Bermukim Di Kota Tunis
Tatkala beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M, ketika itu di sana sedang terjadi musim kemarau panjang yang berakibat gagalnya panen (musim paceklik), sehingga harga bahan makanan melambung tinggi. Tidak banyak orang yang mampu membeli bahan makanan, kecuali hanya orang-orang yang berkecukupan saja. Padahal, sebagian besar penduduk asli dan para pendatang di negeri itu tergolong orangorang miskin. Akibat dari semua itu, maka di mana-mana tampak banyak orang yang mengalami kelaparan. Di jalan-jalan banyak sekali orang sakit karena sudah berhari-hari tidak makan dan minum. Tubuh mereka kurus kering, seakan hanya tinggal tulang berbalut kulit belaka. Lemah, tiada daya dan tenaga. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka harus menemui ajalnya. Terlihat di sana-sini mayat-mayat bergelimpangan tak terurus. '
Menyaksikan keadaan seperti itu, serta didorong oleh sifat kelemah lembutan dan kasih sayang beliau, terbetiklah di dalam hati beliau dengan mengatakan, “Ya Alloh, seandainya pada saat ini saya memiliki uang, tentu seluruh uang itu akan saya belikan roti dan akan saya bagi-bagikan kepada mereka.” Ajaib, seketika itu juga tiba-tiba saku atau kantong-kantong baju beliau semua sudah terisi penuh dengan uang. Bersamaan dengan itu muncul suara,
“Ya Ali ! Sekarang berangkatlah engkau membeli roti, sedang uangnya sudah ada di saku bajumu.”
Dengan serta-merta beliau segera berlalu dari tempat itu untuk pergi membeli roti yang merupakan makanan pokok di daerah tersebut. Seluruh uang yang ada semuanya dibelikan roti tanpa tersisa sedikitpun. Setelah itu beliau segera kembali mendatangi mereka dengan membawa gerobak berisi berpuluhpuluh karung roti. Sesampainya di tempat semula, mulailah beliau membagi-bagikan roti tersebut dengan cara yang santun dan penuh rasa hormat.
Manakala orang-orang yang sedang kelaparan itu melihat ada anak kecil sedang membagi-bagikan makanan, maka tak pelak mereka pun datang “menyerbu” dan saling berebutan. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengharukan.
Dengan sabar dan telaten beliau melayani mereka dan membaagikan sendiri roti-roti itu sampai akhirnya habis tandas tiada tersisa. Sementara itu, tampak terlukis dengan jelas gurat. gurat kegembiraan dan keceriaan di wajah mereka. Menyaksikan semua itu. beliau pun menitikkan air mata dan tiada henti hentinya mengucapkan tasbih dan tahmid seraya bersyukur kepada Alloh SWT.
Oleh karena hari itu bertepatan dengan hari Jumat, setelah selesai beliau membagi-bagikan roti, beliau pun bergegas menuju ke Masjid Agung yang ada di kota itu. Sesampainya di masjid. beliau lalu mengambil wudhu kemudian melaksanakan sholat-sholat sunnat dan dilanjutkan mengerjakan i'tikaf.
Belum lama beliau beri'tikaf, tiba-tiba beliau didatangi oleh seorang laki-laki dari arah yang tidak beliau ketahui. Laki-laki itu tampak sangat berwibawa. Tampak dari wajahnya pancaran Cahaya Taqwa yang amat mengagumkan. Orang tersebut berjalan mendekati beliau sambil mengucapkan salam dan mengajaknya berjabatan tangan seraya memperkenalkan diri dengan nama: Ahmad al Khodlir, yang tiada lain adalah nabiyyulloh Khidlir, 'alaihissalam. Nabi Khidlir mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah karena diutus untuk menyampaikan keputusan Alloh SWT atas diri beliau yang pada hari itu telah dinyatakan untuk dipilih menjadi kekasih Robbul 'Alamin. Selain itu, beliau juga sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.
