29.11.22

Bunga Rampai Cerita Tentang Asy-Syeikh

Belajar Tawakal (Berserah Diri Kepada Alloh SWT). 

Sekitar tahun 1978, ketika itu asy Syekh sedang di Jakarta bersama dengan murid sekaligus sahabat karib asy Syekh yakni H. Muchtar Sirri. Beliau adalah putera dari mbah H. Ahmad Sirri, salah satu murid terkemuka Syekh Mustaqim. Asy Syekh berkata kepada kak Tar (nama panggilan H. Muchtar), “Tar, yuk kita belajar tawakal.” “Gimana caranya, Yai?” tanya kak Tar. “Hari ini kita pulang ke Tulungagung hanya berbekal tiket kereta api saja. Kita tidak usah bawa uang serupiah pun. Uang yang ada kita bagi- bagikan ke orang-orang saja. Terus nanti, selama kita di perjalanan apabila kita terdesak, kita tidak boleh meminta bantuan kepada orang lain. Kecuali, kalau orang itu membantu sendiri. Bagaimana, kamu siap?” “0000.... ya tentu harus siap, dong...,”jawab kak Tar mantab.

Singkat cerita, berangkatlah asy Syekh bersama kak Tar dari salah satu stasiun kereta api di Jakarta. Setelah beberapa jam perjalanan, kereta api pun tibalah di sebuah stasiun di salah satu kota di Jawa Tengah. Dan, setelah kereta itu berhenti, tiba-tiba asy Syekh merasakan perut beliau mulas. Beliau " kebelet" BAB. “Waduh, Tar.... perutku gak bisa diajak kompromi nih...,” kata asy Syekh.
Setelah berkata begitu, asy Syekh langsung lari dan turun dari kereta api. Kak Tar pun mengikutinya dari belakang. Asy Syekh kemudian langsung masuk ke toilet di stasiun itu. Sementara itu kak Tar menunggu di luar dengan perasaan yang tidak karu-karuan. Ndilalah, asy Syekh dalam acara buang hajat itu tidak bisa sebentar. Sedangkan peluit sang petugas stasiun pun sudah berkali-kali berbunyi sebagai tanda kalau kereta segera berangkat. Kak Tar pun mencoba "melobby" petugas agar mau menangguhkan keberangkatan kereta. Alhamdulillah, si petugas pun mau memberi toleransi, meski tidak bisa terlalu lama.

Kak Tar pun segera memanggil-manggil asy Syekh, “Yai, cepetan Yai...., keretanya mau berangkat.” Namun, ternyata asy Syekh masih belum selesai juga. Kak Tar berpikir, bagaimana jadinya kalau sampai ketinggalan kereta. Tiada uang di saku sepeser pun. Jauh dari teman dan sanak keluarga. Dan, akhirnya, sesuai dengan SOP (standard operating procedure), kereta api pun harus berangkat tanpa harus menunggu beliau berdua. Kak Tar pun lemas selemas-lemasnya sembari melihat ekor kereta yang semakin lama semakin tidak kelihatan. . ..

Setelah kereta api tidak tampak lagi, barulah asy Syekh keluar dari toilet dengan perasaan lega. Namun, tidak demikian dengan kak Tar. Beliau dalam kondisi hopeless. Keadaan stasiun pada waktu itu kembali sepi. Setelah beberapa saat beliau berdua duduk di dalam peron, lalu asy Syekh mengajak kak Tar keluar lalu duduk di emperan stasiun. Agak lama beliau berdua duduk di situ. Perut pun sudah mulai keroncongan. Rokok juga sudah habis dari tadi. Sementara itu, kopi panas pun hanya ada di angan-angan. Rasa haus dan lapar mulai mendera.

Di tengah-tengah "penderitaan" itu, tiba-tiba beliau berdua melihat ada sebuah dokar yang masuk ke halaman stasiun. Setelah dokar itu berhenti, turunlah kusir dokar tersebut. Pak kusir itu kemudian menuju ke arah kak Tar yang duduk agak berjauhan dengan asy Syekh. Pak kusir kemudian bertanya, "Sampeyan apa tahu orang yang bernama kyai Djalil dari Tulungagung?” Kak Tar pun menunjuk ke arah asy Syekh. Pak kusir kemudian mendekat ke arah asy Syekh. “Assalaamu 'alaikum...., “ Sapa dan salam pak kusir kepada asy Syekh. Setelah asy Syekh menjawab salam itu, pak kusir kemudian mengatakan, “Mohon maaf kyai saya ke sini diutus pak haji Fulan untuk menjemput panjenengan.

Singkat cerita, asy Syekh bersama kak Tar lalu menaiki dokar itu menuju ke rumah pak haji Fulan. Dari perbincangan dengan pak kusir, diketahuilah bahwa pak haji Fulan adalah seorang petani tembakau yang sukses di daerah itu. Setelah tiba di rumah haji Fulan, beliau berdua disambut pak haji Fulan dan keluarganya dengan penuh kehangatan. Pertama-tama, asy Syekh dan kak Tar dipersilakan mandi dan berganti pakaian yang masih baru. Setelah itu, beliau berdua dipersilakan menikmati makanan dan minuman yang enak dan segar yang sudah tergelar di meja makan. Berikutnya, dua gelas besar kopi panas dan beberapa bungkus rokok kesukaan beliau pun tersaji.

Setelah itu, pak haji Fulan berkata kepada asy Syekh, “Mohon maaf Yai, bukannya kami tidak suka kehadiran panjenengan di rumah ini. Tetapi, tidak lama lagi akan ada kereta api menuju Surabaya yang akan berangkat dari stasiun sini. Dan, ini tiketnya Yai untuk ke stasiunnya biar diantar pakai dokar saya lagi, Yai"

Maka, tidak lama kemudian asy Syekh dan kak Tar sudah berada di dalam kereta api lagi. Kak Tar sempat bertanya kepada asy Syekh, tentang siapa sejatinya pak haji Fulan itu. Asy Syekh Dun menjawab, “Yo embuh Tar; aku yo ora eruh. ” (Ya gak tahu Tar, aku juga tidak tahu).

Singkat cerita, sampailah beliau berdua di Surabaya. Setelah  turun di salah satu stasiun kereta api di kota Surabaya, asy Syekh langsung mengajak kak Tar berziarah ke makam Sunan Ampel.

Seusai berziarah, hujan deras pun turun mengguyur kota Surabaya. Tak pelak, beliau berdua pun basah kuyup terkena air hujan. Dalam kondisi badan, pakaian, dan celana yang basah Syekh mengajak kak Tar berjalan menuju ke rumah kakak asy Syekh, yaitu ibu Hj. Anni Siti Fatimah (bude Fatimah) yang jaraknya lumayan jauh. Kenapa jarak yang sedemikian jauh itu akan beliau tempuh dengan berjalan kaki? Hal itu karena memang tiada uang sepeser pun yang akan beliau gunakan untuk membayar ongkos bemo atau bis kota. Pada waktu di rumah haji Fulan, beliau berdua hanya diberi 2 lembar tiket kereta api saja. Selain itu tidak. Padahal, selain kehujanan, perut beliau berdua pun sudah waktunya diisi.

Selanjutnya, beliau berdua di tengah-tengah derasnya hujan, keluar dari komplek makam Sunan Ampel. Ketika melintas di jalan Sasak (masih di kawasan Ampel), secara kebetulan, ayahanda penulis (bpk. H. Musa Ismail) sedang kulakan kitab-kitab pesantren di sebuah toko kitab. Dari kejauhan, ayahanda melihat beliau berdua berjalan sambil berhujan-hujan. Batin ayahanda, “Itu kok seperti Yaine, to?” Setelah dekat, ayahanda pun kemudian bersalaman. Sempat terjadi dialog singkat, di antaranya ayahanda menanyakan asy Syekh dari mana. Asy Syekh menjawab kalau beliau dari Jakarta. Kemudian, dengan setengah berbisik, ayahanda bertanya kepada kak Tar, “Tar Yaine butuh duwik apo ora? "
(Tar, Yai perlu uang apa tidak?).

