29.11.22

Dapat Kiriman Uang

  Setelah asy Syekh bercerita tentang uang beliau yang hanyut itu, perbincangan santai pun kami lanjutkan sembari merokok dan menikmati kopi panas yang disuguhkan si empunya rumah. Di saat kami sedang mengobrol itu, tiba-tiba penulis mendengar suara percakapan antara bude Fatimah dengan seorang laki-laki di luar rumah. Pada saat itu bude Fatimah sedang berbelanja kebutuhan dapur. Beliau berbelanja tidak harus keluar dari rumah tetapi cukup di teras rumah saja.

Karena jarak antara ruang tamu dan jalan di depan rumah sangat berdekatan, maka penulis pun bisa mendengar secara jelas perbincangan antara laki-laki itu dengan bude Fatimah. Laki-laki itu berkata, “Bu haji , rumah saya Gresik. Saya disuruh pak haji Fulan (penulis lupa nama pak haji yang disebutkan laki-laki itu) untuk sowan kyai Djalil di Tulungagung. Tapi saya belum tahu alamat pondoknya kyai Djalil. Saya sama pak haji Fulan disuruh tanya ke bu haji, alamatnya kyai Djalil itu mana, naik bis jurusan mana dan turunnya di mana ”

Bude Fatimah pun menjawab, “Kenapa sampeyan harus jauh jauh ke Tulungagung? Lha itu loh, Yainya di dalam. Baru saja datang belum ada sejam yang lalu...” “0 ya...? Alhamdulillah saya bisa bertemu kyai Djalil di sini,” timpal laki-laki itu. Bude Fatimah pun kemudian mempersilakan orang itu masuk ke rumah. “Assalaamu ‘alaikum ....,” sapa laki-lakl itu sambil bersalaman dengan kami.

Setelah laki-laki itu duduk, dia langsung matur kepada asy Syekh, “Begini, Yai... saya disuruh pak haji Fulan, Gresik, untuk menyampaikan salam kepada panjenengan dan menghaturkan ini.” Laki-laki itu lalu menyerahkan sebuah bungkusan kertas. Asy Syekh pun menerima bungkusan itu lalu meletakkannya di atas meja. Setelah itu, si tamu kemudian berkata “Kalau begitu saya langsung mohon pamit saja nggih, Yai...?” Asy Syekh pun mengiyakan, “O, nggih... monggo… monggo. "

Tidak beberapa lama setelah orang itu berlalu, asy Syekh sambil tersenyum berkata kepada penulis, “Ya sudah Nang, tinggalkan saja saya. Nanti agak siang kalau mau ke bandara saya cari mobil carteran saja. Besok saja, 4-5 hari lagi, kalau saya pulang dari Jakarta kamu jemput saya di Juanda. Nanti kamu saya kabari.” Penulis pun segera mohon pamit.

Pada waktu penulis menjemput asy Syekh sepulang dari Jakarta, dalam perjalanan menuju ke Tulungagung penulis menanyakan tentang siapa pak haji Fulan dari Gresik yang menitipkan ‘sesuatu’ kepada asy Syekh sewaktu di rumah bude Fatimah. Beliau pun mengatakan, “Yo embuh, Nang, aku tidak menge' nalnya, kok.”

Uang Selemari Penuh.

Kejadian yang tergolong peristiwa luar biasa ini dialami Nyai Masruroh. Pada suatu hari, setelah beberapa waktu asy Syekh berada di rumah bu Nyai, maka asy Syekh pun bersiap-siap akan kembali ke pondok PETA. Karena ketika itu bu Nyai merasa susu kaleng untuk putera beliau sedang habis, maka bu Nyai pun memberanikan diri menghampiri (Jawa, nututi) asy Syekh yang saat itu sudah berada di dalam mobil. Ketika asy Syekh masih di rumah, bu Nyai tidak berani menyampaikan hal itu.

Karena terpaksa, maka bu Nyai pun matur, “Bah, susunya anak anak sudah hampir habis, Bah.” Asy Syekh pun berkata, “Kamu ambil sendiri saja di lemari kamar. Ambil secukupnya.” Setelah berkata begitu, maka mobil asy Syekh pun kemudian berjalan. Setelah mobil hilang dari pandangan bu Nyai, maka kemudian bu Nyai masuk ke dalam rumah. Bu Nyai lalu masuk ke kamar dan langsung membuka lemari yang asy Syekh maksudkan.

