20.11.22

Berguru Kepada Syekh Abdussalam Bin Masyisy.

 Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Maka, segeralah beliau meninggalkan negeri Iraq menuju negeri Maroko yang berjarak ribuan kilo meter, mengarungi samudera padang pasir, demi menggapai cita-cita luhur. Selama dalam perjalanan kerap terngiang di pendengaran beliau kata-kata Syekh Abul Fatah, “Temuilah yang engkau cari di sana!” Sesampainya di Maroko, beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian,” beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub.

Setelah dicari cukup lama akhirnya didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhimya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di sisi Robbul 'alamin, di samping juga sebagai seorang calon guru beliau.

Begitu setelah selesai mandi, beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu' dan rendah diri, beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu. '

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu 'alaikum… .. .”

Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa 'alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin ........... ,” dan seterusnya nasab beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shallallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar itu semua, beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai beliau mengeluarkan kata-kata orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, radhiyallohu 'anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Alloh SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu.”

Setelah berbincang-bincang beberapa saat, kemudian kedua insan mulia itu bersama-sama naik ke puncak gunung. Beriringan sepasang guru-murid itu berjalan mendaki gunung menuju ke tempat tinggal asy Syekh Abdus Salam, sebuah gua yang selama ini menjadi tempat khalwatnya. Alkisah, beberapa hari setelah beliau tinggal bersama asy Syekh, Alloh SWT berkehendak membuka tirai mata hati beliau. Di samping itu, beliau pun mendapatkan tambahan karunia kecerdasan yang luar biasa. Lalu, untuk selanjutnya, beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau,  “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari 'kenajisan cinta dunia'. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”

Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau,
“Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Alloh;
Dalam segala sesuatu; 
Pada sisi segala sesuatu; 
Bersama segala sesuatu; 
Atas segala sesuatu; 
Dekat dari segala sesuatu; 
Meliputi segala sesuatu; 
Dengan pendekatan itulah sifatNya; 
Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.” 

Di lain waktu guru beliau, radhiyallahu 'anh, itu mengatakan,
“Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat :
  1. KECINTAAN demi untuk Alloh; 
  2. RIDHO atas ketentuanAlloh; 
  3. ZUHUD terhadap dunia; dan 
  4. TAWAKKAL atas Alloh.
Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni :
  1. MENEGAKKAN fardhu-fardhu Alloh;
  2. MENJAUHI larangan-laranganAlloh;
  3. BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan
  4. WARO' menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”. 
Asy Syekh juga pernah berpesan kepada beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Alloh, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dan murka Alloh. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. serta, jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Alloh.”

Diceritakan oleh Syekh Abil Hasan, bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang menghadap guruku dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru, berikanlah kepadaku wadzifah (tugas) berupa berbagai amalan dan wirid-wirid yang harus aku kerjakan.” Mendengar permintaan orang tersebut serta merta guruku menjadi berang seraya mengatakan, “Apakah kamu anggap aku ini seorang rosul, sehingga aku memiliki kewenangan mewajibkan suatu tugas?” Asy Syekh kemudian melanjutkan, “Segala yang difardhukan sudah dimaklumi, segala yang maksiat pun telah dikenal, maka hendaklah engkau menjaga terhadap fardhu-fardhu itu dan mencegah dari maksiat maksiat serta menjauhinya. Peliharalah dirimu dari menginginkan dunia dan menaruh hati pada wanita-wanita. Juga, jaga dirimu dari mencintai pangkat dan kedudukan, serta lebih mementingkan dan mengutamakan syahwat. Jika engkau hendak beramal, maka beramallah dengan hati yang tulus dan ridho, Serta bersyukurlah kepada Alloh SWT.”

Suatu ketika beliau bercerita tentang syekh Abdus Salam, rodhiyallohu 'anh, ' “Pada suatu hari, aku sedang duduk-duduk bersama asy Syekh. Waktu itu, aku melihat, beliau telah melakukan sebuah pelanggaran. Asy Syekh pada saat itu sedang memangku dan bersenda-gurau dengan seorang anak kecil, padahal saat itu aku tengah bersamanya. Sedangkan dalam hatiku, aku ingin menanyakan tentang hakekat ismullohil a'dzom (Asma'  Alloh Yang Maha Agung) kepada asy Syekh. Namun, belum sampai aku mengajukan pertanyaan itu, tiba-tlba anak kecil tersebut meloncat dari pangkuan asy Syekh. Kemudian dia berlari menuju ke arahku, lalu dia mengguncang guncangkan pundakku seraya berkata kepadaku, 'Wahai Abul Hasan, engkau akan bertanya kepada asy Syekh tentang ismulloohil a'dzom, padahal sebenarnya pada dirimu sudah terdapat ismulloohil a'dzom, yaitu sirr (rahasia) Alloh yang diletakkan di dalam hati sanubarimu.' Kemudian asy Syekh berdiri sembari tersenyum lalu mengatakan kepadaku"

'Ya Ali, pertanyaanmu sudah dia jawab sebagai gantiku.' “ Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Alloh dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, di samping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.

Tetapi, dari semua yang beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai'at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Alloh SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut:

Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai'at thoriqot dari :
  1. Asy Syekh al Quthub asy SyarifAbu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, beliau menerima bai'at dari 
  2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari 
  3. Quthbil auliya' Taqiyyuddin al F uqoyr ash Shufy, dari 
  4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari 
  5. Sayyidisy Syekh al Quthub N uruddin Abil Hasan Ali, dari 
  6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari 
  7. Sayyidisy Syekh M uhammad Syamsuddin, dari 
  8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari 
  9. Sayyidisy Syekh al QuthubAbi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
  10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani dari 
  11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari 
  12. Sayyidisy Syekh Sa' ad, dari ' 
  13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su'udi, dari 
  14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Sa'id al Ghozwaniy, dari 
  15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari 
  16. Sayyidinasy Syarifal Hasan bin Ali, dari 
  17. Sayyidina 'Ali bin Abi Tholib, karromallohu wajhah, dari 
  18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu 'alaihi wa aalihi wa sallam, dari 
  19. Sayyidina Jibril, 'alaihis salam, dari 
  20. Robbul 'izzati robbul 'alamin.
Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini , dari hari ke hari beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma'rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, radhiyallahu '.anh

Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini. Para murid dan pengikut beliau, pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan : “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Setelah cukup lama beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan,

“Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini. lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian, perlu kau ketahui, di sana pula Alloh 'Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, ASY SYADZIL .”

“Setelah itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menjadikan engkau seorang Quthub.”

Pada waktu akan berpisah, beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Alloh dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat,, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Alloh mengasihani dirimu.”

Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Alloh atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro'mu.”

“Dan berdoalah wahai anakku, 'Ya Alloh rahmatilah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Alloh, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa".

Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis  : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung.