Perjalanan Semalam Bersama Asy-Syeikh
Pada suatu hari penulis diminta asy Syekh untuk mengantarkan beliau ke bandara Juanda, Sidoarjo. Beliau meminta penulis agar menjemput beliau di rumah mertua beliau di desa Maron, kecamatan Srengat, Blitar (sekitar 20 kilometer dari tempat tinggal penulis yang berada di Kota Blitar) ba'da Isya’. Maka, penulis pun datang ke rumah mertua beliau pada pukul 20.00 WIB dengan mengendarai mobil Chevrolet pick up.
Sekilas cerita tentang Sunan Kalijaga.
Pada sekitar pukul 22.00 asy Syekh pun mengajak berangkat. Dalam perjalanan menuju kota Blitar itu lah asy Syekh sempat bercerita tentang Sunan Kalijaga. Beliau menceritakan bahwa pada saat Sunan Kalijaga masih muda, yang kala itu masih bernama Raden Mas Sahid, merampok (Jawa, mbegal) Sunan Bonang di suatu hutan, RM Sahid meminta kepada Sunan Bonang agar diberi uang atau perhiasan emas. Ketika Sunan Bonang mendengar RM Sahid meminta emas, maka Sunan Bonang pun menuding buah kolang-kaling yang masih berada di pohonnya seraya mengucapkan, “Lha kae lho emas. .. ” (Lha itu loh emas). Asy Syekh mengatakan begini, “Karena saking yakinnya Sunan Bonang (kepada Alloh SWT) serta bersamaan dengan kehendak Alloh SWT, maka buah kolang-kaling yang dituding Sunan Bonang itu pun seketika berubah menjadi emas.”
Setelah itu, maka RM Sahid pun lalu memanjat pohon kolang kaling itu untuk melihat dari dekat apakah buah kolang-kaling itu benar-benar telah berubah menjadi emas. Dan, pada kenyataannya, buah kolang-kaling itu benar-benar telah berubah menjadi emas. Sementara itu, Sunan Bonang telah berjalan meninggalkan RM Sahid yang tengah terbengong-bengong menyaksikan keajaiban itu. Setelah RM Sahid turun dari pohon dan mengetahui kalau Sunan Bonang sudah tidak berada di situ lagi maka RM Sahid pun lalu mencari keberadaan Sunan Bonang Tujuan RM Sahid mencari Sunan Bonang adalah agar Sunan Bonang mau mengajarinya “menyulap” buah kolang-kaling menjadi emas. Maka, dikejarlah Sunan Bonang yang pada saat itu sudah berada cukup jauh meninggalkan RM Sahid. Setelah terkejar, maka RM Sahid pun langsung menyampaikan keinginannya kepada Sunan Bonang agar diterima sebagai murid dan diajari cara “menyulap” buah kolang-kaling menjadi emas.
Singkat cerita, RM Sahid oleh Sunan Bonang disuruh membaca aurod yang berbunyi, "Yaa Khan-naan yaa Man-naan yaa Rokh-maan yaa Khay-yu yaa Qoy-yuum.
Selain itu, RM Sahid juga diberi biji buah asam (Jawa,klungsu) sebanyak 5 butir. Biji buah asam itu dimaksudkan sebagai tasbih untuk mengiringi pembacaan lima asma Alloh tersebut. Sunan Bonang juga menunjuk dan menentukan tempat RM Sahid mengamalkan aurod itu. Tempat itu terletak di sebuah pohot1 yang cukup besar di mana salah satu cabangnya menjulur di atas sebuah sungai. Selanjutnya, Sunan Bonang berpesan kepada RM Sahid agar terus menerus membaca aurod tersebut dan tidak boleh berpindah sampai beliau datang kembali ke tempat tersebut.
Setelah Sunan Bonang menyampaikan beberapa pesan dan nasehat kepada RM Sahid, maka Sunan Bonang pun kemudian meninggalkan tempat itu. Seperginya sang guru, RM Sahid lalu mengambil tempat sebagaimana arahan Sunan Bonang. Maka, mulailah RM Sahid membaca Wirid yang baru diijazahkan Sunan Bonang itu dengan mempergunakan biji asam sebagai butiran tasbihnya.
Dalam perkembangan berikutnya, ndilalah kunjungan Sunan Bonang ke Demak itu dalam waktu yang cukup lama. Dikisahkan bahwa Sunan Bonang lupa kalau beliau meninggalkan murid beliau di tengah hutan sendirian. Terkait dengan hal ini, asy Syekh mengatakan, “Meskipun Sunan Bonang lupa, tapi lupanya seorang Walinya Alloh, jadi ya tetap barokah manfaat.”Asy Syekh tidak mengatakan berapa lama Sunan Bonang berada di Demak. Namun, setelah Sunan Bonang teringat kalau beliau meninggalkan seorang murid beliau di tengah hutan, maka beliau pun segera meninggalkan kota Demak.
