Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang beliau saksikan pada saat kedatangan beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha beliau memberikan pertolongan kepada mereka, beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, ’alaihissalam, guna membantu beliau sekaligus untuk menyelamatkan beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.
Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama lbnul Baro'.
Sebagai seorang kadi dan pemimpin agama, Ibnul Baro' tentu memiliki keilmuan dalam bidang agama yang cukup luas. Dia dikenal sebagai seorang faqih (ahli hukum agama) dan memegang jabatan sebagai ketuanya para kadi (semacam Ketua Mahkamah Agung). Ibnul Baro' sangat mencintai jabatan yang didudukinya. Dia berambisi menjadi pemimpin agama tertinggi tanpa ada yang mengunggulinya. Dia berkhayal bahwa dia aan memperoleh pengikut yang banyak dan mendapatkan dukungan masyarakat luas. Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun di satu sisi dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki keduduk pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya semakin tumbuh subur di dalam hati Ibnu Baro'. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatlnya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.
Sementara itu, kedatangan asy Syekh Abil Hasan kali ini berbeda dengan kedatangan beliau pada kali pertama beberapa tahun sebelumnya. Kali ini kedatangan beliau karena selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Tetap terngiang dalam sanubari beliau suara, “Ya Ali, hendaklah engkau turun kepada manusia-manusia agar mereka memperoleh manfaat dari kamu.”
Setelah beberapa bulan beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih, dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain:
- Asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily,
- Abu Abdullah ash Shobuni,
- Abu Muhammad Abdul Aziz al Paituni,
- Abu Abdullah al Bajja'i al Khayyath, dan
- Abu Abdullah al Jarihi.
Pada saat itu, beliau juga mempunyai seorang murid “ampuh” dan sekaligus merangkap menjadi khadam setia beliau, bemama asy Syekh ash Sholih Sayyid Abul 'Azaim Madhiy bin Sulthon.
Selain setiap harinya asy Syekh berdakwah dan mengajar, beliau juga tetap secara istiqomah meneruskan “kebiasaannya” selama berada di bukit Zaghwan yaitu melakukan riyadhoh-riyadhoh ruhaniyah dan melaksanakan ibadah-ibadahnya untuk bertaqarrub kepada Alloh SWT. Di luar kota Tunis terdapat sebuah bukit, yang mana di bukit tersebut ada sebuah gua yang tidak seberapa besar. Di dalam gua itulah beliau menjalani segala aktifitas kerohanian beliau. Sampai kini keadaan gua tersebut tetap terpelihara dengan baik, bahkan tidak jauh dari situ dibangun sebuah masjid.
Dari hari ke hari murid serta pengikut beliau semakin banyak Majelis-majelis pengajiannya semakin berkembang dan di padati pengunjung. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa, yang keluar dari kejernihan hati dan
lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu beliau masih berumur sekitar 25 tahun. Fenomena ini ditangkap oleh Ibnul Baro' sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro' lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.
Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro“. Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro' mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, radhiyallahu 'anh. Maka, ditabuhlah keras-keras genderang perang oleh Ibnul Baro” untuk menandai dimulainya sebuah “pertempuran”.
Dalam “peperangan” melawan asy Syekh itu, hati kecil Ibnul Baro' mengatakan kalau dia tidak akan mungkin mampu mengalahkan Syekh Abil Hasan dengan cara beradu ilmu. Diam-diam dia mengakui kalau ilmu yang dimilikinya tarafnya sangat jauh di bawah kealiman asy Syekh. Oleh karena itu, kemudian beralihlah dia ke jalan yang rendah dan hina, yaitu dengan cara menghasut Sultan Abu Zakariyya. Kepada Sultan dia melukis Suatu gambaran, bahwa niat dan tujuan yang terkandung dari lubuk hati Syekh Abil Hasan yang sebenarnya ialah hendak menggulingkan kekuasaan Sultan. Sedangkan saat pelaksanaannya tinggal menunggu waktu saja, sambil menghimpun kekuatan dengan semakin bertambahnya pengikut dan' waktu ke waktu Fitnah dan hasutan terus-menerus didengung-dengungkan oleh Ibnul Baro' setiap ada kesempatan bertemu dengan Sultan.
