Berguru Kepada Syekh Khudlori (1958-1964)
Sejak asy Syekh masih sekolah di Tulungagung, beliau sudah mulai berguru kepada mbah Kyai (Ajengan) Khudlori yang masih terhitung keluarga dekat asy Syekh sendiri. Kedatangan asy Syekh pertama kali ke Malangbong, Garut, Jawa Barat, diantar oleh 3 bersaudara putera mbah Kyai Muhammad Sholeh bin Abdul Jalil, yaitu mbah Sidiq, mbah Ma'ruf, dan mbah Bakri. Tiga bersaudara ini merupakan sepupu Syekh Mustaqim. Selain itu, turut mengantarkan pula seorang warga Malangbong yang sudah lama bermukim di desa Pojok, Ngantru.
Dulu pada saat Syekh Mustaqim masih remaja, yang mengantarkan beliau ke Malangbong untuk berguru kepada Syekh Khudlori adalah mbah Kyai Muhammad Sholeh yang mempakan paman tiri Syekh Mustaqim sendiri.
Ketika pertama kali asy Syekh berguru kepada ajengan Khudlori, beliau langsung disuruh puasa selama 40 hari. Pada puasa hari ke 20, ketiga putera mbah Sholeh yang mengantarkan beliau pulang terlebih dahulu ke Ngantru.
Ajengan Khudlori sangat menyayangi asy Syekh. Kata mbah Ma'ruf (putera mbah Sholeh), “Setiap kami makan bersama mbah Khudlori, gus Djalil oleh mbah Khudlori selalu disuruh menghabiskan daharan beliau. Padahal, seringkali justru kami yang duduk lebih dekat dengan mbah Khudlori.”
Dari mbah Kyai Khudlori, pada saat masih remaja itu, Syekh banyak belajar tentang jurus-jurus silat dan berbagai ilmu Hikmah. Dalam menuntut ilmu kepada mbah Khudhori,ada kalanya asy Syekh yang datang ke Malangbong, Garut, Jawa Barat, atau pada saat mbah Khudlori sedang berkunjung Tulungagung.
Sebagaimana diketahui dalam manaqib Syekh Mustaqiem Syekh Khudlori selain merupakan guru Syekh Mustaqim, beliau juga berguru kepada Syekh Mustaqim. Pada dekade tah 1950-1960, Syekh Khudlori sering berkunjung ke pondok uman (nama pondok PETA pada waktu itu). Kunjungan mbah Khudlori itu selain untuk bersilaturahmi ke keluarga Malangbong yang banyak tersebar di daerah Tulungagung dan Kediri beliau juga pemah menjalani suluk di pondok PETA. Nah, pada waktu mbah Khudlori di Tulungagung itulah asy Syekh manfaatkan kesempatan untuk belajar lebih banyak kepada mbah Khudlori.
Pernah pada suatu ketika, saat Ajengan Khudlori berada tengah-tengah keluarga Syekh Mustaqim, beliau berkata, “Besok Abdul Djalil akan menjadi kyai besar se Indonesia. Abdul Djalil adalah kyai besar yang sholih dan hebat.”
Proses menuntut ilmu (Jawa, ngangsu kaweruh) kepada m Khudlori itu asy Syekh lanjutkan sampai beliau sudah m mondok di Ploso dan di Mojosari. Bahkan, ketika asy Syekh mondok di Mojosari, intensitas kedatangan asy Syekh ke malangbong pun menjadi semakin sering.
Pada usia yang semakin dewasa itulah (sekitar 20 tahun), Syekh mulai mendalami ilmu ruhani. Dari mbah Khudlori pulalah, asy Syekh secara langsung menerima pelajaran sec detail tentang thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah dan thoriqot Naqsyabandiyah.
Tentang thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah, asy Syekh pernah menjelaskan begini, “Thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah adalah merupakan gabungan dua thoriqot, yaitu thoriqot Qodiriyah dan thoriqot Naqsyabandiyah. Thoriqot Qodiriyah memiliki karakter lurus bahkan cenderung kaku. Sedangkan, thoriqot Naqsyabandiyah memiliki karakter indah, halus, dan lembut. Jadi, penggabungan kc dua thoriqot ini menghasilkan karakter yang 'lurus' namun 'lembut'.
Dalam hal ilmu dzikrulloh, asy Syekh pemah bercerita bahwa beliau pemah dilatih Syekh Khudlori untuk menjalani dzikir qolb (dzikir dalam hati) yaitu dengan tidak boleh melihat langit selama 3 bulan. Di samping itu, selama itu pula, asy Syekh oleh mbah kyai Khudlori disuruh mengambil air wudlu di sebuah mata air yang jaraknya sekitar 3 kilometer. Jadi, setiap asy Syekh akan berwudlu, beliau harus berjalan sejauh 3 kilometer (6 kilometer PP), tanpa menggunakan alas kaki, dan berjalan dengan menundukkan kepala.