Mendengar pertanyaan ayahanda, kak Tar pun tidak menjawab. Namun, dalam hati, kak Tar merasa sangat 'geram' kepada ayahanda. Batinnya kak Tar, “Hiiiihh... kak Musa kok pakai tanya segala sih"(asy Syekh maupun kak Tar biasa menyapa " ayahanda dengan panggilan " kak Musa”). Maunya kak Tar, ayahanda itu mbok tidak usah pakai ba bi bu segala, tapi  langsung "mak lung '(diberi), gitu. . ..

Karena kak Tar tidak menjawab, maka ayahanda pun menganggap bahwa asy Syekh maupun kak Tar pada saat itu memang
tidak butuh uang. Ayahanda berasumsi bahwa kalau asy Syekh pulang dari Jakarta pasti membawa uang banyak. Padahal, ketidakmauan kak Tar menjawab pertanyaan ayahanda itu karena “taat komitmen bahwa dalam rangka belajar tawakal itu tidak boleh mengharap atau meminta bantuan orang lain, kecuali kalau langsung diberi.

Terkait dengan hal ini, selang beberapa hari kemudian, pada saat ayahanda bertemu dengan asy Syekh dan kak Tar di pondok PETA, ayahanda bercerita bahwa ketika bertemu di Surabaya itu ayahanda sebenarnya pas membawa uang cukup banyak karena kulakan kitab itu harus dibayar tunai. Tapi karena kak Tar ditawari tidak menjawab, maka ayahanda pun tidak memberi. Kata kak Tar, “Kak Musa, kalau seandainya pada waktu itu saya pantas misuh (mengumpat), sampeyan pasti akan saya pisuhi. Ha… ha... ha... ” Ayahanda pun menimpali, “Lha, salahmu sendiri kenapa kamu nggak mau ngomong? Ha.. ha.. ha ”

Selanjutnya, asy Syekh dan kak Tar pun meneruskan perjalanan ke rumah bude Fatimah di Kedondong, pasar Keputran dengan berjalan kaki. Pada saat itu hujan masih belum reda. Sesampai di rumah bude Fatimah, beliau berdua pun hanya berganti pakaian yang basah kuyup saja. Ndilalah, kakak asy Syekh pun tidak seperti biasanya. Pada saat, itu bude Fatimah tidak menyiapkan makanan sama sekali. Ketika asy Syekh berpamitan pulang, beliau pun sama sekali tidak nyangoni (memberi uang). Bude Fatimah juga berasumsi bahwa kalau asy Syekh pulang dari Jakarta pasti membawa uang banyak.

Maka, kemudian beliau berdua, dengan berjalan kaki, mencari mobil carteran. Mobil yang paling populer di masa itu yaitu jenis Colt T 120. Sebagaimana lazimnya, ongkos carteran-nya akan dibayarkan setelah sampai di tujuan yakni di kota Tulungagung. Karena hal itu merupakan sebuah kelaziman, maka tidak perlu ada kesepakatan terlebih dahulu. Kesepakatan yang ada hanyalah masalah harga atau ongkos carteran-nya saja.
Singkat cerita, maka beliau berdua pun akhirnya pulang ke Tulungagung dengan mengendarai mobil carteran. Ketika perjalanan sampai di daerah kecamatan Krian, Sidoarjo, tiba-tiba Si sopir ngomong kepada asy Syekh yang duduk di sampingnya “Mas. ini mobilnya bensinnya habis. Saya pinjam uangnya dulu, ya? Saya tidak bawa uang sama sekali, lho. Nanti dipotong ongkos carteran-nya. Sambil berkata begitu, si sopir tanpa menunggu jawaban si pencarter, langsung membelokkan mobilnya masuk ke sebuah SPBU. Mendengar perkataan si sopir, kak Tar pun tubuhnya langsung lemas, seakan tubuh yang tiada bertulang. Wajahnya pun berubah pucat pasi. Kak Tar yang duduk di belakang asy Syekh langsung berkata lirih, “Mati aku....” Namun, tidak demikian dengan asy Syekh. Beliau tetap tenang Bahkan, ketika sang driver membelokkan mobilnya ke SPBU tiada tampak kegelisahan di wajah beliau sama sekali.

