26.11.22

Inti Ajaran Syeikh Mustaqim

  Sebagai seorang guru thoriqot (mursyid), beliau selalu menekankan kepada murid-murid beliau tentang tujuan orang berthoriqot yang tiada lain adalah bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Kalimat , "Laa maqshuda ilalloh, laa ma ’buda ilalloh, laa maujuda ilalloh " (tiada yang dituju selain Alloh, tiada yang disembah selain Alloh, tiada yang wujud selain Alloh) selalu beliau hujamkan ke kalbu murid-murid beliau.

Beliau mengajarkan agar segala aktifitas peribadatan mereka harus selalu diniati beribadah karena Alloh SWT semata. Menjaga konsistensi niat LILLAAHl TA'ALA itu selalu beliau anggap penting. Bahkan, semua wirid yang beliau ijazahkan, selalu diawali dengan Basmalah dan Al Fatehah lillaahi ta 'ala ".

Hal ini mengajarkan kepada para murid bahwa sejak awal mengamalkan wirid, mereka sudah harus meyakini bahwa' kemauan dan kemampuan mereka bisa menjalankan wirid itu karena sematat-mata adalah fadhol ( karunia) Alloh Yang Maha Rokhman dan Rokhim. Di samping itu, mereka juga menyatakan di dalam hati dan 'berikrar' kepada Alloh SWT bahwa niat mereka menjalankan wirid itu semata-mata hanya karena Alloh SWT. 'Ikrar' itu kemudian dibacakan surat al Fatikhah.

Dalam berdoa sebagai penutup wirid pun, beliau mengajarkan agar kembali memperbarui sekaligus menegaskan 'ikrar' di awal menjalankan wirid dengan bahasa yang lain, "Ilahiy anta maqshuudiy, wa ridlooka mathlubiy, a'thinii makhabbataka wa ma 'rifataka " (wahai Tuhanku, Engkaulah dzat yg. aku tuju, dan ridlo-Mulah yang sangat kuharapkan, sudilah kiranya Engkau memberikan kepadaku rasa cinta kepada-Mu dan sifat ma'rifat kepada-Mu).

Namun, meskipun demikian, beliau juga memberikan 'toleransi' bagi murid-murid beliau yang belum mampu menjalani seperti yang dimaksudkan di atas (pure atau murni karena Alloh SWT). Beliau memaklumi bahwa kemampuan setiap orang tidaklah sama. Oleh karena itu, beliau lalu membolehkan para murid untuk 'pamrih' kepada Allah SWT dengan tetap dalam koridor niat memohon "Tetapnya Iman, Terangnya Hati, dan Selamat dunia akherat".

Dari penggemblengan terhadap murid-murid beliau, maka ada sebagian di antara mereka yang kemudian dikaruniai Alloh SWT berbagai kelebihan. Kelebihan-kelebihan yang dialami murid beliau antara lain bisa mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib ( mukasyafah) seperti: mengetahui adanya jin, mengetahui dan mendengar khothir atau kata hati (Jawa, krenteg) orang lain, mengetahui adanya nikmat dan azab kubur, berkomunikasi dengan binatang, dan lain sebagainya.

Tidak sedikit pula murid-murid beliau yang di tengah-tengah perjalanan ruhani mereka 'bertemu' dengan arwah para ambiya' wal mursalin dan auliya’ulloh seperti Sayyidina wa Maulana Muhammad Rosulullohi SAW, Sayidina Khidlir ’alaihis salam, Sayidzina Ali ibn Abi Tholib karromallohu wajhah, Syekh Abdul Qodir Jailani qoddasallohu sirrohu, para Wali Songo rodliyallohu ’anhum, dan lain-lain.

Namun, dalam berbagai kesempatan, beliau sering mengatakan kepada para murid beliau, bahwa ukuran keberhasilan seorang murid thoriqot itu bukanlah berbagai kekeramatan yang dikaruniakan Alloh SWT kepada mereka. Akan tetapi, keberhasilan perjalanan seorang salik itu bisa dilihat dari meningkamya taqwalloh dan akhlaqul karimah mereka.

Beliau menilai bahwa kekeramatan itu hanyalah sebuah accessories atau hiasan belaka. Hal itu sama sekali bukan merupakan tujuan seseorang berthoriqot. Bahkan, beliau seringkali mengingatkan kepada mereka yang dianugerahi Alloh SWT pelbagai kekeramatan, apabila mereka tidak berhatihati dalam menyikapinya, kekeramatan itu justru bisa menjadi bumerang bagi mereka. Tatkala mereka menerima kekeramatan, sedangkan pada saat itu pula mereka tidak segera 'lari' kepada Alloh, maka hal itu akan bisa menggelincirkan mereka ke lembah kehinaan dan kebinasaan. Na'udzubillahi min dzaalik.