Sementara itu, asy Syekh pada suatu ketika, dengan tanpa mengenal rasa gentar, menyampaikan kepada Sultan apa adanya tentang diri beliau sendiri. Beliau berterus terang bahwa kedatangan beliau ke negeri itu adalah semata-mata hanyalah untuk berdakwah. Dan, beliau juga mengakui betapa kuat pengaruh beliau bagi penduduk Tunisia. Secara jujur pula asy Syekh mengungkapkan bahwa beliau adalah berasal dari keturunan Fathimy, yaitu beliau memiliki rantai silsilah yang berkesudahan kepada sayyidah Fathimah az Zahro' binti Rosulillah SAW.
Mendengar keterus terangan asy Syekh, hal itu tidak menjadikan segan dan dinginnya hati Ibnul Baro', tapi justru membuat dia semakin “terbakar”. Dia sampaikan kepada Sultan bahwa kini sudah tiba saatnya Sultan untuk menyatakan “negara dalam keadaan bahaya”. Hal ini dimaksudkan Ibnul Baro' agar Sultan beserta seluruh aparat kerajaan supaya segera mengambil tindakan dan menghukum atau mengusir asy Syekh dari negeri Tunisia.
Namun, Sultan Abu Zakariyya yang menjadi penguasa negeri itu melakukan tindakan yang arif bijaksana. Beliau tidak mau begitu saja menelan mentah-mentah apa yang selama ini dibisikkan Ibnul Baro'. Beliau berkeinginan untuk bertemu langsung dan bertatap muka dengan asy Syekh sebelum beliau mengambil tindakan terhadap asy Syekh.
Maka, sesudah itu, diaturlah pertemuan dengan asy Syekh bertempat di sebuah balai pertemuan kerajaan yang terletak di komplek istana. Sultan, dengan kearifannya, memberikan kepercayaan penuh kepada Ibnul Baro', sebagai Ketua Mahkamah Agung, agar mengatur acara “persidangan” itu. Sedangkan Sultan sendiri akan menyaksikan dan menyimak jalannya pertemuan tersebut dari balik tabir. Untuk itu, segera Ibnul Baro' mengumpulkan segenap ahli flqih dari seantero negeri di mangan yang telah disediakan. Kemudian, yang terpenting, asy Syekh pun lalu diundangnya. Pada hari yang sudah ditentukan dan pada saat semuanya sudah hadir, maka segera dimulailah acara tanya jawab yang bernuansakan "pengadilan" itu.
Pertanyaan pertama yang diajukan oleh Ibnul Baro' kepada asy Syekh berkenaan dengan nasab keturunan asy Syekh. Berikutnya, soal-soal tentang ilmu dan berbagai masalah yang berbelit-belit. Semua pertanyaan-pertanyaan itu diulang-ulang dan dicecarkan kepada asy Syekh oleh Ibnul Baro' dan para kaki tangannya. Namun, apa yang terjadi? Seluruh pertanyaan itu dijawab satu per satu oleh asy Syekh dengan jelas, gamblang, dan runtut. Bahkan jawaban-jawaban asy Syekh mampu membungkam si penanya dari luasnya jawaban yang diberikan.
Sementara itu, dari balik tabir, Sultan menyimak peristiwa itu dengan penuh kekaguman. Diam-diam beliau mengakui akan keagungan dan kemuliaan asy Syekh. Seorang pemuda yang memiliki tutur kata yang sedemikian tinggi mutunya sehingga mampu merasuk kalbu bagi siapa saja yang mendengarkannya. Beliau yakin bahwa jawaban-jawaban yang disampaikan oleh asy Syekh itu adalah ilham langsung dari Alloh SWT yang saat tibanya pada seketika itu juga.
Setelah acara itu usai, maka berkatalah Sultan kepada Ibnul Baro', “Wahai Ibnul Baro', ketahuilah bahwa pemuda itu adalah pemuka dari para wali-walinya Alloh. Aku yakin engkau pasti tak akan mampu mengalahkannya.” Mendengar tanggapan sang Sultan, Ibnul Baro' tampak agak terkejut. 'Dia tidak menyangka kalau Sultan ternyata telah bersimpati kepada asy Syekh. Dan, ia pun menganggap bahwa asy Syekh telah berhasil merebut hati Sultan. Akan tetapi Ibnul Baro' tidak surut langkah. Ia bukannya membenarkan ucapan Sultan, tapi justru malah sekali lagi “menyemburkan bisa beracunnya” kepada Sultan. Dia mengatakan bahwa kali ini Sultan sudah benar-benat dalam keadaan bahaya, dan penyebab utamanya adalah ulah asy Syekh Abil Hasan. Bahkan, untuk meyakinkan Sultan, sampai-sampai Ibnul Baro' berani bersumpah dengan mengatakan, “Wahai Baginda, demi Alloh! Apabila Baginda ingin tahu buktinya maka pada saat dia telah meninggalkan majelis ini nanti, pastilah seluruh penduduk Tunisia akan berkumpul di depan gerbang istana dan mereka akan mengusir Baginda dari istana ini.”
Mendengar sumpah Ibnul Baro', tampaknya hati Sultan pun mulai goyah dan terpengaruh. Terlintas dalam pikiran beliau, jangan-jangan apa yang dikatakan oleh salah seorang penasehatnya itu benar adanya. Agak lama Sultan terdiam sambil mengernyitkan dahi sembari berpikir dan mempertimbangkan langkah apa yang harus beliau ambil. Dan pada akhirnya, beliau mengeluarkan titah agar semua yang hadir supaya keluar dari ruangan, kecuali asy Syekh seorang. Dengan raut muka yang menggambarkan kemurkaan, Sultan melarang asy Syekh meninggalkan tempat duduknya.
Dengan tenang dan penuh rasa hormat asy Syekh pun kembali ke tempat duduknya semula. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh meminta air untuk berwudlu dan sajadah untuk melaksanakan sholat. Setelah selesai sholat, terlintas dalam hati asy Syekh untuk memohon kepada Alloh SWT agar Sultan dan para pengikutnya dimusnahkan dari muka bumi ini. Tetapi seketika itu juga beliau mendapat jawaban langsung dari Alloh SWT melalui sirr-Nya, “Sesungguhnya Alloh tidak ridho apabila engkau berdoa dengan keluh kesah terhadap makhluk.” Bersamaan dengan datangnya jawaban itu beliau segera “berlari” kepada Alloh seraya memohon ridho dan pertolongan-Nya.
Setelah asy Syekh selesai melaksanakan sholat, maka kini giliran Sultan sendiri yang langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada asy Syekh. Semua pertanyaan Sultan asy Syekh jawab dengan jelas dan tegas. Asy Syekh, untuk kesekian kalinya, kembali menegaskan bahwa kedatangan beliau ke negeri Tunisia ini hanyalah untuk berdakwah semata. Tidak ada maksud dan tujuan lain.
Namun, kelihatannya Sultan tidak puas dan percaya begitu saja menerima jawaban asy Syekh. Hati Sultan sudah diliputi perasaan syak wasangka terhadap asy Syekh. “Racun” yang disemburkan lbnul Baro' tampaknya sudah menyebar ke seluruh relung jiwa sang Sultan. Dan, akhirnya, dengan kemurkaan yang amat sangat, Sultan lalu memerintahkan hulubalang kerajaan untuk menjebloskan asy Syekh ke dalam penjara.
Tidak beberapa lama kemudian, masih dalam hitungan hari, terjadilah peristiwa yang menghebohkan. Peristiwa itu bermula dari meninggalnya salah seorang budak perempuan Sultan (semacam selir) yang amat dimuliakan dan dicintainya lantaran terserang sakit mendadak. Sungguh pedih dan tersiksanya hati Sultan karena kematian orang yang amat dikasihinya itu.
Kemudian, masih dalam suasana duka cita, yaitu pada saat istana dalam keadaan sunyi karena ditinggalkan penghuninya untuk mengantar jenazah budak tercinta ke pemakaman, mereka melalaikan tempat api (tungku) pembakar dupa yang kian lama semakin membara. Dan, api pun menjilat ke sana-sini menyambar dan membakar permadani, kelambu-kelambu istana, dan pakaian-pakaian yang indah, serta barang-barang simpanan yang amat berharga. Terjadilah kebakaran hebat melanda istana sang Sultan.
Dengan terjadinya kedua peristiwa besar tersebut, yaitu meninggalnya sang selir dan terbakarnya istana, Sultan pun, dalam hati kecilnya, menduga-duga kalau semua kejadian itu tentu ada kaitannya dengan keputusannya untuk memenjarakan asy Syekh. Hal itu muncul dalam benak Sultan, karena memang sejak awal Sultan sebenarnya sudah mengakui bahwa asy Syekh adalah benar-benar seorang kekasih Alloh yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan, Sultan sebenarnya mengerti bahwa apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Alloh sendirilah yang akan membalasnya.
