Berada Di Syadzilah.
Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah.
Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk pikuknya orang-orang. Memang tujuan beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempumakan ibadah beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya, beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat beliau bemama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di bukit itu, beliau melakukan latihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah, dan menjalankan wirid-wirid . sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Alloh dan Rasul-Nya.
Untuk kehidupannya, beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak beliau bermukim di bukit itu, Alloh SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluan beliau.
Pernah, pada suatu hari, beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, beliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan. Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat, dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, 'alaihimus sholatu was salam, mengerumuni Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku, dan ada pula yang bercakap cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok , maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa beliau pada suatu ketika dalam fana'nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Alloh SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk'Ku dan demi cinta kepada-Ku.”
Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, beliau mendapatkan perintah dari Alloh SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.
Diceritakan oleh beliau, begini,
“Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, 'Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu!' Lalu, akupun mengatakan, 'Ya Alloh, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka'. Lalu dikatakan kepadaku, 'Turunlah, wahai Ali! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya. Aku katakan pula, 'Ya Alloh, Engkau serahkan diriku kepada manusia- manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai?” Maka, dikatakan kepadaku,
Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.'”
Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam, dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung.