28.11.22

Beragam Cerita Ketika Asy-Syeikh Mondok Di Mojosari Nganjuk

Dititipi Pesan Orang Yang Sudah Meninggal.

Sejak sebelum mondok, asy Syekh sudah dikaruniai Alloh SWT berbagai keistimewaan, di antaranya berupa terbukanya mata hati (mukasyafah)Karunia berupa mukasyafah itu kadang kala menjadikan asy Syekh merasa 'terganggu'. Bagaimana tidak, asy Syekh jadi sering menghindari melintas di suatu pekuburan (maqbaroh) karena sering mendengar jeritan orang orang yang sedang mengalami azab kubur. Selain itu asy Syekh juga sering dipanggil-panggil ahli kubur yang meminta asy Syekh untuk menolongnya. 

Pada suatu hari, ketika asy Syekh melewati suatu TPU (Tempat Pemakaman Umum) desa tetangga pondok Mojosari, beliau mendengar suara yang memanggil-manggil nama beliau. Suara itu meminta agar asy Syekh mau menolongnya. “Mbah Djalil... mbah Djalil... sampeyan mriki, to... Kulo badhe nyuwun tu lung..” (Mbah Djalil..., mbah Djalil..., sampeyan ke sini, to. Saya mau minta tolong). Asy Syekh pun lalu mendekat ke arah sumber suara itu. Ternyata, suara itu berasal dari makam seorang perempuan. Si mayit kemudian menyampaikan permohonannya kepada asy Syekh agar beliau berkenan menemui anaknya yang bernama Fulan yang beralamat di desa itu pula. “Mbah Djalil, tolong panjenengan sampaikan pesan saya kepada anak saya agar dia ber-kirim doa (Jawa, slametan) untuk saya, karena sudah lama sekali si Fulan tidak 'nylameti 'saya...” 

Singkat cerita, asy Syekh kemudian bertemu dengan si Fulan lalu beliau sampaikan pesan si mayit. Demi mendengar pesan si mbok, maka terkejutlah si Fulan. Dia merasa memang sudah lama sekali tidak 'ngirim ’si mbok. Beberapa hari kemudian si Fulan segera menggelar selamatan untuk sang bunda. Selang beberapa hari kemudian, ketika asy Syekh melintas di TPU itu lagi beliau kembali dipanggil si mayit. Si mayit lalu mengucapkan terima kasih kepada asy Syekh dan menyampaikan bahwa si Fulan sudah berkirim doa dan 'kirimannya' sudah diterimanya. 

Sementara itu, si Fulan juga merasa sangat berterima kasih kepada asy Syekh yang telah berkenan menyampaikan pesan sang bunda. Dia lalu mendatangi asy Syekh di pondok Mojosari dengan membawa setandan pisang raja. Namun, ndilalah, ketika itu asy Syekh sedang tidak berada di pondok. Maka, si Fulan pun hanya bisa menyampaikan maksud dan tujuannya kepada teman-teman asy Syekh, yaitu untuk berterima kasih sekaligus menitipkan buah tangan yang dibawanya untuk diberikan kepada asy Syekh. Teman-teman sekamar asy Syekh pun kompak 
menyanggupinya. 

Setelah asy Syekh datang, mereka pun bercerita tentang kedatangan si Fulan. Semua cerita si Fulan disampaikan secara lengkap kepada asy Syekh, termasuk buah tangan berupa setandan pisang raja. Dan, asy Syekh pun kemudian menanyakan keberadaan pisang bawaan si Fulan, “Lha sekarang pisangnya mana?” Tanpa merasa bersalah sedikit pun mereka menjawab, “Yo wis entek, mbah.... ” (ya sudah habis, mbah...). 

Riyadloh Di Air Terjun Sedudo.

Ketika mondok di Mojosari, selain tholabul 'ilmi, asy Syekh juga menggladhi (riyadloh atau melatih) ruhani beliau. Asy Syekh mengatakan kepada penulis begini, 

“Pada saat aku masih di Mojosari, aku sering belajar wiridan di air terj un Sedudo. Aku ke Sedudo dengan naik sepeda pancal ditemani kang Lim. Sebelumnya aku berziarah dulu ke makamnya Syekh Aliman. Setelah itu, aku langsung ke Sedudo. Sesampai di Sedudo, aku dan kang Lim langsung turun. Pada waktu itu masih belum ada tangganya (undak-undakan) seperti sekarang. Untuk turun ke bawah harus berpegangan ke batangbatang pohon dan akar-akar (Jawa, nyulur). Jalannya sangat curam dan licin sekali. Hawanya pun sangat dingin. 

Setelah sampai di bawah, aku segera masuk tepat di air terjunnya ( awa, grojokan). Aku kemudian duduk di atas batu besar. Di situlah aku melatih Jiwa dan ragaku. Aku mulai mem baca wirid (Jawa, wiridan). Semula aku hanya mampu bertahun beberapa menit saja. Dingin sekali, serasa menusuk tulang.

Kalau aku sudah benar-benar tidak kuat, maka aku segera keuar dan menjauh dari air terjun. Setelah keluar dari gerojokan agak ke sana, kang Lim sudah membakarkan aku ketela. Dengan makan ketela itu harapannya supaya bisa keluar angin (kentut) yang nantinya badan akan menjadi hangat lagi. 

Setelah badan terasa hangat, aku segera masuk kembali ke air terjun. Di situ aku kembali berwirid lagi. Begitu seterusnya terjadi berulang-ulang, keluar-masuk air terjun. Setelah berkali kali datang ke Sedudo, kemampuanku untuk bisa bertahan di kedinginan pun menjadi semakin bertambah. Dan, akhirnya aku bisa menuntaskan wirid itu.” 

Riyadloh "Batal Wudlu".

Dalam hal menjaga agar beliau selalu dalam keadaan suci, hal itu sudah asy Syekh lakukan sejak masa kecil beliau. Namun, pada saat asy Syekh mondok di Mojosari beliau sering digoda teman-teman beliau. 

Pernah pada suatu ketika, masakan yang sudah disiapkan pak Lim untuk daharan beliau oleh teman-teman beliau diberi 'ranjau' berupa kacang lentho (lotho). Kacang lentho itu secara diam-diam mereka campur ke dalam kuah (Jawa, jangan). Hal itu mereka maksudkan agar setelah asy Syekh memakan lentho itu beliau akan berkali-kali terkentut. Dengan terkentut itu, maka harapan mereka mengerjai asy Syekh akan sukses, yaitu tentunya asy Syekh akan pula berkali-kali berwudlu. 

Namun, ternyata 'proyek' mereka mengerjai asy Syekh mengalami gagal total. Bagaimana tidak, temyata asy Syekh seperti biasanya kalau makan hanya sedikit. Dengan makan hanya sedikit itu, maka lentho itu pun tidak membawa "dampak negatif' terhadap wudlu asy Syekh. 

Upaya mereka mengerjai asy Syekh dalam menjaga wudlu beliau tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika mereka gagal dengan cara yang halus, ada di antara teman asy Syekh yang akhirnya memakai cara ekstrem. 

Ceritanya begini, sehari-harinya asy Syekh biasa mengambil wudlu di sungai dekat pondok. Setelah beliau selesai berwudlu di bawah, maka kemudian beliau naik melalui trap (Jawa, bancik) yang dibuat untuk naik-turun ke sungai. Nah, ketika itu di ujung atas, sudah menunggu seorang teman asy Syekh yang akan mengerjai beliau. Teman beliau itu bersarung yang dipakai selutut dan tanpa mengenakan CD. 

Ketika berpapasan dengan asy Syekh, teman beliau itu seraya membuka sarungnya dia lalu menarik tangan asy Syekh, lalu tangan asy Syekh dia sentuhkan ke 'burung'nya. Maka, otomatis batallah wudlu asy Syekh. Dengan tersenyum asy Syekh kembali turun ke sungai untuk berwudlu lagi. 

Sangat Jarang Tidur.

Pak Ghufron, Sanggrahan, salah satu teman sekamar beliau merasa penasaran, mbah Djalil itu sebenarnya bagaimana, to? Maka, pada malam harinya beliau mengajak jagongan asy Syekh Sampai pada pertengahan malam, pak Ghufron mengajak tidur asy Syekh. Tapi, sebenarnya pak Ghufron tidak tidur. Beliau memang sedang menyelidiki asy Syekh. Ternyata, asy Syekh memang tidak tidur. Beliau mendengar asy Syekh sedang wiridan sambil tidur miring membelakangi beliau. 

