Merantau Demi Mencari Seorang Quthub
Sebagai langkah pertama dalam perantauan beliau mencari “Sang Pembimbing” dimulai dengan kunjungan beliau ke kota Mekkah. Hal ini tentulah sangat beralasan. Semua orang tentu sudah mafhum kalau kota suci ini memang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Sepanjang tahun tiada henti-hentinya para pengembara silih berganti datang dan pergi, bahkan tidak sedikit pula yang pada akhimya bermukim dan meninggal di kota ini. Bertebaran di sana-sini berbagai majelis ta'lim di kota Mekkah, terutama di Masjidil Harom. Bisa dipastikan, hampir tidak ada pemuka-pemuka Islam, khususnya di zaman itu, yang tidak pernah menimba ilmu di kota suci ini. Mereka datang dengan tujuan selain mengerjakan haji juga untuk memperdalam keilmuan mereka, di samping juga, tentunya, untuk 'ngalab berkah' atas keagungan barokah kota Mekkah al Mukarromah ini.
Bagi beliau, sudah barang tentu, Mekkah bukanlah merupakan tempat yang asing lagi. Sudah beberapa kali beliau mendatangi kota ini pada waktu mendampingi Syekh Abi Said mengerjakan haji. Dan kali ini pula, di sela-sela pencariannya, beliau menyempatkan pula mengerjakan haji untuk kesekian kalinya. Namun, setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu saat beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang beliau cari itu justru tidak berada di sana. Beliau, oleh para sesepuh Mekkah, malah disarankan untuk mencarinya di negeri Iraq, sebuah negeri yang terkenal sebagai gudangnya para sholihin, shiddiqin, dan auliya'ulloh. Karena mendengar keterangan seperti itu, maka segera berangkatlah beliau ke Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.
Setelah melakukan perjalanan berhari-hari mengarungi padang pasir yang luas, akhirnya sampailah beliau di kota Baghdad, ibu kota negeri Iraq. Baghdad adalah sebuah kota yang telah berumur ribuan tahun, memiliki peradaban bernilai tinggi dan kebudayaan adiluhung yang amat mengagumkan. Kota ini, di kala itu, juga dikenal sebagai pusat kebangkitan peradaban Islam. Selain itu, Baghdad merupakan daerah subur di kawasan itu, karena jantung kota itu dibelah oleh sungai Tigris.
Sebagai kota besar dan pusat pemerintahan, kota Baghdad sudah selayaknya menjadi tujuan para pedagang dan para pencari ilmu. Memang sudah sejak lama, apalagi semenj ak masa dinasti Bani Abbas (750 1250 M.) yang masyhur dengan khalifah Harun ar Rasyid-nya, Baghdad merupakan pangkalan utama bagi para penuntut perbagai macam cabang ilmu-ilmu agama. Di sana, beliau mendapati betapa banyak dan bertebarannya para alim 'ulama yang ahli dalam bidang ilmu fiqih maupun tasawwuf. Beliau membenarkan pula kalau Baghdad juga disebut sebagai gudangnya ahli al Quran dan pusatnya para pendekar ahli hadist yang ulung.
Tidak sedikit pula para sholih, shiddiqin, dan auliya'ulloh pernah bertempat tinggal, bahkan lahir, meninggal, dan dimakamkan di kota ini. Baghdad tercatat menjadi tempat terpenting bagi perkembangan ilmu tasawwuf dan thoriqot. Nama-nama besar dan para masyayikh yang pernah menghiasi sejarah dan peradaban dunia Islam sejak awal abad pertama Hijriyah, seperti:
- Sayyidina Husain bin Ali,
- Sayyidina Salman al Farisi,
- Sayyidina Musa al Kadzim,
- Imam Abu Hanifah,
- Syekh Ma'ruf al Karkhi,
- Syekh Harits al Muhasibi,
- Syekh Abul Qosim Junaidi al Baghdadi,
- Syekh Husain bin Manshur al Hallaj,
- Syekh Sarri as Saqothi,
- Syekh Abu Bakar asy Syibli,
- Syekh Abdul Qodir al Jailani,
- Imam al Ghozali,
tentu tidak dapat dipisahkan dengan 'Negeri 1001 Malam' ini. Sungguh merupakan sebuah tempat yang amat fenomenal dan menakjubkan di permukaan bumi ini.
Dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu. Bahkan, justru ada beberapa di antara para masyayikh itu yang
malahan menawarkan diri dan bersedia menjadi guru pembimbing bagi beliau. Tetapi, beliau tetap berbulat hati untuk bisa menemukan sang Quthub.
Memang. sepeninggal Sulthonil Auliya'il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallohu 'anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jaelani oleh Alloh disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 561 H./ 1077 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya. Jadi, selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun. Di kala hidupnya, asy Syekh Abdul Qodir diakui oleh' para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan Quthbul Ghouts”.
Walaupun mendapat keterangan seperti itu, beliau, dengan tidak mengenal rasa putus asa, tetap melanjutkan pencariannya di kota Baghdad itu sampai berhari-hari. Akhirnya, beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan sesepuh guru thoriqot di negeri Iraq pada waktu itu, bernama asy Syekh ash ' Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyallohu 'anh. Syekh Abul Fatah adalah seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa'iyah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Tanpa berlama-lama, segeralah beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah.
Diceritakan oleh beliau, bahwa pada saat bertemu dan berhadapan dengan asy Syekh Abul Fatah al Wasithi, beliau mengakui sangat kagum akan kealiman dan keagungan Syekh Abul Falah. Sampai-sampai beliau mengatakan, bahwa selama beliau mengembara dan berada di negeri Iraq, belum pernah sekali pun bertemu dengan orang yang setaraf dengan asy Syekh Abul Fatah al Wasithi, baik dari segi keilmuan maupun derajat kewaliannya.
Di hadapan Syekh Abul Fatah, beliau menyampaikan maksud dan tujuannya sehingga sampai melakukan perjalanan yang sedemikian jauh. Beliau mengemukakan, bahwa beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan beliau minta
kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perj alanan ruhani beliau menuju ke hadirat Alloh SWT. Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”
Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung.