Masa Muda Asy-Syeikh
Dalam kurun waktu 12 tahun (1958-1970) itulah kehidupan asy Syekh sangat sarat dengan pengalaman hidup yang berwarna warni. Selain waktu itu asy Syekh mondok di PP Mojosari, Nganjuk, beliau juga menuntut ilmu di Malangbong. Beliaujuga sering pergi ke Jakarta dah Surabaya untuk berbisnis jual beli kendaraan bermotor. Ketika asy Syekh pulang ke Tulungagung, beliau juga berkesempatan untuk menyalurkan hobby beliau 'ngebut'. Namun, di sisi yang lain, ketika ada bai'atan asy Syekh juga bertindak sebagai seorang kyai.
Di dunia balap motor, beliau sangat disegani oleh kawan maupun Iawan. Motor kesayangan beliau adalah Kawasaki 100 cc.
Sehingga, di kalangan para pembalap asy Syekh populer dengan nama panggilan “Djalil Kawasaki”. Kebanyakan, teman-teman 'ngebut' asy Syekh adalah anak-anak pejabat ABRI (sekarang TNI), pejabat sipil, maupun pengusaha. Di antara sahabat beliau adalah pak Hartoro, pak Kasmanu (putera pak Sumiran, pemilik PR Retjo Pentung), dan seorang putera Bupati Blitar. Motormotor milik asy Syekh selalu bersih dan terawat dengan baik. Semuanya itu beliau tangani sendiri.
Dalam dunia balap motor, asy Syekh juga sering dijadikan aduan atau taruhan (Jawa, totohan) oleh teman-teman beliau. Bentuk aduannya bermacam-macam. Salah satunya adalah kemampuan beliau mencapai jarak tertentu dalam waktu yang sudah ditentukan. Asy Syekh pernah memenangkan taruhan besar yang dilakukan teman-teman beliau yaitu mencapai jarak antara perempatan BTA sampai di depan pasar Ngunut hanya ditempuh dalam waktu beberapa menit saja. Dari taruhan itu beliau mendapat bagian yang cukup besar. Namun, keseluruhan uang itu asy Syekh kembalikan. Asy Syekh mengatakan kepada bulik Mahflyah bahwa hal itu berdosa. Asy Syekh semata-mata hanya ingin menyalurkan hobby beliau dalam memacu motor saja.
Ada satu cerita yang berhubungan dengan dunia 'pemgebutan' beliau. Pada suatu malam, asy Syekh karena kekasyafannya, mengetahui kalau pada esok harinya beliau ditakdirkan akan mengalami kecelakaan lalu lintas. Ketika itu, asy Syekh merasa mengalami ujian yang berat. Beliau sering mengatakan bahwa seseorang untuk menjadi mukasyafah itu sebenamya sesuatu yang mudah. Namun, yang berat dan sulit itu adalah menjaga (Jawa, ngreksa)-nya. Yang asy Syekh maksud 'ngreksa' adalah kemampuan untuk menjaga adabiyah atau etika, baik terhadap kekasyafan itu sendiri, terlebih lagi adabiyah terhadap Alloh SWT.
Pada pagi harinya asy Syekh keluar dengan sepeda motor kesayangannya. Seperti biasanya, asy Syekh memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi. Setelah berkeliling kota Tulungagung maka terjadilah takdir itu. Tidak jauh dari stadion Rejo agung, dalam kecepatan tinggi, sepeda motor asy Syekh menabrak sebuah truk dari arah belakang
yang sedang berjalan perlahan-lahan. “Braaakkk...., ” suara benturannya amat keras sekali Sepeda motor asy Syekh pun hancur tak berbentuk lagi. Namun, alhamdulillaah...., asy Syekh hanya luka-luka lecet saja,
Terkait dengan kondisi yang 'masih' lecet-lecet ini asy Syekh mengatakan, “Sesakti-saktinya orang, apabila dia mengalaml hal seperti itu, akan lebih baik kalau dia masih mengalami luka meskipun hanya lecet-lecet saja. Hal itu akan menyadarkan diri kalau manusia itu adalah makhluk yang apes. Dia akan bersyukur kepada Alloh Ta'ala karena merasa telah diselamatkan-Nya_ Berbeda kalau dia tidak mengalami luka sedikit pun, maka yang akan muncul adalah rasa sombong. ”
Sekitar tahun 1969 atau 1 tahun sebelum Syekh Mustaqim wafat, asy Syekh pemah matur kepada ayahanda beliau, “Pak, besok kalau saya jadi kyai, saya tidak mau seperti panj enengan.” Syekh Mustaqim pun bertanya, “Lha, memangnya kenapa?” Asy Syekh menjawab, “Karena umat bapak tidak sama dengan umat saya. Saya harus terang-terangan (blak-blakan) kepada mereka. Mereka tidak akan merasa (Jawa, kroso) kalau hanya disindir-sindir saja seperti murid-murid panjenengan.” Syekh Mustaqim pun berkata, “0 yo, ora opo-opo, terserah kowe. " (0 ya, tidak mengapa, terserah kamu).
Pada masa Syekh Mustaqim, dalam memberikan pelajaran dan peringatan kepada murid-murid beliau, kata-kata beliau sangat halus sekali. Dengan bahasa yang seperti itu, para santri mbah Mustaqim sudah paham. Sikap mereka terhadap sang mursyid hanyalah sami 'na wa atho ’na (saya dengar dan saya taati).
Sehingga, karena itulah, selama asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin umat, beliau sering ceplas-ceplos 'menembak' murid-murid beliau. Penulis sering menyaksikan sendiri ketika asy Syekh 'membaca' tingkah laku murid-murid dan tamu-tamu beliau pada saat di rumah. Bahkan, peristiwa yang terj adi beberapa tahun yang lampau pun. Malahan, he he he.... penulis sendiri sering kena 'tembak' pula.
Asy Syekh mengatakan bahwa beliau melihat tingkah laku para murid beliau itu laksana beliau menonton TV. Audio dan video visualnya sangat jelas, sejelas-jelasnya. Tingkah laku yang bisa beliau lihat dan dengar tidak hanya prilaku lahiriyah saja, bahkan prilaku batin si murid pun bisa beliau lihat dan dengar dengan jelas. Kata asy Syekh, “Tinggal memasang 'kabelnya' (Jawa, ngecopne) saja.” Beliau tinggal memasang disket atau flash disk-nya, maka akan terlihatlah lakon kehidupan si murid, baik yang sudah lampau maupun yang akan terjadi.
Namun, meskipun mereka kena 'tembak' asy Syekh tapi itu tidak menjadikan mereka merasa 'sakit‘, tersinggung, maupun malu. Justru ketika mereka kena ' tembak‘, mereka malah lega karena merasa ada orang yang mau menegur dan mengoreksi tindakan-tindakan salah mereka. Seringkali mereka malah tertawa karena merasa ketahuan (Jawa, konangan) kelemahan kelemahannya.