua barang yang asy Syekh kenakan, mulai baju, celana, ikat pinggang, dompet, korek api, arloji, dan alas kaki adalah barang-barang yang terbuat dari bahan yang halus, berkwalitas tinggi, dan branded. Pendek kata, kalau asy Syekh sudah herpenampilan seperti itu, yang terlihat adalah sosok seorang laki-laki yang gagah, tampan, simpatik, namun juga santun dan murah senyum.
Pernah, pada suatu hari di tahun 1989, asy Syekh tiba-tiba datang ke rumah ayahanda penulis dengan penampilan yang lain dari pada yang lain. Ketika itu, asy Syekh mengenakan celana, baju lengan panjang, bersepatu boots, berkaca mata hitam, dan memakai topi ala cowboy. Pada saat masih di luar rumah, kebetulan ayahanda berpapasan dengan beliau. Ketika berpapasan itu ayahanda sama sekali tidak mengetahui kalau itu adalah asy Syekh. Ayahanda baru sadar setelah asy Syekh menyapanya, “Kak Musa...., mau ke mana?” Tentu saja ayahanda pun jadi terkaget-kaget.
Dalam hal duduk, ketika di rumah, asy Syekh lebih suka duduk di bawah dengan alas karpet, hambal, atau kasur tipis. Jarang sekali beliau terlihat duduk di kursi. Bisa dikatakan asy Syekh ketika duduk, baik di bawah maupun di kursi, beliau hampir tidak pernah menyandarkan punggung beliau di sandaran kursi maupun tembok .
Langkah kaki asy Syekh ketika beliau berjalan selalu dengan langkah yang tenang, teratur, dan tidak pernah terburu-buru.
Cara asy Syekh makan dan minum, yaitu pertama, beliau selalu mengucapkan ‘basmalah’ pada setiap suapannya. Asy Syekh mengatakan, “Aku kalau makan, selalu membaca ‘bismillah’ pada setiap suapanku. Tidak seperti orang-orang itu, membaca bismillahnya hanya ketika pada permulaan makanan saja, itu pun kalau ingat. Sering kali mereka tidak membaca ‘bismillah’. tapi membaca ‘alhamdulillah’ setelahnya, itu pun karena bersamaan dengan sendawa (Jawa, glege ’en).”
Ke dua, ketika asy Syekh dahar (makan) dengan masakan yang berkuah, beliau selalu menggunakan sendok. Tapi, pada saat beliau dahar dengan menu yang tidak berkuah, asy Syekh kadang kala hanya menggunakan tangan (Jawa, dahar muluk). Yang kedua, pada saat makan di bawah (di lantai) beliau selalu meletakkan piring beliau di lantai. Beliau sama sekali tidak pernah mengangkat atau menyangga piring beliau, meskipun nasi atau kuah di piring tinggal sedikit. Asy Syekh selalu menghabiskan nasi yang ada di piring beliau sampai tak tersisa sebutir pun (kecuali kalau pas ada penulis di situ, beliau selalu menyisakan nasi beliau barang 3 atau 4 sendok untuk penulis habiskan (he..he..he.. beliau tahu kalau itu yang penulis tunggu-tunggu).
Setelah selesai dahar, kemudian asy Syekh langsung minum. Pada saat beliau dahar muluk (tidak memakai sendok), ketika tangan kanan beliau belum beliau basuh, maka asy Syekh pun memegang gelasnya dengan memakai tangan kiri. Namun, pada saat beliau minum, bagian bawah gelas tersebut lalu beliau sangga dengan punggung telapak tangan kanan beliau. Asy Syekh sangat menghindari makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Ketika mengambil lauk yang ada di piring. beliau selalu menggunakan tangan kiri dan mengambilnya drngan menggunakan sendok.