Pada saat bu Nyai membuka pintu lemari, tiba-tiba bu Nyai melihat ada beberapa puluh lembar uang yang melayang dan jatuh ke lantai. Lembaran uang itu melayang karena tertarik akibat dari dibukanya pintu lemari itu. Melihat hal itu, bu Nyai menjadi agak gugup. Lebih terkejut lagi setelah melihat ternyata lemari itu berisi penuh tumpukan uang pecahan 20-ribuan yang merupakan pecahan terbesar waktu itu.

Maka, kemudian bu Nyai segera memunguti uang yang berserakan di lantai dan mengembalikan ke dalam lemari lagi. Sesuai dengan pesan asy Syekh, bu Nyai pun mengambil uang secukupnya untuk membeli susu saja. Setelah itu, lemari pun beliau tutup kembali. Pada keesokan harinya, di hati bu Nyai muncul rasa penasaran ingin melihat uang itu lagi. Beliau pun lalu membuka lemari itu lagi. Ternyata, uang-uang itu sudah tidak ada lagi.

Membelah Langit.

Asy Syekh memiliki seorang tetangga sekaligus teman akrab beliau yang bernama pak Budi Susetyo. Rumah beliau di sebelah Timur jembatan kali Jenes, Utara jalan (toko jamu Jago)  Background beliau dari keluarga Muhammadiyah. Beliau pernah diberi asy Syekh wirid ‘Yaa Badii ’u ’.

Pak Budi pemah bercerita kepada mas Wahyu bahwa pada suatu malam, beliau diajak asy Syekh duduk-duduk di pagar jembatan kali Jenes. Setelah agak lama jagongan, asy Syekh kemudian membuktikan suatu kejadian mukjizat yang pernah dilakukan Rosululloh SAW, yaitu membelah langit. Kemudian, asy Syekh mengangkat tangan ke langit, lalu dengan gerakan seperti orang membelah, maka terbelahlah langit. Langit yang semula penuh dengan bintang lalu terbelah. Separuh langit hilang bintang bintangnya, separuh lagi tetap penuh dengan bintang-bintang. Tidak berapa lama kemudian oleh asy Syekh dikembalikan seperti semula. Langit pun kembali utuh dengan bintang.

Selang beberapa hari kemudian, ketika pak Budi dan mas Wahyu bersama-sama menghadap asy Syekh, mas Wahyu bercerita tentang hal tersebut untuk mendapatkan pengesahan beliau. Ketika itu asy Syekh membenarkannya. Asy Syekh tidak membahas maksud beliau melakukan itu. Beliau hanya bermaksud mencocokkan bahwa Rosululloh SAW pernah melakukan hal itu sepeni disampaikan dalam kitab.

Pak Budi Susetyo adalah seorang PNS, pernah menjabat sebagai Kakandepag Blitar. Pasca berdinas di Blitar, beliau lalu berpindah tugas ke Kanwil Depag Jawa Timur di Surabaya. Setelah itu beliau sakit dan wafat lalu dimakamkan di TPU Sentono Serut, Kauman.

Mengendarai Mobil Dengan Mata Terpejam.

Pada suatu sore di tahun 1980-an, ketika itu sedang terjadi hujan lebat, tiba-tiba asy Syekh datang ke rumah kami dalam keadaan basah kuyup. Beliau langsung meminta sarung, kaos oblong dan baju kepada ayahanda penulis. Asy Syekh kemudian masuk ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian.

Ketika asy Syekh sedang berada di kamar mandi, datang pula pak Yono yang juga dalam keadaan basah kuyup. Pak Yono adalah sahabat asy Syekh, terutama dalam urusan merawat dan memperbaiki kendaraan-kendaraan asy Syekh, baik R2 maupun R4. Pak Yono adalah keturunan Tionghoa Jawa. Asy Syekh bersahabat karib dengan pak Yono sejak asy Syekh masih muda. Pada hari itu beliau bertindak sebagai drivernya ash Syekh. Nah, ketika menunggu giliran masuk kamar mandi itulah pak Yono sempat bercerita pengalaman luar biasa yang baru saja beliau alami bersama asy Syekh. Sambil gelenggeleng kepala, pak Yono berkata kepada ayahanda, “Wah, mau (tadi) Yaine demonstrasi, kak Musa.” “Loh, demonstrasi piye (bagaimana), pak Yono?” tanya ayahanda. “Begini, kak Musa ....,” pak Yono kemudian mulai bercerita.