Akhirnya, pada sekitar pukul 3 , justru pak Ghufronlah yang tertidur. Beliau baru terbangun saat matahari mulai terbit. Setelah itu, beliau lalu membangunkan asy Syekh. Ketika asy Syekh di
bangunkan, terlihat asy Syekh tidak sedang dalam keadaan tidur.Pak Ghufron mengajak asy Syekh untuk segera sholat Shubuh. Beliau berkata, “Mbah, cepat bangun, Shubuhnya keburu habis." Jawab asy Syekh, “Ya biarlah habis.” ternyata ada yang tahu kalau asy Syekh sudah sholat Shubuh sejak tadi. 

Rata-rata teman asy Syekh di pondok Mojosari mengakui kalau beliau seorang santri yang gemar riyadloh, sedikit tidur, dan sedikit makan. Beliau sering dilihat teman-teman beliau sedang tidur meringkuk (Jawa, mlungker), tapi sebenarnya beliau tidak tidur. Asy Syekh suka ber-kholwat atau menyepi. 

Lain lagi cerita pak Qodar. Pada suatu malam beliau pernah mengintip asy Syekh dari lubang kunci kamar asy Syekh. Ketika diintip, terlihat asy Syekh sedang sholat. Satu jam kemudian diintip lagi, asy Syekh juga masih sholat. Demikian seterusnya sampai datangnya waktu Shubuh. Sehingga, pak Qodar maupun pak Ghufron menyimpulkan bahwa asy Syekh tidak pernah tidur malam. Sepanjang malam asy Syekh sujud, sujud, dan su j ud kepada Alloh SWT. 

Mengamalkan Seluruh Isi Kitab "Bidayah".

Ketika di pondok Mojosari asy Syekh pemah mengkhatamkan kitab “Bidayatul Hidayah” buah pena al Imam Muhammad ibn Muhammad al Ghozali, rokhimahulloh. Yang dimaksud mengkhatamkan, bukannya beliau hanya khatam membacanya saja tetapi mengamalkan seluruh isi kitab itu sampai khatam. 

Kitab Bidayatul Hidayah atau lebih populer dengan sebutan kitab 'Bidayah' adalah kitab yang berisi tentang akhlaq dan tasawwuf. Di antara isi kitab itu mengajarkan doa-doa di dalam wudlu (bukan sesudah wudlu). Artinya, di setiap anggota badan.yang dibasuh pada saat wudlu, pada saat itu pula dibacakan doa-doanya. 

Nah, pada saat asy Syekh mempraktekkan sekaligus mengamalkan isi suatu kitab, selama itu pula beliau tidak mau mendengar isi kitab lainnya. Alasannya, asy Syekh khawatir ketika beliau tengah fokus menjalani satu kitab, lalu beliau kemudian mendengar ilmu yang lain, maka beliau akan merasa terbebani untuk mengamalkannya. Sampai-sampai, beliau berkata, “Pada saat aku masuk ke masjid sedangkan di serambi masjid mbah Kyai Manshur sedang mengaji, maka aku masuk ke masjid dengan menutupi telingaku.” Asy Syekh kemudian memperagakan bagaimana cara beliau menutupi telinga beliau. Asy Syekh menutup telinga dengan tangan kiri beliau. Lengan bagian atas menutupi telinga kiri, sedangkan jari-jari tangan kiri menutupi telinga kanan beliau. 

Selain itu, pak Lim juga pernah bercerita bahwa ketika di Mojosari asy Syekh pemah selalu dalam keadaan berpakaian lengkap yaitu memakai sarung, baju koko, dan berkopyah. Beliau selalu dalam keadaan seperti itu selama 24 jam sehari-semalam dan di mana pun beliau berada. Bahkan, sekali pun beliau dalam keadaan sedang tidur. “Jadi,” kata pak Lim, “Kopyahnya Yaine itu sampai bundar karena tetap dipakai meski pun sedang tidur.”

Suka Menimba Dan Menyapu.

