Sikap Murid-murid Syekh Mustaqim Terhadap Gurunya
Bisa dikatakan, bahwa rata-rata sikap murid Syekh Mustaqim menaruh rasa tasliman wa takriiman, wa ta'dhiiman yang tinggi terhadap guru mereka. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan prilaku mereka ketika berbicara dan duduk bersama dengan Syekh Mustaqim.
Apabila suatu ketika mereka sedang berbincang-bincang (Jawa, jagongan) dengan Syekh Mustaqim, kebanyakan dari mereka duduk dengan sikap yang ta'dhim, sopan, dan menundukkan kepala. Mereka tidak pernah sekali pun berani beradu pandang atau bertatapan mata dengan beliau.
Bahkan, ada pula murid beliau yang ketika duduk bersama dengan beliau, posisinya tidak pernah mau menghadap lurus ke arah beliau. Posisinya selalu menyerong ke kanan atau ke kiri. Hal tersebut pernah penulis amati dari sikap duduk Mbah Sukri, Waung, Boyolangu, salah satu murid Syekh Mustaqim, ketika beliau duduk bersama dengan Syekh Abdul Djalil.
Demikian pula, ketika duduk bersama dengan beliau, mereka terlihat tidak pernah berani duduk bersandar, baik di sandaran kursi maupun bersanda, pada dinding atau tembok. Bahkan, setelah Syekh Mustaqim wafat pun ada pula murid-murid beliau yang ketika berada di rumah, terlebih lagi ketika berada di Pondok PETA, mereka tidak pernah berani mengarahkan kakinya tertuju ke arah makam beliau, baik pada waktu duduk selonjor maupun pada saat berbaring. Hal yang sama mereka lakukan ketika mereka sedang buang air kecil maupun BAB. Mereka tidak pernah berani menghadap maupun membelakangi makam guru mereka.
Tiada satu pun di antara mereka yang berani menyela, memotong, atau menyanggah apa yang beliau dawuhkan. Mereka hanya sami'na wa atho'na (saya dengar dan saya taati). Dalam berbicara atau tertawa, volume suara mereka pun tidak pernah berani lebih keras dari volume suara Syekh Mustaqim.
Berikut ini beberapa contoh nyata kepasrahan, ketaatan, dan penghormatan murid-murid Syekh Mustaqim terhadap guru mereka:
DI TINGGAL TIDUR.
Pernah pada suatu ketika, saat beliau mengimami khususiyah ketika bacaan masih sampai hadiyah-hadiyah Fatehah." Ila khadlroti... Faatikhah..., " setelah itu tiba-tiba beliau merebahkan diri 'di sajadah pengimaman dengan berbantalkan tangan dengan posisi tidur miring dan kaki ditekuk. Tidak beberapa lama kemudian terdengarlah suara dekuran beliau.
Mengetahui hal yang demikian, murid-murid beliau yang saat itu bermakmum kepada beliau, tidak seorang pun yang berani beranjak atau berpin' dah tempat maupun mengubah posisi duduknya. Mereka tetap duduk bersila dan tetap membaca surat Al Fatikhah sebagai 'aba-aba' terakhir yang mereka dengar dari lisan beliau sebelum beliau 'tertidur'. Dan, ndilalah beliau baru 'bangun' pada pukul 21.30. Jadi, praktis mereka hanya membaca Fatikhah saja selama 3 jam lebih. Setelah beliau 'terbangun', beliau langsung duduk bersila menghadap ke kiblat lalu meneruskan hadiyah-hadiyah Fatikhah selanjutnya.
LANGSUNG MASUK ASRAMA.
Pada suatu sore ba'da Ashar, salah satu murid utama beliau yang bernama mbah H. Husin Hamid sowan kepada beliau. Sebelum berangkat, Mbah H. Husin berpamitan kepada isteri beliau dengan mengatakan bahwa beliau akan kepada Syekh Mustaqim dan akan pulang setelah sholat maghrib di musholla pondok. Kebetulan rumah Mbah H. Husin di kel. Kampungdalem dengan Pondok Kauman hanya berjarak kira-kira 500 meter.
Setelah beberapa saat Mbah H. Husin berbincang-bincang dengan Syekh Mustaqim pada saat menjelang Maghrib, Syekh Mustaqim berkata kepada Mbah H. Husin. "Ji, sampeyan mbok suluk "Tanpa bertanya suluknya mulai kapan, berapa bari, mengamalkan aurod apa, atau mau pamitan kepada keluarga dulu, mau menyelesaikan urusan dulu, mau mengambil pakaian dulu, dan lain sebagainya, Mbah H. Husin langsung menjawab, ”Inggih, Yai“ Ternyata, setelah keluar dari ruangan Syekh Mustaqim, Mbah H. Husin langsung masuk 'asrama'. Pada waktu itu, kata 'asrama' sering juga dipakai sebagai pengganti kata 'suluk'.
Sementara itu, sampai pada pukul 20.00, isteri Mbah H. Husin tampak gelisah menunggu kedatangan suami beliau. Karena, pada waktu berangkat tadi sore Mbah H. Husin mengatakan akan pulang setelah sholat Maghrib di pondok. Sedangkan, pada saat itu beliau sudah menyiapkan makan malam. Akhirnya, beliau menyuruh salah satu putera beliau untuk menyusul ayahandanya ke Pondok Kauman. Setelah putera beliau itu bertemu ayahandanya, baru tahulah bahwa Mbah H. Husin tidak pulang itu karena beliau langsung menjalankan suluk perintah guru beliau, Syekh Mustaqim.
PUASA ASYFA' 3 TAHUN.
Pernah pula, pada suatu ketika murid Syekh Mustaqim yang bernama Mbah Deri menghadap sang guru dengan tujuan untuk meminta doa restu sehubungan dengan kepergian beliau ke Sumatera. Setelah cukup lama beliau berdua berbincang-bincang, Mbah Deri lalu memohon diri. Ketika beliau berdua bersalaman, Syekh Mustaqim berkata, "Ri, kamu mbok puasa Asyfa ', to. " Mbah Deri menjawab, "Inggih, Yai, pangestunipun " (Ya, Yai, mohon doa restunya).
Tanpa ba-bi-bu, pada keesokan harinya Mbah Deri langsung menjalankan perintah guru beliau tersebut. Setelah itu, selang beberapa hari kemudian, Mbah Deri lalu pergi ke Sumatera selama 3 tahun. Sepulang dari Sumatera, Mbah Deri lalu sowan kepada Syekh Mustaqim. Ketika sowan itu, Mbah Deri disuguhi minuman. Pada saat Mbah Deri dipersilakan minum oleh Syekh Mustaqim, beliau berkata, "Mohon maaf, Yai, saya masih ada ‘.perlu' " Maksud kata "perlu adalah 'sedang berpuasa'. Syekh Mustaqim bertanya, "Sedang puasa apa, Ri?" Dijawab oleh Mbah Deri, " Puasa Asyfa' Yai, yang panjenengan perintahkan 3 tahun yang lalu, sebelum saya berangkat ke Sumatera."