Sedangkan, berkaitan dengan ilmu-ilmu Hikmah, asy Syekh mengatakan bahwa Syekh Khudlori adalah gudangnya ilmu Hikmah. Syekh Khudlori adalah pewaris ilmu-ilmu Hikmah dan' leluhur beliau, yaitu asy Syekh al Quthub mbah Penjalu, rodliyallohu 'anh. Di antara kisah tentang kehebatan ilmu Syekh Khudlori adalah bahwa beliau kalau akan naik kereta api, beliau tidak perlu ke stasiun. Beliau cukup menunggu lewatnya kereta dari tempat yang tidak jauh dari rumah beliau. Ketika keretanya lewat disitu, maka kereta akan berhenti dengan sendirinya. Kereta akan berjalan kembali setelah Syekh Khudlori naik. Begitu pula setiap beliau 'sudah sampai tujuan' dan akan turun dari kereta, tidak perlu menunggu kereta berhenti di stasiun.
Di antara yang pernah beliau ceritakan kepada penulis tentang ilmu Hikmah yang beliau peroleh dari ajengan Khudlori, Ya kebalnya tubuh dari benda-benda tajam, berjalan di atas air, terbang, mengubah kunyit menjadi emas, 'membuat' gempa bumi uang disaku tidak akan habis, dan masih banyak lagi. ‘
Asy Syekh pemah mengatakan bahwa nanti kalau pondok PETA bangunannya sudah jadi (rampung), beliau akan mengeluarkan (mengijazahkan) ilmu-ilmu Hikmah beliau. Mendengar hal itu, ayahanda penulis pun bertanya, “Kok tidak sekarang saja to Yai?” Sembari tersenyum asy Syekh menjawab, “Mboten ( tidak), kak Musa, besok saja kalau pondoknya sudah jadi. Kalau sekarang, keenakan orang-orang itu.” Alhasil, sampai asy Syekh wafat, pondok pun belum jadi. Dan, ilmu-ilmu Hikmah itu pun belum sampai terijazahkan.
Di lain kesempatan, secara berkelakar asy Syekh mengatakan kepada ayahanda penulis, “Kalau ilmu Hikmah itu saya keluarkan sekarang, kak Musa, jangan-jangan orang-orang itu nantinya malah tidak mau wiridan. Lha, bagaimana tidak, nanti waktunya wiridan mereka malah ngluyur terbang kemana-mana.”
Asy Syekh pernah mengatakan betapa beratnya riyadloh 'ilmu 'uang di saku tidak akan habis'. Riyadloh ilmu tersebut adalah berpuasa selama 40 hari. Pada hari pertama, buka puasanya memakan nasi sebanyak 40 suapan (Jawa, pulukan). Pada hari ke dua, 39 suapan. Hari ke tiga, 38 suapan. Demikian seterusnya sampai hari yang ke 39 tinggal 2 suapan, hari ke 4O tinggal 1 suapan. Maka, praktis semakin hampir habis riyadloh puasanya semakin sedikit suapannya.
Pada hari ke 40, setelah berbuka yang hanya tinggal l suapan itu, maka suhu tubuh pun terasa panas. Pada malam harinya di tengah malam, tubuh asy Syekh oleh mbah kyai Khudlori dibalut kain mori putih kemudian asy Syekh disuruh berendam di dalam air sambil membaca asma'-asma' Alloh sampai menjalang Subuh. Setelah itu, asy Syekh keluar dari air lalu berbaring dan oleh mbah kyai Khudlori asy Syekh didoai. Dengan begitu, selesailah rangkaian ritual riyadloh ilmu tersebut.
Pada keesokan harinya, asy Syekh oleh Syekh Khudlori disuruh mencoba 'khasiat' ilmu tersebut. Memang terbukti hasilnya. Asy Syekh mengisi saku baju beliau dengan sejumlah uang. Kemudian asy Syekh berbelanja ke toko-toko di sekitar pasar Malangbong. Dan, pada kenyataannya, berpuluh kali asy Syekh mengambil uang dari saku beliau, ternyata uang di saku beliau tetap tidak habis.
Setelah mendengar cerita asy Syekh, ayahanda penulis berkata, “Saya mbok dikasih wiridannya to, Yai. . ..” Asy Syekh pun menjawab, “Ah. . ., gak usah, kak Musa. Cari uang dengan cara yang wajar saja, insya Alloh lebih barokah manfaat.”
Asy Syekh juga pemah mencoba ilmu 'membuat gempa bumi'. Ketika mencoba 'khasiat' ilmu itu, asy Syekh mencari tempat yang tidak ada penghuninya. Beliau menemukan suatu tempat yang berbukit-bukit di daerah Trenggalek. Sebelumnya, asy Syekh melihat dengan seksama dan memastikan bahwa di daerah tersebut memang benar-benar tidak ada sebuah rumah pun. Setelah asy Syekh 'merapal' ilmu itu, maka terjadilah gempa bumi lokal dalam radius beberapa kilometer dengan magnitude yang lumayan keras.
Asy Syekh juga mendapat ilmu Hikmah berupa menanam biji timun atau semangka dalam waktu beberapa menit sudah berbuah'. Terkait dengan ilmu ini, asy Syekh pernah bertemu dengan seorang kyai di Jawa Tengah yang terkenal memiliki berbagai ilmu Hikmah. Ketika itu, sang kyai ingin menunjukkan ‘kesaktiannya'. Sang kyai di hadapan orang banyak, di antaranya ada asy Syekh pula di situ, akan menunjukkan kemampuannya menanam biji semangka dalam waktu beberapa menit sudah berbuah'.
Setelah biji semangka dibenamkan ke dalam tanah, semestinya dari biji semangka itu perlahan-lahan akan tumbuh batang, lalu daun, dan terakhir buah semangka. Namun, teryata hal itu tidak terjadi. Bahkan, sampai diulang beberapa kali. Mengetahui 'sulapannya' tidak berhasil, dan sang kyai tahu kalau itu karena ada asy Syekh di situ, maka kemudian sang kyai meminta maaf kepada asy Syekh.
Asy Syekh juga mendapat ijazah dari Syekh Khudlori berupa ilmu 'menanak nasi di suatu tempat yang disebut ketel namun bisa untuk makan banyak orang, bahkan ratusan orang'. Ilmu asy Syekh ini pernah beliau praktekkan pada waktu acara khaul Syekh Mustaqim di pondok PETA pada sekitar tahun 1976. Ketika itu, orang yang hadir di acara khaul hanya berkisar 200-an orang. Untuk memberi makan orang sebanyak itu, hanya ditanakkan nasi seukuran ketel kecil saja. Orang yang diperkenankan asy Syekh untuk mengambil (menciduk) nasi dari ketel itu hanyalah kakak asy Syekh yang bernama almaghfurlah romo kyai Ali Murtadlo saja.
Pernah juga, sepulang dari Malangbong asy Syekh langsung menuju ke pondok Mojosari. Ketika itu, di daerah Mojosari ada seorang pemuda yang suka ngebut ketika menaiki sepeda motor. Pemuda itu tidak peduli apakah debu yang berhamburan akibat dari ngebutnya itu mengganggu masyarakat atau tidak. Pada saat itu, jalan-jalan di desa umumnya masih belum beraspal. Jalan-jalan hanya berupa tanah. Sehingga, ketika ada sepeda motor atau mobil yang Iewat tentu akan meninggalkan debu- debu Yang berhamburan.
Nah, ketika pemuda itu melintas di depan pondok Mojosari, asy Syekh kemudian meng-cross (memberi tanda silang) dengan jari telunjuk beliau pada tanah bekas ban dijalan itu. Selang beberapa ratus meter kemudian, tiba-tiba ban sepeda motor pemuda itu dua-duanya meletus secara bersamaan.
Terkait dengan semua ilmu Hikmah itu, asy Syekh mengatakan begini, “Setiap ilmu Hikmah yang diajarkan ajengan Khudlori selalu saya riyadlohi dan saya tirakati. Setelah itu, kemudian saya coba untuk mengetahui hasilnya. Hal itu bertujuan untuk menambah keyakinan saya kepada Alloh Ta'ala."
“Namun,” kata asy Syekh lagi, “Pada saat saya sudah menjadi kyai, maka saya mulai menjalani ilmu-ilmu rohani. Setelah saya mendalami ilmu-ilmu rohani, ternyata ilmu-ilmu Hikmah itu tidak ada apa-apanya. Maka, kemudian ilmu-ilmu Hikmah itu pun saya tinggalkan.”
Sebagai seorang guru mursyid, Syekh Khudlori juga menggladhi ruhani asy Syekh. Untuk melatih kesabaran dan ketawadlu'an hati beliau, asy Syekh oleh Ajengan Khudlori pernah disuruh untuk tidak melihat langit selama beberapa bulan. Bersamaan dengan itu pula, asy Syekh juga diperintahkan agar kalau berwudlu hanya boleh dilakukan di sebuah mata air (Jawa, kucur) yang terletak sekitar 3 kilometer dari pondok mbah Khudlori.
Maka, setiap asy Syekh akan berwudlu, beliau harus benjalan sejauh 2 kilometer, tanpa menggunakan alas kaki, dan berjalan dengan menundukkan kepala. Jadi, 'hanya' untuk berwudhu, asy Syekh harus berjalan sejauh 4 kilometer (PP).
Terkait dengan lelaku tidak melihat langit ini, asy Syekh juha pernah bercerita kepada mas Wahyu Farillah bahwa beliau pernah tidak melihat langit selama 2 tahun. Bahkan, ketika beliau dalam keadaan berbaring pun, beliau selalu menghindari untuk memandang ke arah plafon rumah. Cara beliau menhindarinya ialah dengan memasang kain atau barang apa saja yang beliau taruh di atas beliau berbaring. Hal ini, kata asy Syekh, adalah untuk melatih jiwa beliau agar selalu memperhatikan rakyat kecil. '
Pada suatu malam di tahun 1964, bertempat di ndalem (rumah) Syekh Khudlori, terjadi dialog antara guru dan murid. Dalam pertemuan di tengah keheningan malam itu ada dua hal yang sangat penting yang disampaikan Syekh Khudlori kepada murid kesayangan beliau itu.
Pertama, adalah peristiwa diserahkannya sebuah kitab yang ' memuat tentang ilmu-ilmu Hikmah warisan asy Syekh al Quthub Mbah Penjalu, rokhimahulloh. Sejak berabad-abad yang lalu Ilmu-ilmu Hikmah itu diwariskan secara turun temurun di lingkup zurriyat mbah Penjalu sendiri. Selama beberapa puluh tahun terakhir kitab itu disimpan dan dijaga oleh Syekh Khudlori sebagai salah seorang ahli warisnya. Nah, pada malam itu tibalah giliran Syekh Khudlori menyerahkan kepada penerus berikutnya yaitu asy Syekh Abdul Djalil Mustaqim.
Ke dua, adalah disampaikannya sebuah wasiat dan amanah yang sangat penting dari seorang guru kepada muridnya. Wasiat Syekh Khudlori inilah yang di kemudian hari menjadi sesuatu yang monumental dalam kehidupan pribadi asy Syekh. Ketika asy Syekh bercerita tentang wasiat itu, beliau menirukan gaya bicara Syekh Khudlori dalam menyampaikan wasiat itu. Pada waktu itu, sambil mengangkat jari telunjuk beliau, Syekh Khu-dlori berkata (dalam bahasa Indonesia), “Abdul Djalil, besok di akhir zaman, orang seperti kamu itu langka. Oleh karena itu perbanyak keturunanmu. Kamu harus beristeri empat.”
Hal ini asy Syekh ceritakan kepada penulis pada suatu malam di bulan Februari 1990, bertempat di rumah bude Fatimah di daerah Kramat Sentiong, Jakarta. Pada malam itu hampir semalaman Jakarta diguyur hujan meskipun tidak terlalu lebat. Setelah asy Syekh bercerita tentang wasiat dan amanat Syekh Khudlori itu, beliau berkata, “Berat rasanya Nang melaksanakan perintah guru itu.”
Asy Syekh sedikit menggambarkan sosok guru beliau itu. Kata beliau, “Mbah Kyai Khudlori itu kalau waktu Subuh, setelah adzan, suka pujian “ilaahii lastulilfirdausi ahlan... ” (syair al Ithirof'.pen.), seraya terbatuk-batuk. . .” Beliau sempat menirukan syair kesayangan guru beliau itu lengkap dengan terbatuk batuknya.
Pada keesokan harinya, Syekh Khudlori menyuruh asy Syekh untuk menyembelih ayam jago kesayangan guru beliau itu. Setiap pagi Syekh Khudlori memandikan sendiri ayam milik beliau itu. Setelah itu, ayam jago itu dijemur di dalam sangkar (Jawa, kurungan). Syekh Khudlori sangat senang melihat ayam jago beliau itu pada saat di jemur di halaman surau milik beliau. Beliau dari serambi surau menyaksikan gerakan ayam jago beliau itu.
Tetapi, pada hari itu Syekh Khudlori menyuruh asy Syekh untuk menyembelihnya. Setelah disembelih, ayam itu kemudian asy Syekh masak dan beliau makan berdua. Setelah agak siang, asy Syekh kemudian berpamitan kepada guru beliau yang sangat beliau cintai dan hormati itu untuk pergi ke Jakarta.
Nah, ketika asy Syekh sudah berada di Jakarta selama kira-kira seminggu, tepatnya pada hari Selasa, tanggal 12 Mei 1964 bertepatan tanggal 1 Muharam 1384 H tiba-tiba asy Syekh merasakan punggung beliau seperti terkena aliran stroom bertegangan tinggi. Ternyata, pada saat itu pula ruh guru mulia beliau, asy Syekh al Maghfurlah Rd. Muhammad Khudlori bin Kyai Rd Muhammad Hasan bin asy Syekh Rd. Muhammad Arifan kembali ke rahmatulloh, inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Beliau wafat dalam usia 82 tahun.