Hijrahnya Mbah Abdul Jalil Ke Tulungagung
Manaqib Syekh Mustaqim bin Muhammad Husein sebagai pendiri Pondok PETA, Tulungagung, tentu tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa hijrahnya kakek beliau yang bernama Mbah Kyai Rd. Abdul Jalil bin asy Syekh Rd. Muhammad Arifan/Rd. Abdul Ghofur/ Rd. Mas Ajeng Sumaranten/Eyang Arifan bin Rd. Dalem Jaksa Malangbong dari tanah Sunda ke Jawa Timur pada sekitar tahun 1870. Mbah Abdul Jalil ketika itu berhijrah dari Jawa Barat ke Jawa Timur selain memiliki tujuan untuk mencari beberapa saudara dan pendahulu beliau yang sebelumnya juga sudah berhijrah ke Jawa Timur, juga untuk memenuhi tradisi di lingkungan para pencari ilmu di zaman itu.
Pada zaman Wali Songo, peta keilmuan para santri seakan-akan terbelah menjadi dua sentral keilmuan. Jawa Timur, khususnya Surabaya dan Gresik, dinilai sebagai pusat ilmu syariat. Hal ini tampak dari ramainya para santri yang menuntut ilmu syariat di pondok pesantren yang didirikan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Sunan Bonang.
Sementara itu, di Jawa Barat para santri banyak yang berguru ilmu Hikmah kepada Prabu Haryang Kancana (putera Mbah Panjalu) di Nusa Gede, situ Panjalu. Selain itu, tidak sedikit pula santri-santri yang berguru ilmu Hikmah kepada Sunan Gunung Jati. Meskipun Sunan Gunung Jati sebenarnya juga mengajarkan ilmu-ilmu syariat juga.
Sedangkan, pada saat itu muncul sebuah paradigma bahwa seorang santri yang sudah alim dalam ilmu syariat dirasa belum sempurna ilmunya apabila belum mengaji ilmu Hikmah. Demikian pula sebaliknya, seorang santri yang sudah menguasai ilmu Hikmah sehingga ia menjadi orang yang sakti mandraguna dinilai masih jauh dari sempurna manakala ia belum mengaji tentang ilmu syariat, hakekat, dan ma'rifat.
Jadi, para santri itu memiliki prinsip alim saja tapi kalau tidak digdaya maka mereka akan menjadi bulan-bulanan dan dianggap remeh oleh orang orang 'jahiliyah' yang pada waktu itu masih banyak yang memiliki ilmu kanuragan dan ilmu sihir. Demikian pula, para santri yang sudah menguasai ilmu Hikmah tapi masih awam dalam ilmu agama, mereka merasa tidak akan berguna ilmunya di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itulah kemudian banyak santri-santri dari Jawa Timur yang notabene sudah matang dalam hal ilmu syariatnya kemudian hijrah atau mengembara ke Jawa Barat demi untuk menuntut ilmu Hikmah. Demikian pula sebaliknya, santri-santri dari Jawa Barat yang merasa sudah cukup dalam mengaji ilmu Hikmah kemudian mereka hijrah atau mengembara ke Jawa Timur demi untuk mengaji ilmu-ilmu syariat.
Hal ini pulalah yang dialami Mbah Abdul Jalil bin Muhammad Arifan yang berasal dari Malangbong, Garut, Jawa Barat. Beliau adalah seorang yang memiliki ilmu kadigdayaan tingkat tinggi. Ayahanda beliau, asy Syekh Mbah Kyai Rd. Muhammad Arifan adalah seorang ulama besar pada zamannya yang terkenal dikaruniai Alloh SWT berbagai karomah khoriqul 'adah yang luar biasa. Beliau merupakan keturunan Raja Sumedang Larang*). *) Raja-raja Sumedang Larang dan Raja-raja Pakuan adalah juga keturunan Mbah Penjalu, karena kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari Kerajaan Saka Galuh Panjalu.
Alkisah, beliau pernah terlihat sedang melakukan sholat di atas pohon pisang. Bahkan, sampai beliau sudah wafat pun ke-khoriqul 'adahan beliau masih tetap nampak.
Makam Mbah Arifan dan Mbah Nyai Andewi di TPU Malaka, desa Cempaka, kecamatan Malangbong memiliki bentuk yang unik. Sepasang nisan di makam beliau berdua, antara nisan yang satu dan satunya, hanya berjarak kira-kira 30 cm. saja. Setiap saat sepasang nisan itu 'dibetulkan' letaknya, sebagaimana nisan-nisan orang dewasa pada umumnya yang berjarak sekitar 130 cm., pada keesokan harinya sepasang nisan itu 'kembali merapat' seperti semula.
Tidak itu saja, ibunda beliau, Mbah Nyai Rd. Siti Andewi atau Nyi Mas Ajeng Sumaranten (isteri Mbah Arifan) semasa hidupnya beliau terkenal sebagai seorang pendekar perempuan yang ulung dan sakti mandraguna. Beliau mampu memperagakan jurus-jurus silat beliau dengan telapak kaki beliau bertumpu pada ujung tombak dan bambu runcing.
Namun, meskipun begitu, Mbah Jalil merasa bahwa beliau masih perlu untuk menyempurnakan ilmunya dengan mengaji ilmu syariat di Jawa Timur. Di samping itu, beliau juga memiliki tujuan mencari kerabat beliau yang sudah terlebih dahulu mengembara, bahkan kemudian bermukim di beberapa daerah di Jawa Timur.
Leluhur beliau sudah ada yang berhijrah ke daerah Jawa Timur sejak abad 18. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam kakak dari ibunda beliau (Mbah Nyai Andewi) yang bernama Mbah Kyai Mas Noor Shiyam bin Muhammad Mujahidin yang terletak di dusun Calonan, desa Purwodadi, kecamatan Kras, kabupaten Kediri. Maka, pada sekitar tahun 1870, dengan tekad yang sudah bulat, beliau berangkat ke Jawa Timur dengan meninggalkan seorang isteri yang berasal dari Cicalengka, Bandung, dan seorang anak laki-laki yang masih kecil bernama Muhammad Husein.
Di Jawa Timur beliau langsung menuju ke dusun Cari, desa Banjarsari, kecamatan Ngantru, kabupaten Tulungagung. Di situ, selama beberapa tahun, beliau berguru kepada seorang kyai yang sholih dan 'allamah yang bernama Mbah Kyai Hasan Ilyas yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Bahkan, pada akhirnya Mbah Kyai Abdul Jalil kemudian dinikahkan dengan puteri guru beliau sendiri yang bernama Mbah Nyai Adenah binti Mbah Kyai Hasan Ilyas. Mbah Nyai Adenah di masa hidupnya juga terkenal akan kealiman dan kesholikhahannya. Dari perkawinan dengan Mbah Nyai Adenah, beliau dikaruniai 7 orang anak yang masing - masing bernama :
- Mbah Rofl'ah,
- Mbah Maryamah,
- Mbah Kyai Muhammad Soleh
- Mbah Sindip,
- Mbah Surip,
- MbahAsfiyah, dan
- Mbah Habib.
Sekitar tahun 1890, putera pertama Mbah Jalil yang bernama Mbah Kyai Rd. Muhammad Husein yang ketika masih kecil beliau tinggal bersama ibundanya di Garut, Jawa Barat, menyusul beliau ke Ngantru, Tulungagung. Sampai beberapa tahun berikutnya, Mbah Husein ikut dalam satu rumah bersama ayahanda, ibu tiri, dan adik-adik tiri beliau.
Sampai akhir hayat beliau, Mbah Kyai Rd.Abdul Jalil menetap di dusun Cari, desa Banjarsari kecamatan Ngantru, kabupaten Tulungagung.Setelah beliau wafat, , beliau di makamkan di pemakaman keluarga yang terletak di belakang musholla Al Falah, tidak jauh dari rumah kediaman beliau.