Dawuh-Dawuh Dan Aneka Cerita Singkat Syekh Mustaqim
- "Dadi wong thoriqot kuwi kudu sregep ngethoki kuku " (Menjadi orang thoriqot itu harus rajin memotong kuku). Maksudnya, kurang lebih, bahwa seorang murid atau salik harus selalu berusaha mengikis habis sifat egoisme, ananiyah, atau keakuan: anakku, sawahku, jabatanku, hartaku, harga diriku, ilmuku, ibadahku, amalku, dan ku-ku-ku-ku yang lainnya. Sifat egoisme atau ananiyah itu berwatak dinamis seperti layaknya kuku. Setiap saat dipangkas, setiap saat pula tumbuh lagi. Begitu seterusnya. Semua “ku" itu harus dipotong, dibuang, dan ditenggelamkan ke dalam fana' billah. Pendek kata, "Sesungguhnya sholatku dan ibadahku dan hidupku dan matiku hanyalah karena Alloh Tuhan sekalian alam."
- "Ngelmu Kauman kuwi ojo pisan-pisan diniati ngge kanuragan " (Ilmu Pondok PETA itu jangan sekali-kali diniatkan untuk tujuan kesaktian).
- "Wirid sing diijazahne gurumu sepisanan usahakno ojo sampek kok tinggal. '(Wirid yang ijazahkan gurumu pertama kali usahakan jangan sampai ditinggal).
- Dadi wong thoriqot kuwi sing abot lek diuji iso mukasyafah karo mandi dongane. "(Jadi orang thoriqot itu yang berat kalau diuji (oleh Alloh SWT) bisa mukasyafah (terbuka mata batinnya sehingga bisa mengetahui hal hal yang gaib dan mustajab doanya).
- "Sakjane, sing apik, wong nglakoni thoriqot kuwi wiwit isih enom. " (Sebenarnya, yang baik, orang menjalani thoriqot itu sejak masih muda).
- Syekh Mustaqim pernah memberikan penilaian terhadap salah seorang murid beliau yang memiliki banyak kelebihan. Penilaian itu beliau sampaikan kepada Syekh Abdul Djalil, "Si Fulan itu meskipun hebat seperti itu, tapi dia adalah muridku yang paling rendah derajatnya."
- Syekh Mustaqim memiliki murid yang berasal dari negara Pakistan. Beliau, pada waktu mengikuti sholat jamaah selalu memilih tempat atau shof paling depan. Apabila tiba saatnya beliau menjalani wirid, dahi dan hidung beliau yang mancung itu selalu ditempelkan di dinding musholla. Hal ini, kata Syekh Abdul Djalil, beliau maksudkan agar selama beliau menjalani wirid, jangan sampai ada seorang pun yang melintas di depan beliau.
- Pada sekitar tahun 1945, di suatu desa di kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, hidup seorang kyai yang terkenal akan kemaqbulan doanya. Pada zaman Belanda, beliau, sebut saja dengan nama Kyai Ahmad, terkenal sebagai orang yang tegas dan pemberani. Bahkan, kalau beliau mengetahui Bupati maupun pejabat Belanda mempunyai kebijakan yang merugikan rakyat, beliau pasti akan mendatangi dan melabraknya. Beliau juga memiliki kebun dan kolam ikan yang tidak seorang pun berani mengusiknya.
Pada suatu ketika, Kyai Ahmad mengalami sakit. Penyakit yang beliau derita tidak jelas nama dan jenisnya. Berbagai upaya penyembuhan sudah dilakukan oleh keluarga beliau. Namun, sejauh itu upaya maksimal yang ditempuh belum menampakkan hasil sama sekali. Akhirnya didatangkanlah Syekh Mustaqim ke rumah Kyai Ahmad di kecamatan Kanigoro, Blitar.
Ketika beliau sampai di rumah Kyai Ahmad, kebetulah Kyai Ahmad pada saat itu sedang tidur siang. Sedangkan, keluarga Kyai Ahmad tidak ada yang berani membangunkannya. Maka, beliau pun terpaksa menunggu sampai Kyai Ahmad bangun. Beliau dipersilakan untuk menunggu di dalam masjid yang terletak di halaman rumah Kyai Ahmad.
Setelah Kyai Ahmad bangun, maka beliau pun dipersilakan untuk masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Kyai Ahmad. Setelah sejenak beliau berdua berbincang-bincang, maka kemudian Kyai Ahmad mengemukakan keluhan penyakit yang dideritanya kepada beliau.
Setelah selesai Kyai Ahmad berbicara, maka kemudian ganti beliau yang berbicara, "Nuwun sewu, Yai. Sebenarnya sakit yang panjenengan derita itu bukan karena apa-apa. Sakit itu karena panjenengan buat sendiri."
"Lho, kok bisa begitu, Yai?" tanya Kyai Ahmad penasaran.
"Iya, Yai. Itu karena panjenengan pada waktu di Mekah sekian tahun yang lalu, pada hari X, tanggal sekian, bertempat di rumah Syekh Fulan, panjenengan berhadap-hadapan dengan Syekh Fulan. Panjenengan menghadap ke Utara, Syekh Fulan menghadap ke Selatan. Pada waktu itu, panjenengan melakukan ijab-qobul, serah-terima ijazah khizib Z dari Syekh Fulan. Tapi, sayang seribu kali sayang, selama beberapa tahun belakangan ini khizib itu tidak pernah panjenengan openi (rawat) lagi. Khizib itu sudah lama tidak panjenengan amalkan." Pada saat Syekh Mustaqim menyampaikan hal itu, tampak Kyai Ahmad menyimaknya dengan serius sambil terbengong-bengong. Begitu beliau mengakhiri keterangan tentang penyebab sakit yang diderita Kyai Ahmad, sontak Kyai Ahmad merangkul lutut beliau sambil menangis sejadi-jadinya. Kyai Ahmad mengatakan kepada beliau, "Iya, Yai. Apa yang panjenengan katakan itu benar.
Saya khilaf, Yai.
Yaa Allah..,
Yaa Kariim ... ,
astaghfirulloohal ‘adhiim...
Setelah suasana agak reda, maka kemudian Kyai Ahmad mengatakan kepada beliau, "Karena yang bisa menyembuhkan penyakit saya adalah panjenengan, maka saya mohon agar panjenengan berkenan menerima saya sebagai murid panjenengan, Yai. " Singkat cerita, kemudian beliau memberikan ijazah aurod khizib Kafi kepada Kyai Ahmad.
Selanjutnya, beliau bercerita bahwa tadi, sewaktu beliau beristirahat di serambi masjid, beliau sempat tertidur sebentar dan bermimpi. Dalam mimpi itu, beliau merasa didatangi khodam khizib Z milik Kyai Ahmad. Khodam itu memakai surban dan beijubah hijau. Khodam khizib Z itu 'curhat' kepada beliau tentang "perlakuan Kyai Ahmad yang sudah tidak peduli lagi terhadap dirinya. Khodam khizib Z itu merasa telah disia siakan Kyai Ahmad.