29.11.22

Cara Asy-Syeikh Dalam Menjalankan Sholat Jum'at

  Selama lebih dari 15 tahun, yaitu sejak sebelum tahun 1990 asy Syekh memiliki kebiasaan menjalankan sholat Jumat tidak menetap disalah satu masjid saja. Setiap hari Jumat asy syekh selalu minta kepada para penderek beliau untuk diantarkan ke masjid yang beliau inginkan. Penderek (orang yang setia mengikuti) beliau, yaitu pak H. Muhajirin, pak Achsin (aim), pak Wahono (alm), dan kang Zein yang bertugas sebagai driver.

Setiap hari Jumat siang sekitar pukul 11.00 asy Syekh mengajak berangkat keempat ‘ajudan’ setia beliau menuju ke masjid jami di desa yang beliau sebutkan. Setelah sampai di masjid yang dituju, sebelum turun dari mobil, asy Syekh terlebih dahulu bagikan uang kepada masing-masing ‘ajudan’ beliau.Uang itu dimaksudkan untuk nantinya mereka masukkan ke dalam kotak infaq masjid. Pecahan uang yang beliau bagikan pun merupakan pecahan uang bernilai besar, yaitu pecahan 20 ribuan,  50 ribuan, dan 100 ribuan Namun, yang paling sering adalah pecahan uang 50 ribuan atan 100 ribuan.

Sedangkan untuk mengisi kotak infaq masjid, asy Syekh sendiri selalu memasukkan lembaran uang yang lebih banyak dari yang beliau bagikan kepada para ‘ajudan’ belian. Terkait dengan hal ini, asy Syekh pernah mengatakan bahwa yang benar-benar dibantu adalah masjid-masjid di pedesaan karena pendapatan infaqnya tidak terlalu banyak sehingga seringkali hanya cukup untuk biaya operasional masjid dan perawatan ala kadarnya.

Hal seperti itu bertolak belakang dengan masjid-masjid di wilayah perkotaan.

Selain membagikan uang infaq, asy Syekh juga selalu berpesan agar mereka jangan sampai lupa menjalankan sholat sunnat Tahiyyatul Masjid dan setelah itu agar diniatkan duduk l’tikaf. Setelah dikumandangkannya adzan, mereka juga diwanti-wanti agar mengerjakan sholat sunnat qobliyah Jumat. Demikian pula setelah sholat Jumat agar mereka membaca wirid-wirid yang disunnatkan dan mengerjakan sholat sunnat ba’diyah Jumat.

Tentang sholat ba’diyah Jumat ini, asy Syekh pernah mengatakan kepada penulis bahwa beliau apabila tidak sedang dalam perjalanan, pelaksanaan sholat ba’diyah Jumatnya yang satu salam beliau kerjakan di rumah, “Sholatnya diberkat.” Maksud beliau, dengan ‘membawa pulang’ sholat sunnat ba’diyah Jumat ke rumah, maka kita berharap rumah kita akan memperoleh berkahnya masjid dan Jumatan.

Asy Syekh menyukai masjid-masjid yang khutbah Jumatnya tidak terlalu panjang, singkat-padat, dan berisikan pesan-pesan tentang taqwalloh dan akhlaqul karimah. Beliau lebih suka khutbah yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa. Untuk masjid-masjid yang penyelenggaraan khutbah Jumatnya seperti itu, pada Jumat-jumat berikutnya beliau selalu minta untuk kembali Jumatan di masjid itu lagi.

Karena setiap asy Syekh sholat Jumat di masjid itu perolehan ‘kalengan’-nya selalu meningkat drastis, maka si ta’mir pun jadi mengerti. Mereka ‘menandai (Jawa, niteni), pokok kalau ada mobil besar berwama hijau tua ‘sholat Jumat’ di situ, perolehan infaqnya pasti banyak. Maka, jadi mengertilah mereka siapa yang sholat Jumat di situ. Dan, apabila hal itu mulai diketahui oleh banyak orang asy Syekh pun pada Jumat berikutnya tidak akan mau lagi ke situ.

Di samping itu, pada saat asy Syekh berada di dalam masjid beliau selalu memperhatikan kondisi flsik masjid itu. Apabila masjid tersebut sedang mengalami perbaikan, maka pada ke esokan harinya beliau mengutus ‘ajudan’ beliau untuk mengantarkan bungkusan uang yang lumayan tebal yang ditujukan kepada ta’mir masjid atau panitia pembangunnya, asy Syekh selalu berpesan kepada ‘ajudan’ beliau tidak usah menyebutkan jati diri asy Syekh kepada si peneria sumbangan. Asy Syekh berkata, “Kalau ditanyakan katakan saja dari orang Tulungagung.

Kebijakan Asy Syekh Tentang Sholat Iedul Fitri.

Sekitar tahun 1983, sholat Iedul Fitri maupun Iedul Adha di kota Tulungagung yang sejak dulu dilaksanakan di masjid Al Munawwar (masjid Agung Tulungagung), oleh pihak berwenang dialihkan ke alun-alun dengan alasan karena kapasitas masjid sudah tidak bisa menampung jumlah jamaah lagi. Hal ini menjadikan asy Syekh bersikap lain. Beliau tidak setuju kalau karena sebab itu menjadikan dikosongkannya masjid dan sholat Ied-nya dipindah ke alun-alun.