“Tadi saya kan mengantar Yai ke Malang, ke rumah temannya Yai, seorang juragan pabrik rokok. Nah, pas pulangnya tadi, setelah melewati pabrik gula Kebonagung turun hujan yang sangat deras. Ketika itu, tidak ada masalah apa-apa, mobil beljalan normal. Persoalan baru muncul setelah itu. Kipas kaca (wiper) tiba-tiba tidak berfungsi. Sebelumnya, saya tahu kalau wiper itu memang ada gangguan. Ada satu komponen yang seharusnya diganti, tapi sampai hari ini masih belum sempat mengganti. Dan, sekarang wiper itu mati total. Sampai beberapa kilometer ke depan masih bisa saya atasi. Dengan berjalan perlahan-lahan dan mata yang melotot memperhatikan jalan, mobil itu masih tetap bisa melaju.”

"Tapi.. lanjut pak Yono, “Setelah itu masalah besar terjadi. Pandangan ke depan tidak kelihatan sama sekali. Kaca mobil semakin mengembun. Akhirnya, sampai di daerah Pakisaji saya harus menepikan dan menghentikan mobil*).
mobil Alfa Romeo Alfasud. buatan Italy.

Saya bilang ke Yai kalau perjalanan terpaksa tidak bisa diteruskan karena saya tidak bisa melihatj alan sama sekali. Tapi, apa kata Yai?”

“Pak Yono, dari pada melihat ke depan tidak kelihatan sama sekali, sampeyan pejamkan mata (merem) saja sekalian.” "Merem, Yai?” tanya saya penuh keheranan. “Yo, meremo ae (Ya pejamkan matamu saja). Kemudikan mobil dengan mengikuti kata hatimu. Ayo jalan...,” begitu perintah beliau.

“Mata saya pun kemudian saya pejamkan. Saya mulai mengemudikan mobil dengan mengikuti kata hati saya. Jadi, kedua tangan yang memegang kemudi, menaik turunkan perseneleng memencet klakson, dan mengatur tuas lampu sein, serta kaki kanan yang bertugas menginjak pedal gas dan pedal rem dan kaki kiri yang bertugas menginjak pedal kopling, semuanya saya kendalikan menurut kata hati saya.”

Jadi, perjalanan antara Pakis aji kota Blitar yang berjarak sekitar 50 km, sebagian kondisi jalannya yang berkelok-kelok (terutama di sekitar Lahor, Karangkates), dan dalam keadaan hujan yang sangat lebat, dikemudikan pak Yono dalam kondisi mata terpejam sampai akhirnya berhenti di sebuah gang antara gedung Dipayana (Doho) dan Lembaga Pemasyarakatan Blitar dalam keadaan selamat. Ayahanda penulis pun lalu berkata, “Kalau begitu, kapan-kapan sopiri saya dengan mata terpejam ya, pak Yono?” “Lho, kalau saya tidak didampingi Yai-ne, saya ya gak berani lho, kak Musa. Lha, bagaimana, wong yang nyetir (mengendalikan) hati saya ya Yaine, ha... ha... ha…”

Terkait dengan pak Yono, ayahanda memiliki pengalaman tersendiri. Pada sekitar tahun 1990, pak Yono mengalami sakit. Ketika itu asy Syekh memerintahkan agar beliau dirawat di RS Budi Rahayu, Blitar. Sebelum pak Yono masuk rumah sakit, asy Syekh sudah memberitahu ayahanda terlebih dahulu. Setelah beberapa hari dirawat, pada saat ayahanda menjenguk beliau ternyata pak Yono dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tidak berapa lama kemudian, masih di hadapan ayahanda, ternyata pak Yono meninggal dunia. Ketika menunggu diperbolehkannya jenazah dibawa pulang, ayahanda mendapati jasad pak Yono kelihatan putih bersih dan mengeluarkan bau harum kayu gaharu.