29.11.22

Dzikirnya Asy-Syeikh

  Dalam hal berdzikir (dzikrulloh), asy Syekh bisa dikatakan memang benar-benar tergolong sebagai orang yang AHLADZ DZIKR. Beliau mengibaratkan bahwa dzikir beliau seperti suara diesel, gemuruhnya suara lebah, atau seperti suara lampu petromaks. Beliau pemah mengatakan kepada penulis begini, “Dzikirku itu seperti suaranya diesel, tidak terputus-putus. Tidak seperti dzikirnya orang-orang itu, antara bunyi Alloh dan Alloh masih ada jedanya... ”

Ada satu cerita terkait dengan hal tersebut di atas. Pada suatu malam di tahun 1977, ketika itu penulis sedang suluk. Bersamaan pula pada waktu itu sedang ada kegiatan mengecor pondasi. Acara ngecor memang sengaja dilakukan pada malam hari. Sehabis maghrib asy Syekh menyuruh untuk mencarikan pinjaman petromaks dalam jumlah yang cukup banyak. Mereka yang disuruh pun merasa keheranan. Bagaimana tidak, karena sebelumnya mereka sudah memasang lampu neon dengan jumlah yang cukup. Meskipun timbul rasa penasaran di hati, mereka pun tetap melaksanakannya.

Dan, temyata benar adanya. Ketika pengecoran baru berjalan sekitar 1 jam, listrik pun tiba-tiba padam. Maka, kegiatan ngecor pun masih tetap bisa berjalan karena lampu-lampu petromaks itu sebelumnya memang sudah dinyalakan. Sampai tengah malam, ketika ngecor sudah selesai, listrik pun masih belum menyala. Setelah selesai acara ngecor, beberapa lampu petromaks (strongking) yang sudah tidak terpakai lagi beliau suruh mematikan. Namun, masih ada beberapa lampu lagi yang masih digunakan untuk penerangan. Nah, ketika asy Syekh duduk-duduk bersama kami di teras musholla, pada saat hening, maka yang terdengar hanyalah desis lampu petromaks. Beliau
lalu berkata, “Coba perhatikan, dzikirku itu suaranya seperti suara petromaks itu, lho. . . .”

Darah Asy-Syekh Pun Berdzikir.

Berkaitan dengan dzikir asy Syekh, ada satu kejadian yang luar biasa. Pada suatu siang, menghadaplah kepada asy Syekh, ayahanda penulis bersama (alm.) mas Abdul Rahman (kang Dul). Ketika itu asy Syekh sedang ditemani para penderek beliau. Setelah sejenak duduk, bertanyalah asy Syekh kepada kang Dul, “Kamu ke sini sama siapa, Dul‘?” Kang Dul menjawab, “Cuma dengan pak H. Musa, Yai.”

Asy Syekh lalu bertanya lagi, “Lha yang menunggumu di luar itu siapa?” Dengan agak malu bercampur gugup, kang Dul pun matur kepada asy Syekh, “Nyuwun pangapunten (mohon maaf)Yai. Dia tidak berani masuk.” Ternyata, berdasarkan pengakuan kang Dul. kepergiarmya ke pondok PETA waktu itu, dia diikuti khodam jin-nya. Di hadapan asy Syekh, kang Dul mengaku kalau dia masih memiliki khodam jin. Jin itu adalah pemberian seorang tokoh yang namanya sudah tidak asing lagi.

asy Syekh pun kemudian memberikan nasehat secara panjang lebar kepada kang Dul. Pada intinya, bahwa seseorang yang memiliki khodam jin itu adalah orang yang merendahkan dirinya sendiri. Sebagai seorang mu’min, lebih baik orang itu
belajar berdzikir kepada Alloh SWT saja. Kata asy Syekh lagj “Seorang mu’min yang ahli dzikir itu seluruh kulit, tulang, rambut. bahkan darahnya pun ikut berdzikir.”