Meskipun asy Syekh putera seorang kyai dan memiliki 'asisten' yang bertugas melayani beliau setiap saat, namun beliau bukanlah orang yang memiliki sifat 'bossy' '. Asy Syekh adalah pribadi yang mandiri. Beliau mengatakan bahwa hampir setiap malam beliau menimba air untuk mengisi bak mandi pondok dan' padasan' untuk berwudlu. Selain itu, asy Syekh juga suka menyapu kamar beliau maupun halaman pondok. Ada seorang santri teman beliau yang suka mengganggu asy-Syekh dalam menjaga kebersihan lingkungan pondok. Setiap selesai asy Syekh menyapu, tidak lama kemudian teman beliau itu menggoyang (Jawa, nggerok) pohon yang ada di depan kamar asy Syekh. Maka, jadi kotor lagilah halaman kamar asy Syekh. Dengan sabar, asy Syekh menyapunya kembali halaman yang kotor itu. Tidak lama kemudian si usil datang dan menggoyang pohon itu lagi. Asy Syekh pun menyapunya lagi. Hal itu terjadi sampai berulang-ulang. 

Ketika ada teman asy Syekh yang lain menanyakan kenapa beliau kok diam saja dan tidak menegurnya. Apa jawaban asy Syekh? Sambil tersenyum asy Syekh berkata, “Ah. ... ya biar. lah.... kan lumayan, dari pada memelihara kera....?” maka sejak saat itu si usil pun sudah tidak berani mengganggu lagi. 

Menjadi Sembuh Karena Diukur.

Pernah pada suatu hari ada santri dewasa yang mengalami sakit di pondok. Ketika santri itu dibaringkan di kamar, maka para santri yang lain pun berkasak-kusuk dan berlagak sibuk. Kasak-kusuk mereka itu sengaja diperdengarkan kepada si sakit. Ada yang bilang bagaimana cara mengabari keluarganya, rencananya dimakamkan jam berapa dan di mana. Padahal, saat itu si santri masih dalam keadaan sakit, belum meninggal. Mendengar hal itu tentu saja si santri hatinya mendongkol. Namun, apa daya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. 

Puncaknya, ada 2 orang santri yang mendekat dengan membawa bilahan bambu yang digunakan untuk mengukur panjang badan si sakit. Biasanya, bilahan bambu (Jawa, ukur) itu lalu dibawa ke kuburan untuk ancar-ancar panjang galian makam. Demi mengetahui kalau dia diperlakukan seperti orang yang sudah meninggal, maka dia pun lalu membuka matanya seraya berkata, “Matamu ..... ” Dia lalu bangun dan tidak jadi sakit lagi. kemana-mana. Kata mereka, “Lha itu lho mbah Djalil, dari tadi pagi dia tidur saja di kamamya (Jawa, gothakan). Kalau ti percaya lihat sendiri” Santri-santri yang tadi ke pasar pun lalu melongok ke kamar beliau. Dan, mereka pun melihat beliau sedang tidur dengan pulasnya. 

Kakinya Tidak Kotor.

Saat sedang terjadi hujan, tiba-tiba para santri yang ketika itu sedang duduk-duduk di teras kamar mereka, melihat asy Syekh sedang berjalan dari sebuah warung menuju ke masjid. Mereka melihat saat itu asy Syekh tidak mengenakan payung dan sandal. Padahal, jalan dan halaman masjid berupa tanah yang kalau sedang hujan tentu keadaannya becek. Ketika beberapa belas langkah sebelum masuk masjid, mereka pun terkaget-kaget karena asy Syekh langsung naik ke masjid tanpa membasuh kaki terlebih dahulu. Batin mereka, “Wah...., mbah Djalil ngawur ini. Wong kakinya kotor kok langsung masuk masjid.” 

Maka, beberapa orang di antara mereka lalu lari ke masjid untuk menegur asy Syekh. Mereka menganggap bahwa dengan tanpa membasuh kaki dulu, tentu hal itu akan mengotori lantai masjid. Namun, setelah mereka mencari bekas kaki asy Syekh di lantai masjid untuk mereka jadikan 'barang bukti', ternyata mereka tidak menemukannya sedikit pun. Selain itu, mereka melihat asy Syekh sedang sholat dan pakaian serta sarung beliau pun sama sekali tidak basah. 

Dijebak Makanan Haram.

Sejak kecil asy Syekh selalu menghindar dan terhindarkan dari makanan yang haram. Ketika di pondok Mojosari itu asy Syekh pernah dijebak teman-temannya dengan makanan yang haram. Beliau disuguhi masakan daging ayam yang ayam itu milik orang kampung yang masuk ke komplek pondok. Karena ada ayam berkeliaran di dalam pondok, maka ayam itu pun mereka tangkap dan mereka sembelih. Setelah dimasak, maka asy Syekh pun mereka tawari untuk memakannya. 