Setelah mobil berhenti, si sopir langsung turun lalu dengan pedenya langsung membuka tutup tanki dan meminta kepada petugas SPBU untuk mengisinya. “Full tank, mas...,” kata si sopir dengan tenangnya. Dalam situasi yang "genting" itu tiba tiba di jalan raya depan SPBU tampak ada sebuah motor gede (moge) yang dikendarai oleh seorang anggota CPM (Corps Polisi Militer) yang memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ketika melintas di depan SPBU tampak moge itu kebablasan.

Setelah kebablasan beberapa puluh meter, moge itu pun putar balik dan langsung masuk ke areal SPBU. Moge itu berhenti di dekat mobil carteran asy Syekh. Setelah itu, si pengendara moge yang berpostur tinggi besar, berkumis tebal, dan memakai uniform CPM, turun dari motornya dan mendekat ke arah asy Syekh yang tetap duduk di jok depan sebelah sopir. "Selamat sore sapa dan salam si CPM sembari memberi hormat ala militer kepada asy SyekhASY Syekh pun menjawab, "Selamat sore."
si CPM kemudian bertanya, “Apakah di sini ada yang bernama kyai Djalil?” Asy Syekh pun menimpali, “O ya ..... , saya sendiri. Ada apa, pak?” Si CPM lalu berkata, “Ouuww... Mohon maaf pak kyai.…. Begini, pak kyai, saya diperintah komandan saya lmtuk menyampaikan ini kepada pak kyai.” Anggota CPM itu lalu menyerahkan sebuah bungkusan kepada asy Syekh. Setelah asy Syekh menerima bungkusan itu, orang tersebut langsung mohon pamit kepada asy Syekh. Tidak berapa lama kemudian, bungkusan itu oleh asy Syekh dibuka. Ternyata, isinya adalah uang. Sambil menoleh ke belakang, asy Syekh dengan tersenyum seraya menunjukkan uang itu kepada kak Tar yang tengah terduduk lemas, beliau berkata, “Tar... tawakal, Tar...”

Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Kak Tar sempat bertanya kepada asy Syekh tentang komandan CPM yang baik hati tadi. Asy Syekh pun menjawab, “Embah Tar, aku ora kenal. ” (Nggak tahu Tar, aku tidak kenal). Asy Syekh kemudian mengajak "mengisi bensin" di rumah makan favorit asy Syekh di kota Mojokerto.

Sesampai di pondok PETA, masih di depan pintu gerbang, asy Syekh dihampiri alm. kang Hamid, salah seorang pengurus pondok Kang Hamid menyerahkan sebuah bungkusan kepada asy Syekh, yang katanya kang Hamid, merupakan titipan dari seseorang yang tidak mau disebutkan nama dan alamatnya. Sambil mengipas-ngipaskan bungkusan tersebut, seraya tersenyum asy Syekh kembali berkata kepada kak Tar, “Tar. .. tawakal, Tar. . . .”

Selanjutnya, si sopir kemudian dipersilakan masuk ke dalam pondok untuk beristirahat barang sejenak. Ketika si sopir berpamitan pulang, maka oleh asy Syekh diberikanlah ongkos carteran yang sudah disepakati dengan jumlah yang dilipatgandakan.