Asy Syekh lulu menyuruh bu Nyai Zahro’ untuk mengambilkan selembar kertas HVS putih polos dan sebuah silet. Setelah kedua barang yang diminta asy Syekh tersedia, asy Syekh lalu mengiris ujung jari tengah tangan kiri beliau dengan pisau silet. Selanjutnya, tetesan darah yang keluar dari ujung jari beliau itu kemudian beliau biarkan menetes di atas kertas putih tadi. Lalu, apa yang terjadi? Subhanalloh Tetesan darah yang mengalir di kertas itu kemudian membentuk lafadh ALLOH (tentu dalam bentuk tulisan Arab). Melihat kejadian itu, maka segenap yang hadir pun terbengong-bengong. Kang Dul pun kemudian menangis sejadi-jadinya. Sementara itu, darah asy Syekh masih tetap menetes dan terus membentuk tulisan ALLOH.

Dan, akhimya lafadh ALLOH dari tinta darah itu pun sempuma terbentuk. Setelah itu, ayahanda penulis berinisiatif meminta kertas itu kepada asy Syekh. Asy Syekh pun tidak membolehkannya. “Mboten usah, kak Musa, mangke malah dados fitnah. " (Tidak usah kak Musa, nanti malah jadi fitnah). Setelah berkata begitu, asy Syekh kemudian mengambil korek api lalu membakar kertas itu. Abunya beliau tampung di asbak yang berada di depan beliau.

Bulu Asy-Syekh Pun Berdzikir.

Asy Syekh juga pemah memperlihatkan semua bulu yang terdapat di lengan beliau berdiri tegak kepada para penderek beliau. Kata asy Syekh, “Lihat ini, bulu-buluku pun ikut berdzikir."
Ketika itu pak Jirin, pak Wahono, pak Akhsin dan kang Zen melihat dengan mata kepala mereka, semua bulu di lengan asy Syekh tampak tegak berdiri dan dalam keadaan bergetar.

Dzikir Yang Di Transfer.

Pada suatu malam, bertempat di ndalem Kandenan (rumah ibu Nyai Masruroh), ketika itu asy Syekh hanya ditemani pak Jirin. setelah agak larut malam, asy Syekh menyuruh pak Jirin untuk melepas baju dan kaos singletnya. Kemudian pak Jirin disuruh berbaring di lantai, lalu asy Syekh mengurut dada pak Jirin. Setelah diurut itulah pak Jirin merasakan hatinya berbunyi Alloh... Alloh.... secara otomatis, tanpa ikhtiar, dan terus menerus.

Selain itu, ‘bunyi’ Alloh.. Alloh.. itu pun dirasakan pak Jirin tidak seperti biasanya. Sejak diurut asy Syekh itu pak Jirin merasakan dzikrulloh yang mantap seiring dengan degup jantungnya. Kepada penulis, pak Jirin mengatakan, “Rasanya seperti kedutan, mas Pur.” Bunyi Alloh... Alloh.. itu dirasakan pak Jirin ‘berhenti’ hanya pada saat pak Jirin tertidur lelap. Pada saat bangun, pak J irin merasakan hatinya langsung berbunyi Alloh... Alloh. .. lagi. Hal itu berlangsung selama 3 hari 3 malam.

Namun, pak Jirin merasakan ‘bunyi’ itu pada hari ke 3 semakin lama semakin melemah. Dan, pada hari berikutnya, pak Jirin merasakan sudah kembali seperti semula lagi, yaitu kalau tidak dibunyikan ya tidak berbunyi. Kwalitasnya pun sudah jauh menurun, tidak begitu mantap lagi. Maka, setelah hari yang ke tiga itu pak Jirin pun bertanya kepada asy Syekh, “Nuwun sewu, Yai, sekarang kok tidak bisa berbunyi sendiri lagi, to Yai?” Asy Syekh pun dengan tersenyum menjawab, “Ya belajar, to Rin? Kalau terus-terusan begitu nanti keenakan kamu.”

Dzikir Asy-Syekh Berlapis.

Kira-kira satu bulan sรฉbelum asy Syekh wafat, pada saat beliau berada di rumah ayahanda, asy Syekh berkata kepada penulis “Dzikirku itu berbunyi sendiri-sendiri secara bersama-sama di sini berbunyi yaa ‘Aliimu, yaa Khabiir, yaa Samii'u yaa Bashiir.
Di sini sholawat, di sini istighfar.” Sambil berkata begitu, secara berturut-turut, asy Syekh menunjuk dada beliau, pada posisi di atas susu kanan, di atas susu kiri, di lambung kanan lambung kiri, di tengah dada, dan tepat di tengah kening beliau.