Kedua insan mulia itu kemudian sejenak berbincang-bincang sampai menjelang datangnya waktu sholat Jum'at. Pada waktu melaksanakan sholat Jumat keduanya pun terpisah. Setelah selesai sholat, beliau lalu mencari nabi Khidlir, 'alaihissalam, di dalam dan di sekitar masjid. Seluruh ruangan masjid dan halamannya sudah beliau jelajahi. Tidak sedikit pula orang yang beliau temui ditanyai. Namun, ternyata orang yang beliau cari itu tidak berhasil beliau ketemukan.
Karena tidak berhasil bertemu dengan Nabiyyulloh Khidlir lagi, dan hari pun sudah menjelang petang, maka selanjutnya beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahulloh, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu. Kedatangan beliau menghadap Syekh Abi Said dengan maksud untuk mengemukakan peristiwa yang baru saja beliau alami.
Akan tetapi, pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang halihwal perjalanan beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Begitu mendengar uraian Syekh Abi Said, maka serta-merta berbinar-binarlah hati beliau seraya mengucapkan syukur alhamdulillah. Beliau, yang pada waktu itu masih berumur 6 tahun, merasa hal itu sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan cita-citanya.
Untuk selanjutnya, beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur'an, hadits, fiqih, akhlaq/tasawwuf, dan tauhid. Selain itu, karena kedekatan beliau dengan sang guru, beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. .
Selama beberapa tahun tinggal bersama Syekh Abi Said, . hal itu membuat beliau menjadi semakin matang dan dewasa ' dalam kejiwaan dan keilmuan, seiring dengan perkembangan usia beliau. Karena, selain beliau memiliki kecerdasan yang luar biasa, beliau juga memiliki semangat belajar yang tinggi, kedisiplinan, dan cita-cita yang tinggi pula. Di samping itu, beberapa kali mendampingi Syekh Abi Said mengerjakan ibadah haji, kesempatan mencari ilmu pun tidak beliau sia-siakan. Di Mekkah, terutama di Masjidil Haram, beliau banyak bertemu , dengan ulama-ulama yang datang dari segala penjuru dunia yang bisa beliau ajak diskusi dan beliau timba ilmunya.
Namun, setelah melalui diskusi yang cukup panjang dan, perdebatan dengan beberapa ulama, serta setelah melalui proses perenungan yang mendalam, beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, tauhid sampai ilmu-ilmu tentang al Qur'an dan hadist, semuanya itu beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Timbul dalam hati sanubari beliau sebuah pernyataan bahwa untuk menyempurnakan agar syariat berbunga hakikat, dan hakikat berbuah ma'rifat, maka seseorang harus menceburkan dirinya ke alam gaib dan menyelam ke dalam relung Samudera Cahaya Ketuhanan. Dan kesemuanya itu tentu harus melalui proses perjalanan yang panjang, berliku-liku, tidak mudah, dan tidak sederhana. Meskipun, ibaratnya, beliau merasa telah memiliki sebuah perahu yang besar, megah, dan kokoh, akan tetapi beliau juga merasa bahwa perahu itu masih belum pernah digunakan untuk berlayar mengarungi samudera nan luas menuju ke pelabuhan kebahagiaan yang hakiki. Oleh karena itu, beliau berkesimpulan bahwa beliau harus segera memulai menapaki perjalanan itu.
Selain itu, beliau juga merasa bahwa agar perjalanannya bisa selamat sejahtera sampai ke tujuan, maka mutlak harus di bawah bimbingan dan pengawasan seorang pemandu. Oleh karena itu, beliau telah berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya. Timbul tanda tanya besar di dalam hati beliau, di manakah kini keberadaan seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah beliau menuju ke hadirat Alloh SWT? Berhari-hari pertanyaan itu mengganggu pikiran dan hati beliau, yang kala itu masih berumur belasan tahun. Setelah bertanya ke sana ke mari dan mendapatkan keterangan dari para ulama yang beliau kunjungi, akhirnya beliau memutuskan untuk pergi ke negeri-negeri di bagian timur. Sedemikian kuat semangat dan tekadnya, maka pada hari itu juga beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Diambil dari buku
“MANAQIB SANG QUTHUB AGUNG”
(SULTHONUL AULIYA' SYEKH ABUL HASAN ASY-SYADZILIY)
Penulis : H. Purnawan Buchori ( Kaak Pur )
Penerbit : Pondok PETA Tulungagung