Asy Syekh berpendapat sebaiknya pelaksanaan sholat Ied tetap dipusatkan di dalam masjid. Sedangkan, apabila tidak cukup maka biarlah jamaahnya meluber sampai ke jalan dan alun' alun. Namun, ternyata pendapat beliau itu tidak diterima oleh pihak yang berwenang. Karena terjadi perbedaan pendapat maka asy Syekh pun selama kira-kira 5 tahun  berturut turut menggelar sholat Ied sendiri di masjid Al Munawwar bersama dengan santri-santri asy Syekh serta orang-orang yang sepaham dengan beliau. Maka, terjadilah dua sholat Ied dengan waktu yang bersamaan di tempat yang sangat berdekatan. masjid ada sholat Ied, di alun-alun pun juga ada sholat led.

Hal tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman bagi penguasa pada waktu itu. Asy Syekh beberapa kali didatangi aparat keamanan yang bertujuan meminta agar asy Syekh menghentikan penyelenggaraan sholat Ied di masjid. Mereka meminta agar sholat Ied-nya dilakukan bersama-sama di alun-alun saja. Asy Syekh pun menjawab secara diplomatis, “Sudahlah, pak. .. Bapak tidak usah mempersalahkan orang sholat. Lha wong itu itu hanya sholat sunnat saja. Tidak usah dibesar-besarkanlah.”  Dan, sejak saat itu sudah tidak ada lagi orang yang mendatangi beliau. Alhamdulillah, sampai sekarang masjid Al Munawwar tetap digunakan untuk sholat led kendati sholat led yang diselenggarakan pihak pemerintah daerah sudah sejak lama dipindah ke halaman kantor Pemkab Tulungagung.

Asy Syekh Menyikapi Perbedaan Iedul Fitri.

Pada dekade tahun 1990 dan tahun 2000 pernah beberapa kali terjadi selisih pendapat di kalangan umat Islam terkait dengan penentuan tanggal 1 Syawal. Menyikapi terjadinya perbedaan ini, waktu itu, asy Syekh menyerukan kepada murid-murid pondok PETA agar berpedoman pada keputusan PBNU. Pada era pemerintahan presiden Gus Dur, asy Syekh menyerukan agar para santri pondok PETA berpedoman pada keputusan pemerintah.

Namun, pernah asy Syekh secara pribadi tidak sejalan dengan keputusan PBNU maupun pemerintah. Beliau berkata begini, “Ketika bulan Syawal sudah tampak, maka seluruh penghuni kubur (yang mengalami azab kubur, pen.) pun menjerit sekeras
kerasnya. Kak Musa selama ini pernah mendengar suara apa Yang paling keras di dunia ini? Suara pesawat jet super sonic?" Ayahanda penulis pun mengiyakan, “Inggih, Yai.”
Asy Syekh pun melanjutlkan, “Suara yang paling keras yang pernah kita dengar di dunia ini hanyalah seujung kuku hitam kita kalau dibandingkan dengan suara jerit dan teriakan ahli kubur karena mereka akan kembali di siksa setelah libur atau istirahat selama bulan Ramadhan. Bersamaan dengan itu pula, para malaikat di ‘arsy bergemuruh melantunkan takbir, takhmid, dan tahlil (kemudian beliau menirukan pengalan kalimat takbiran hari raya). Lha, kalau sudah seperti itu lho kak Musa, apa saya masih harus berpuasa?”

Asy Syekh mengatakan bahwa hal itu hanya boleh beliau pakai sendiri secara pribadi. Bahkan, beliau tidak boleh memberitahukan hal itu kepada siapa pun termasuk keluarga beliau sendiri. Keluarga dan murid-murid beliau tetap beliau arahkan agar berpedoman kepada hasil keputusan yang diupayakan melalui hukum syariat. Lalu ayahanda penulis pun mengajukan pertanyaan ‘nakal’, “Lha terus sholat led panjenengan bagaimana, Yai?” Asy Syekh pun menjawab, “Ya sholat sendiri, kak Musa, di kamar.”

Cerita tersebut di atas disampaikan asy Syekh kepada kami pada tanggal l Syawal tahun 1425 H (2004) yang merupakan hari raya Iedul Fitri terakhir kebersamaan kami dengan asy Syele Kira-kira 55 hari kemudian asy Syekh berpulang ke haribaanNya.

Selama hampir 20 tahun berturut-turut kami (ayahanda bersama penulis dan beberapa adik) melaksanakan sholat led di TuIungagung. Setelah turun dari masjid, kami lalu bersalaman dengan asy Syekh. Setelah itu, asy Syekh selalu meminta kepada ayahanda dan penulis untuk menemani beliau di kamar beliau sambil beliau keluar-masuk kamar untuk menyalami kerabat. tetangga, dan murid-murid beliau yang datang silih berganti. Kami baru diizinkan undur diri manakala asy Syekh sudah waktunya beristirahat.