Sementara itu, 40 hari menjelang kedatangan sang guru, ndiIalah salah satu biji dari lima biji buah asam pemberian Sunan Bonang yang dipergunakan sebagai tasbih itu jatuh masuk ke dalam sungai. Kata asy Syekh, “Karena saking taatnya kepada gurunya dan saking takutnya kepada Alloh Ta’ala, maka seketika biji buah asam itu jatuh ke sungai, seketika itu pula RM Sahid langsung terjun ke dalam sungai.
Karena sudah terbiasa dan dalam waktu yang cukup lama tiada henti-hentinya membaca wirid itu, maka ketika RM Sahid menyelam di dalam air beliau tetap terus menerus membaca asma’-asma’ Alloh itu sampai- sampai RM Sahid tidak terasa berada di dalam air itu sudah selama 40 hari 40 malam. Setelah ditemukannya biji asam itu lalu RM Sahid kembali timbul ke permukaan sungai. Bertepatan dengan timbulnya RM Sahid ke permukaan, pada saat itu pula Sunan Bonang sudah berada di tepi sungai itu.”
Setelah sepasang guru-murid itu bertemu kembali, singkat cerita maka kemudian Sunan Bonang memberikan julukan SUNAN KALIJAGA kepada RM Sahid.
Oleh karena itu, dalam khushushiyyah di Pondok PETA sejak zaman Syekh Mustaqim, setiap hadiyah Fatikhah yang ditujukan kepada Wali Sanga*)
setelah membaca Fatikhah lalu ditambahkan Surat al Ikhlash 3x, al Falaq 1x, an Naas 1x, ayat Kursyi lx, lalu membaca
"Yaa Khan-naan yaa Man-naan yaa Rokh-maan yaa khayyu yaa Qoyyuum 41/70/100 kali.
Selain dari pada itu, ada satu hikmah yang bisa kita ambil dari kisah tersebut di atas sebagai pelajaran bagi murid-murid thoriqoh terhadap guru mursyidnya, yaitu bahwa ketaatan dan rasa memuliakan (tasliman wa ta ’dhiman) seorang murid thoriqoh kepada mursyidnya haruslah didasari ketaqwaan kepada Alloh SWT (taqwalloh).
Uang yang hanyut terbawa aliran sungai.
Tidak berapa lama kemudian perjalanan kami pun sampai di rumah keluarga ayahanda penulis yang terletak di belakang gedung Dipayana, Kota Blitar. Ketika kami masuk rumah, pada malam itu seisi rumah, termasuk ayah-bunda penulis, sudah tidur semua. Asy Syekh berkehendak istirahat di kamar penulis. Sementara itu, penulis lalu menjemput Sopir keluarga kami dl rumahnya yang hanya berjarak l kilometer.
Kira-kira pukul 2.30 dini hari, berangkatlah kami ke Surabaya melalui kota Malang. Pada saat sampai di pertigaan pasar Purwosari, asy Syekh bertanya, “Jalan ini kalau lurus arah ke Pasuruan ya?” Penulis pun menjawab, “Inggih, Yai.” Beliau lalu berkata, “Kyai Hamid itu sudah sepuh.” Penulis pun lalu mengajukan pertanyaan, “Kyai Hamid itu apa wali, Yai? Beliau pun memberikan jawaban yang tidak penulis duga sama sekali, perkara kyai Hamid itu wali atau bukan, itu bukan urusan kita. ltu urusan kyai Hamid dengan Alloh Ta’ala. Yang jelas kyai Hamid itu orang yang sholih. Justru yang lebih penting, kita bisa apa tidak meneladani kesholihan beliau.” Penulis pun hanya terdiam seribu bahasa (dalam hati penulis, “Rasain luh.… ”, he he he… ).
Memang setelah itu, kira-kira 2 minggu kemudian, dari pemberitaan media massa, penulis mendapatkan berita kalau mbah kyai Hamid, rokhimahulloh, meninggal dunia. Beliau wafat pada tanggal 25 Desember 1982.
Tidak seberapa jauh dari pertigaan pasar Purwosari, asy Syekh minta agar dicarikan musholla atau masjid untuk menjalankan sholat Subuh. Selang beberapa menit kemudian, si driver melihat di kiri jalan ada sebuah surau kecil yang terletak di tepi jalan di sebuah area persawahan. Lokasi surau itu agak menjorok ke bawah dari permukaan jalan raya. Si driver pun kemudian menepikan kendaraannya.
Begitu mobil berhenti, asy Syekh langsung turun dari mobil lalu melangkahkan kaki beliau dengan agak cepat menuju ke surau. Penulis pun segera menyusul beliau dengan harapan bisa bermakmum dengan beliau. Namun, ketika penulis sampai di bawah, ternyata asy Syekh sudah selesai berwudlu. Ternyata, tempat wudlu surau itu berupa sungai kecil yang airnya cukup deras.
Seusai berwudlu, asy Syekh tampak dengan langkah yang cukup cepat masuk ke dalam surau. Penulis pun segera berwudlu. Harapan penulis masih tetap, ingin bermakmum kepada asy Syekh. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, ketika penulis akan memasuki surau, ternyata asy Syekh telah selesai sholat dan berpapasan dengan penulis di pintu surau. Ketika keluar dari surau itu tampak beliau setengah agak berlari.
Setelah penulis selesai sholat, maka penulis pun segera kembali ke mobil. Tampak asy Syekh sudah menunggu di samping pintu mobil. Lalu, perjalanan pun kami lanjutkan. Sesampai di kota Sidoarjo, beliau mengajak kami untuk sarapan dulu. Ketika sampai di Selatan alun-alun Sidoarjo (jalan satu arah), asy Syekh mengajak berhenti di penjual nasi pecel di tepi jalan (kaki lima) yang pembelinya lumayan banyak. Maka, jadilah kami ikut-ikutan antre dengan pembeli lainnya.
Setelah selesai sarapan, maka perjalanan pun kami lanjutkan. Ketika akan sampai di pertigaan arah bandara Juanda, asy Syekh minta agar perjalanan dialihkan menuju ke arah kota Surabaya saja. “Ke Keputran saja, Nang,” begitu kata asy Syekh. Beliau berkehendak untuk ke rumah kakak beliau yaitu ibu Hj. Anni Siti Fatimah yang terletak di gang di Jln. Pasar Keputran Kecil.
Sesampai di rumah Bude F atimah, asy Syekh mengajak penulis masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu yang agak sempit itu asy Syekh hanya berdua dengan penulis. Kira-kira 15 menit kemudian, asy Syekh bertanya kepada penulis, “Kamu bawa uang, Nang?”. “Bawa, Yai. . .,” jawab penulis sambil mengeluarkan seluruh uang yang ada di saku penulis. Setelah dihitung, uang yang ada semuanya berjumlah sekitar Rp. 26.000,Sambi| tersenyum, asy Syekh lalu berkata, “Ya sudah kalau begitu. Masukkan kembali uang itu ke sakumu.”
Memang waktu itu penulis hanya membawa uang sebatas hanya cukup untuk membeli BBM (solar) dan buat makan di perjalanan saja. Pada waktu itu penulis selain menunaikan perintah untuk mengantar asy Syekh ke bandara, penulis juga bermaksud untuk ‘kulakan’ buku-buku pelajaran di Surabaya (kata orang, sambil menyelam minum air; hehehe....). Sesual dengan tradisi di keluarga kami, kulakan buku-buku itu selalu dibayar dengan cheque mundur. Jadi, selama itu pula, kala kami kulakan di Surabaya kami tidak pernah membawa uang dalam tunai jumlah banyak.
Kenapa asy Syekh bertanya kepada penulis, membawa uang atau tidak, ternyata beliau saat itu tengah menghadapi "problem besar "Asy Syekh bercerita bahwa tadi Subuh sewaktu beliau berwudlu di sungai dekat surau, uang yang sedianya untuk membeli tiket pesawat yang beliau kantongi di saku baju jatuh ke sungai. Ketika itu beliau membawa uang sebanyak Rp. 100.000,(pada saat itu harga tiket pesawat Garuda jurusan Surabaya Jakarta seharga Rp 90.000,. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa setelah berwudlu kemudian beliau cepat cepat menjalankan sholat Subuh. Asy Syekh bermaksud untuk segera mengejar uang beliau yang hanyut terbawa aliran sungai setelah menjalankan sholat Subuh. Padahal, secara logika, hal itu jelas tidak mungkin terkejar karena aliran sungai itu lumayan deras.
*) Pada zaman Mbah Kyai Mustaqim, hadiyah Fatikhah kepada Wali Sanga kala itu disebut dengan istilah “Jamii'il auliyaa-i tis'ati fii Indonesia...