Cara membasuh tangan beliau seusai dahar, yaitu terlebih dahulu beliau mengelap telapak tangan dan jari-jari beliau dengan tissue sampai bersih. Setelah itu beliau tuangkan sabun cair ke telapak tangan lalu beliau ratakan sampai kc jari-jari beliau. Setelah itu, baru beliau tuangkan air ke tangan dengan air yang tersedia di kobokan dengan menggunakan piring bekas makan beliau sebagai penampungnya. Setelah itu baru beliau keringkan dengan tissue atau serbet. Beliau tidak pemah mau memasukkan tangan beliau langsung ke air yang ada di kobokan sebelum
tangan beliau dibersihkan terlebih dahulu. Setelah selesai semuanya, asy Syekh pun kemudian berkumur-kumur.
Tempat tidur asy Syekh hanyalah berupa selembar kasur tipis yang digelar di atas karpet. Asy Syekh pernah mengatakan tentang kebiasaan beliau tidur di bawah, “Aku tidur di bawah itu sebagai wujud keprihatinanku terhadap nasib rakyat kecil.”
Asy-Syekh Sebagai Kepala Rumah Tangga.
Sebagai seorang nahkoda rumah tangga, asy Syekh adalah seorang nakhoda yang benar-benar terampil mengemudikan bahtera rumah tangga, penuh rasa tanggung jawab, mengayomi, dan bisa dijadikan teladan. Dalam pandangan keluarga maupun para pembantu beliau, tidak pemah sekali pun mereka mendengar asy Syekh mengeluarkan kata-kata yang keras atau kasar, apa lagi sampai membentak dan melukai hati orang lain. Bahkan, mengeluarkan kata ‘heh....’ pun tidak pemah.
Meskipun asy Syekh tidak pemah marah, namun mereka sangat segan dan menghormati beliau. Apabila ada sesuatu hal yang asy Syekh merasa tidak berkenan, beliau hanya diam atau menegumya dengan bahasa yang sangat halus. Bagi mereka, asy Syekh adalah sosok yang sangat sabar dan berwibawa. Rumah tangga asy Syekh senantiasa diliputi keadaan yang tenang, tenteram, dan penuh kasih sayang.
Meskipun begitu, kadang kala asy Syekh sengaja melatih isteri-isteri beliau dengan kesulitan-kesulitan ekonomi. Hal itu asy Syekh maksudkan agar isteri-isteri beliau berlatih prihatin agar semakin meningkat kesabaran dan rasa tawakalnya kepada Alloh SWT. “Karena,” kata asy Syekh, “Sebagai seorang ibu, mereka harus kuat, sabar, yakin, dan ikhlas.”
Semua putera-puteri asy Syekh sudah beliau ajari berdzikir sejak mereka mulai mengerti diajak komunikasi yaitu sekitar umur 1- 1,5 tahun. Asy Syekh pemah mengatakan kepada penulis, “Semua anak-anakku itu akalnya kedahuluan ruhaninya. Dan, semua itu tidak mudah.” Kata beliau lagi, “Seorang anak yang diajari berdzikir sejak usia dini, orang tuanya harus bersiap-siap untuk bersabar dan berlaku bijaksana. Karena, seorang anak yang hatinya bunyi Alloh. .. Alloh. .. dia akan berbuat semaunya sendiri dan sulit dikendalikan.”
Pernah pada suatu ketika, tatkala ada seorang tamu yang melihat asy Syekh sedang mengingatkan Gus Saladin yang saat itu masih berusia batita (bawah tiga tahun) untuk berdzikir, maka si tamu itu pun bertanya, “Lho, pak Yai, anak masih kecil kok sudah diajari berdzikir, to?” Asy Syekh pun menj awab, “Lho, memangnya nggak boleh? Apa sebaiknya anak saya itu saya ajari main kartu atau minum whisky saja?”
Karena daya dzikir yang terdapat pada putera-puteri asy Syekh itu, ada kalanya mata hati mereka pun bisa melihat segala sesuatu yang bersifat ghaib. Ketika hal ini terjadi, asy Syekh pun sudah menasehati mereka tentang bagaimana cara menyikapi ke' jadian-kejadian yang tidak umum itu.
Pernah pada suatu malam di tahun 1979, saat itu asy Syekh sedang jagongan dengan pak Atimiyanto. Tiba-tiba datang Ning Oma (puteri sulung asy Syekh) yang waktu itu masih berumur 5 tahun. Dia lalu mendekati asy Syekh dan bertanya kepada beliau “Bah, yang namanya Abah itu yang mana?” Lalu, asy Syekh dengan menunjuk dada beliau sambil berkata, “Ini. . .” ning Oma kecil pun menimpali, “ltu dada gitu, kok.”
Asy Syekh lalu menunjuk dahi beliau sambil berkata, “Ini. . nig Oma kembali menimpali, “itu dahi gitu, kok. ” Menyadari kalau sang puteri tercinta tidak sedang dalam keadaan layaknya seorang anak kecil, asy Syekh pun kemudian menyuruh Ning Oma untuk pergi, “Ya, sudah sana, main sama mbak-e (yang mengasuh) sana. Ini Abah lagi ada tamu.” Lalu, diiringi tawa khas anak kecil, Ning Oma pun berlari keluar.
Selang beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Ning Oma datang lagi dari arah belakang asy Syekh dengan jalan mengendap-ngendap. Setelah itu, dengan teriakan, “Baaaa... " sambil menepuk (Jawa, nggablok) kedua bahu Abahnya. Seketika itu, asy Syekh pun layaknya orang terkejut (Jawa, njumbul), sambil mengeluarkan suara, “Hey... ” Mengetahui sang Abah terkejut, Ning Oma pun sambil tertawa menunjuk kepada asy Syekh seraya berkata, “Lhaaa itu lho Abah.” Mendengar itu asy Syekh pun tersenyum.
Pernah pula, pada suatu siang di tahun 1982, saat asy Syekh sedang jagongan dengan beberapa orang tamu, tiba-tiba Gus Saladin datang dengan tergopoh-gopoh. Kepada ayahandanya, si Gus kecil yang waktu itu berusia 4 tahun, berkata, “Bah, ternyata Alloh itu punya kepala, punya kaki, dan punya ekor.” Asy Syekh pun menimpali, “Ya, ya. .. sudah sana, main-main lagi sana.” Si Gus pun lalu berlari keluar.
Setelah tamu asy Syekh pulang, beliau pun lalu memanggil kang Su pengasuh Gus Saladin. Asy Syekh lalu bertanya, “Su, Saladin tadi kamu ajak kemana dan dia tadi main apa?” Kang Su pun lalu matur, “Gus-e tadi saya ajak main-main di rumahnya pak Lim, Yai. Dia tadi memperhatikan lama kambing-kambing yang ada di kandang.” Asy Syekh pun menimpali, “0, ya sudah kalau begitu.”
Selain itu, asy Syekh juga melatih putera-puteri beliau dengan amalan-amalan wirid dan menjalani suluk sejak usia anak anak. Hal ini asy Syekh maksudkan untuk menanamkan kesabaran dan rasa prihatin kepada mereka, meskipun mereka adalah putera seorang kyai.
Dalam hal pendidikan putera-puteri beliau, asy Syekh sangat mengutamakan pendidikan agama bagi mereka. Sehingga, sebagian dari mereka sudah beliau pondokkan di pondok-pondok salafiyah sejak mereka masih kecil. Namun, sebagian lagi dari mereka ada yang menempuh pendidikannya di sekolah umum. Asy Syekh Sholachudin yang sejak dini asy Syekh persiapkan menjadi pengganti beliau, sudah asy Syekh pondokkan sejak beliau belum berumur 3 tahun.
Sejak mereka masih kecil, asy Syekh sudah wanti-wanti kepada para putera beliau agar kelak mereka tidak membuka pondok thoriqot atau pesulukan sendiri. Asy Syekh mengatakan bahwa seandainya mereka akan membuka pondok, maka mereka hanya beliau ijinkan membuka pondok salafiyah saja. Asy Syekh berwasiat kepada mereka agar, sepeninggal beliau, mereka harus taslim dan ta ’dhim kepada Syekh Sholachudin sebagai kakak laki-laki tertua sekaligus sebagai guru mursyid mereka.