Semula sudah tampak keraguan di wajah asy Syekh. Namun, teman-teman beliau membujuknya. Dengan dasar untuk menyenangkan hati teman beliau yang sudah susah payah memasaknya, maka asy Syekh pun kemudian mau mengambilnya. Beliau hanya mengambil sedikit kuahnya saja. Setelah itu apa yang terjadi? Belum sampai habis separuh nasi di piring, asy Syekh sudah lari keluar. Di luar, beliau muntah-muntah sejadi-jadinya. Seluruh isi perut beliau keluar dan terkuras habis. Tampak keringat mengucur di wajah beliau. Tubuh asy Syekh pun menjadi lemas. 

Bertemu Nabiyulloh Khidlir, 'alaihis salaam.

Pada suatu malam, ketika asy Syekh sedang duduk sendirian di undak-undakan masjid pondok Mojosari. Saat itu beliau duduk menghadap ke Timur sambil merokok. Tiba-tiba dari arah kiri beliau (arah Utara) mendekat seorang sepuh yang berjalan tertatih-tatih sambil memegang tongkat. Seketika itu pula bashiroh (mata hati) beliau mengatakan bahwa orang sepuh itu adalah Nabiyulloh Khidlir, 'alaihis salaam. Mengetahui yang datang adalah Nabi Khidlir, asy Syekh justru mengubah arah duduk beliau yang semula lurus ke arah Timur menjadi agak serong ke arah Selatan. 

Setelah itu, Nabiyulloh Khidlir mengucapkan salam kepada asy Syekh, “Assalaamu 'alaikum” Asy Syekh pun menjawab salam itu dengan tidak mengubah posisi duduk beliau (tetap membelakangi) sambil tetap menghisap rokok beliau. Nabi Khidlir lalu duduk di sebelah kiri beliau. Mengapa hal itu beliau lakukan? Asy Syekh mengatakan, “Saya tahu bahwa yang datang itu adalah nabiyulloh Khidlir, maka justru beliau saya belakangi. Karena, seorang kekasih Alloh Ta'ala itu tidak akan mau kalau dihormati manusia. Kalau beliau saya sambut dan saya ajak salaman (jabatan tangan), maka beliau justru  akan pergi atau menghilang.” 

Setelah nabi Khidlir duduk di samping asy Syekh, maka kemudian nabi Khidlir, dalam bahasa Indonesia, mengatakan begini “Lha ya Gus ya ...... Malam-malam begini, para kyai semua pada tidur. . Santri-santri juga pada tidur. . . .. Lha terus kalau tiba-tiba terjadi kiamat, langit tiba-tiba runtuh. . lantas siapa ya Gus yang mendoakan dan memintakan ampun para santri? 

Demi mendengar kata-kata Nabi Khidlir itu asy Syekh pun tertegun. Dalam hati, beliau berkata, “Iya ya.…? Benar juga ya...? Siapa ya nanti yang mendo’akan para santri ? kalau begitu, besok kalau saya jadi kyai, insya Alloh kalau malam saya tidak akan tidur. Saya akan menjaga murid-murid saya. . …” 

Setelah itu, Nabi Khidlir berkata, “Sudah Gus, begitu saja... Assalaamu 'alaikum.. ” Asy Syekh pun menjawab salam itu, “Wa 'alaikumus salaam.... ” Setelah itu, asy Syekh pun lalu menengok ke arah tempat di mana Nabiyulloh Khidlir duduk Namun, ternyata beliau sudah tidak ada. 

Pada saat asy Syekh mondok di Mojosari, beliau selalu dalam keadaan tirakat. Lelaku tirakat yang beliau jalani antara lain mempersedikit makan dan tidur, menyendiri, dan menjalani wirid-wirid. 

Selain itu, asy Syekh sering bersilaturahmi ke rumah orang orang sholih seperti mbah Abu (Ngetes, Nganjuk), habib Muhammad bin Thohir Ba'bud (Pelem, Kediri), mbah Jalil (Bandar, Kediri), mbah Asyraf (Kediri), mbah K.H. Mas Muhammad Nur (Branjangan, Surabaya), dan mbah K.H . Muhaiminan Gunardo (Temanggung). Asy Syekh juga sering berziarah ke makam buyut beliau, mbah Abdul Jalil (Cari, Ngantru), dan kakek beliau, mbah Husein (Cangkring, Kras).