Tampak pada diri Sultan rasa penyesalan yang amat mendalam. Hatinya diliputi perasaan gundah gulana bercampur kesedihan yang tiada terkira. Keraguan pun menghinggapi kalbunya. Sang Sultan merasa tidak tahu apa yang harus diperbuatnya terhadap asy Syekh. Bingung, malu, takut, dan menyesal bercampur aduk menjadi satu. Betapa tidak, keputusan membiarkan asy Syekh tetap di dalam penjara, beliau yakini sebagai sebuah keputusan yang salah. Karena, hal itu jelas merupakan sebuah perbuatan aniaya terhadap seorang kekasih Alloh SWT. Sedangkan, keputusan untuk membebaskan asy Syekh tanpa alasan, beliau pun merasa ragu-ragu. Sultan memperhitungkan, seandainya asy Syekh dilepaskan begitu saja, maka apa kata rakyat, apalagi orang-orang yang bersimpati kepada asy Syekh, nanti. Mereka pasti menganggap kalau Sultan tidak tegas, plinplan, dan telah menghukum orang yang tak bersalah. Perasaan yang tidak menentu itu menimpa Sultan sampai berhari-hari.
Sehubungan dengan kejadian-kejadian itu, satu kebetulan Sultan mempunyai seorang saudara kandung yang selain alim dan sholeh, juga tekun beribadah dan mencintai para waliyulloh. Saudara Sultan itu sering berkunjung kepada orangorang sholeh dan para wali-walinya Alloh, termasuk asy Syekh Abil Hasan. Seringnya dia berkunjung kepada asy Syekh, selain untuk bersilaturahmi, berdiskusi, dan mendapatkan nasehatnasehat, juga untuk memperoleh limpahan berkah atas kebersamaannya dengan asy Syekh.
Pada waktu terjadinya peristiwa yang menggegerkan itu, dia sedang berada di luar negeri Tunisia. Mendengar semua yang menimpa diri Sultan, maka segeralah dia kembali ke Tunisia. Sesampai di kota Tunis, orang yang pertama kali ditemuinya ialah saudaranya sendiri, yaitu Sultan Abu Zakariyya. Kepada saudaranya itu dia memberikan penilaian secara panjang lebar, yang menyatakan bahwa sang Sultan telah termakan oleh fitnahan Ibnul Baro' sehingga sampai berlaku dholim terhadap salah seorang kekasih Robbul 'alamin. Selanjutnya dia menyampaikan kepada Sultan, “Bahkan, menurut yang aku lihat sebenarnya yang berniat untuk menjatuhkanmu itu adalah justru si Ibnul Baro' sendiri.”
Setelah itu, kemudian dia menemui asy Syekh, yang pada saat itu masih berada di dalam penjara. Hal yang pertama kali disampaikan kepada asy Syekh adalah memohonkan maaf dan kerelaan beliau atas perbuatan saudara kandungnya itu. Menanggapi permintaan saudara Sultan itu, asy Syekh menjawab, “Wahai sahabatku, ingatlah bahwa segala apa yang berada di alam semesta ini terletak dalam genggaman Alloh Yang Maha Agung.” Maka, kemudian pada hari itu pula asy Syekh pulang ke rumahnya dan melanj utkan tugas untuk berdakwah dan mengajar. Segenap murid dan sahabat beliau pun menyambutnya dengan perasaan sukacita.
Akan halnya Ibnul Baro' yang mengalami kegagalan menyingkirkan asy Syekh, kesemuanya itu tidak membuatnya menjadi jera, tetapi malah semakin mengukuhkan pendiriannya untuk menaklukkan asy Syekh. Namun, semua itu dihadapi oleh asy Syekh dengan lapang dada dan kebesaran jiwa beliau. Apabila asy Syekh berpapasan dengan Ibnul Baro', beliau justru terlebih dahulu menyapa dan memberikan salam, kendati selama itu pula Ibnul Baro' tidak pernah menjawabnya, bahkan selalu memalingkan mukanya. “Pertempuran” dan “seranganserangan" yang dilancarkan oleh Ibnul Baro' terhadap asy Syekh itu berjalan sampai bertahun-tahun.
Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung.