26.11.22

Menerima Ijazah Thoriqoh Syadziliyah

  Ketika masih pada masa penjajahan Belanda, sekitar tahun 1936, Syekh Mustaqim memiliki seorang murid yang masih muda yang rajin menjalani riyadloh dan gemar melakukan pengembaraan. Pemuda itu bemama Ashfaham, berasal dari Ngadiluwih, Kediri. Ketika pengembaraan pemuda Ashfaham sampai di pondok Tremas, kabupaten Pacitan, di sana beliau mengal jadzab billah (ekstase). Beliau berbicara tidak karu-karuan, bahkan menantang para santri dan ustadz untuk berdebat dengan beliau.

Pada saat peristiwa itu terjadi, ada seseorang yang secara diam-diam memperhatikan tingkah laku beliau. Orang itu adalah asy Syekh Raden Kyai Haji Abdur Rozaq bin Abdullah at Tarmasi/at Turmusi atau lebih akrab disapa dengan panggilan Den Dur. Beliau merupakan adik kandung Mbah Kyai Dimyati, Pengasuh Pondok Tremas waktu itu. Ketika itu Den Dur juga sudah menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid thoriqot Syadziliyah. Beliau memiliki banyak murid yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.

Den Dur merasa kagum dengan ucapan-ucapan Asfaham yang dianggap orang omongannya ngalor-ngidul. Beliau menganggap kata-kata yang keluar dari lisan anak muda itu adalah suatu ilmu yang haq. Beliau juga merasa kagum dengan kejernihan hati pemuda itu.

Setelah si Asfaham sadar kembali, pulih sebagaimana sebelumnya Den Dur kemudian memanggil dan mengajaknya bicara. Beliau bertanya tentang siapakah gurunya dan ilmu apakah yang dijalaninya. Pemuda itu menjawab "Guru yang membimbing saya adalah Kyai Mustaqim, pondok Kauman Tulungagung. Saya oleh beliau disuruh mengamalkan khizib Autad ( khizib Kafi)." Sambil menyimak keterangan si Asfaham, Den Dur membatin, " Wah, kalau muridnya saja seperti ini, bagaimana lagi gurunya?" '

Dari perbincangan dengan Asfaham itulah yang kemudian membuat hati Den Dur terdorong untuk datang kepada Syekh Mustaqim di Tulungagung. Selang beberapa hari kemudlan, dengan mengendarai kuda, beliau pun melakukan perjalanan dari Pacitan menuju ke Tulungagung.

Setelah sampai di hadapan Syekh Mustaqim di pondok Kauman, beliau terIebih dahulu memperkenalkan diri. Setelah itu, kemudian beliau menyampaikan maksud dan tujuan beliau sowan kepada Syekh Mustaqim adalah semata-mata hanya untuk berguru kepada Syekh Mustaqim

Mendengar penuturan Den Dur, Syekh Mustaqim pun langsung menjawab, "Nuwun pangapunten Yai, kulo sampun dangu mireng asmo agung panjenengan. Kulo sejatosipun gadhah rencana badhe sowan panjenengan dateng Tremas. Kulo badhe nderek dados murid panjenengan. " (Mohon maaf Yai, saya sudah lama mendengar nama besar panjenengan. Saya sebenarnya sudah punya rencana akan sowan kepada panjenengan di Tremas. Saya akan ikut menjadi murid panjenengan). "Dan, saya juga mohon maaf, Yai, karena ternyata saya kalah duluan untuk sowan kepadapa njenengan."

Den Durpun kemudian menimpali, "Tidak, Yai. . . Saya jauh-jauh datang ke sini sengaja untuk berguru kepada panjenengan." Syekh Mustaqim pun kembali menolak permintaan Den Dur dan tetap meminta agar beliau diterima menjadi santri Den Dur. Begitu seterusnya, terjadi berulang-ulang, kedua insan mulia itu saling tidak mau berposisi sebagai guru. Beliau berdua saling ’rebut asor', saling meminta untuk menjadi muridnya saja. Sampai kemudian beliau berdua masing-masing saling tertunduk dan terdiam.

Akhimya, setelah lama saling terdiam, Syekh Mustaqim pun kemudian berkata, "Baiklah, Yai. . . Kalau begitu, izinkan saya untuk terlebih dahulu menjadi guru panjenengan." Hal ini Mbah Kyai Mustaqim lakukan semata-mata sebagai penghormatan beliau terhadap sang tamu sekaligus keta'dhim-an beliau terhadap keluhuran derajat Syekh Abdur Rozaq di sisi Alloh SWT.

Kemudian Syekh Mustaqim memberikan ijazah sebuah aurod kepada Den Dur. Ada 3 pendapat tentang aurod yang diijazahkan Mbah Kyai Mustaqim kepada Den Dur pada saat itu. Pendapat pertama, mengatakan bahwa aurod itu adalah khizib Autad (Kafi). Pendapat yang ke dua, aurod itu adalah Asma' Baladiyah. Sementara, pendapat yang lain mengatakan bahwa aurod itu adalah Bismillaahilladzii laa yadhurru (ilaa akhirihi) dan al Ghoniyyul Maani'u (ilaa akhirihi) yang dibaca dalam jumlah tertentu.

Setelah Den Dur mendapatkan penjelasan dari Syekh Mustaqim tentang kaifiyah atau tata cara mengamalkan aurod tersebut, lalu beliau pun kemudian memohon diri. Beliau tidak langsung pulang ke Termas, namun pada waktu itu beliau singgah dan bermalam di rumah kerabat beliau di desa Karangwaru, tidak jauh dari kediaman Syekh Mustaqim.

Pada malam harinya, Den Dur mengamalkan aurod itu di sebuah surau yang terletak di halaman rumah kerabat Den Dur itu. Berkata Romo Kyai Abdul Djalil, "Memang Den Dur itu dasarnya seorang Waliyulloh, jadi yakinnya kepada Alloh ya benar-benar yakin. Oleh karena itu, ketika mengamalkan aurod itu ya langsung diijabahi Alloh Ta'ala. Den Dur, di tengah-tengah membaca aurod itu, merasa tubuhnya seperti terangkat ke langit. Saking tingginya, Den Dur sampai berteriak-teriak minta tolong. Toloong...., tolooong.... !!! Tangan beliau dikepak-kepakkan ke bawah dan ternyata itu lantai musholla."

Pada keesokan paginya, Den Dur kembali sowan kepada Syekh Mustaqim di Pondok Kauman. Den Dur menceritakan segala pengalaman rohani beliau yang beliau alami semalam. Setelah berbincang-bincang sejenak. Syekh Mustaqim kemudian berkata , "Baik, Yai. .. Kemarin saya sudah menjadi guru panjenengan. Hari ini giliran panjenengan yang menjadj guru saya."

Dengan tersenyum, Den Dur kemudian mengambil sebuah buku dari bungkusan kain yang beliau bawa. Buku itu lalu beliau berikan kepada Syekh Mustaqim, sambil berkata, "Ini buku catatan wirid-wirid saya, Yai. Silakan panjenengan pilih sendiri mana yang panjenengan kehendaki."

Setelah menerima buku itu, Syekh Mustaqim tidak langsung membukanya. Beliau terdiam beberapa saat. Kemudian, dengan mengucapkan basmalah, beliau lalu membuka halaman buku itu secara acak. Setelah itu tanpa beliau membaca apa isi halaman yang beliau buka, buku itu lalu beliau serahkan kembali kepada Den Dur dalam keadaan tetap terbuka sambil berkata, "Ini, Yai...." Den Dur lalu mengamati isi catatan pada halaman yang dibuka Syekh Mustaqim. Beliau kemudian berkata, "Yai, ini adalah catatan aurod thoriqot Syadziliyah." Lalu, kemudian dilanjutkan dengan prosesi peng-ijazah-an aurod thoriqot Syadziliyah dari Syekh Abdul Rozak kepade Syekh Mustaqim.

Pada saat itu pula Den Dur sekaligus berpesan kepada Syekh Mustaqim agar beliau mengembangkan dan mensyi'arkan thoriqot Syadziliyah itu. Den Dur berkata, "Mulai hari ini pusat thoriqot Syadziliyah ini telah berpindah ke kedhung, Yai. Oleh karena itu, saya minta agar panjenengan mensyiarkan thoriqot ini dari sini."

Kedhung adalah bahasa Jawa yang berarti sebuah danau kecil di dekat sumber mata air. Hal itu bisa diartikan bahwa yang dimaksud dengan 'kedhung' itu ialah Kota Tulungagung yang, sejak zaman dahulu kala, setiap . musim hujan selalu dilanda banjir.

Sebelum tahun 1986, apabila  tiba waktunya musim hujan, maka seluruh permukaan kota itu akan terendam oleh air. Kalau sudah begitu, kota Tulungagung seakan-akan berubah menj adi kedhung atau danau. Hal itu sebagaimana ungkapan orang Jawa zaman dulu, "Blitar dadi latar; Kediri dadi kali, Tulungagung dadi kedhung" (Blitar menjadi halaman atau tanah lapang, Kediri menjadi sungai, Tulungagung menjadi danau). Kota Tulungagung pada akhimya bisa terbebas dari banjir sejak dibukanya terowongan Neyama yang berfungsi mengalirkan air sungai ke samudera Indonesia.

Selain itu, kedhung bisa pula bermakna Syekh Mustaqim itu sendiri. Beliau, ibarat sebuah sumber mata air yang memancar sepanjang masa, tiada pernah kering. lbarat sebuah danau yang manfaat, maslakhah, dan keberkahannya bisa dirasakan berjuta-juta umat manusia. Keberkahan yang terpancar dari ketaqwaan beliau bisa menyejukkan jiwa bagi siapa pun yang menautkan hatinya dengan beliau. Bisa pula sebagai pelepas dahaga bagi 'musaflr' yang kehausan di tengah 'padang pasir'. Sebagai sumber cahaya insan-insan yang berjalan di tengah kegelapan. Sebagai sumber pengetahuan bagi orang-orang yang semula tidak mengerti menjadi paham.

Oleh karena amanat Den Dur kepada Syekh Mustaqim inilah, di kemudian hari, di antara 3 thoriqot yang diajarkan di Pondok PETA, thoriqot Syadziliyah merupakan thoriqot yang lebih banyak diajarkan kepada murid-murid pondok PETA. Bahkan, sampai sekarang Pondok PETA lebih dikenal sebagai pondok thoriqot Syadziliyah dibanding dengan kedua thoriqot lainnya.

Namun, di Pondok PETA sejak dulu sampai sekarang, thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah menjadi amalan wajib setiap ba’da sholat 5 Waktu setiap harinya. Sedangkan, thoriqot Naqsyabandiyah hanya di-ijazah-kan kepada murid-murid tertentu dan dalam jumlah yang sangat terbatas. Amaliyah thoriqot Naqsyabandiyah diamalkan secara berjamaah hanya pada malam ganjil pada 10 malam terakhir setiap bulan Ramadhan.

Setelah itu, beliau berdua berbincang-bincang berbagai hal tentang thoriqot Syadziliyah. Den Dur mengatakan, bahwa dalam mengamalkan thoriqot Syadziliyah, ada satu riyadloh yang cukup berat yang dinamakan dengan istilah poso ngere. Ritual 'poso ngere' ini adalah lelaku mengemis dari rumah ke rumah untuk mendapatkan makanan. Lelaku ini harus dijalani terus menerus selama 40 hari. Sedangkan, dalam menjalankan lelalal mengemis ini tidak boleh membawa bekal apa pun, termasuk pakaian. Pakaian hanya diperbolehkan yang melekat di badan saja.

Mendengar penjelasan Den Dur, Syekh Mustaqim lalu berkata, "Mohon maaf, Yai. . .. Kalau riyadloh thoriqot Syadziliyah seperti itu, insya Alloh kalau saya akan mampu melakukan. Namun, apakah kelak di kemudian hari, murid-murid saya akan mampu menjalaninya? Padahal,tadi panjenengan sudah berpesan agar saya mengembangkan dan men-syi'ar-kan thoriqot ini."

Kemudian, Den Dur berkata, "Baiklah, Yai. . .. Kalau begitu riyadloh 'poso ngere itu bisa diganti dengan membaca 2 kalimah Syahadat 100 kali dan
Takbir 100 kali sebelum mengamalkan aurod Syadziliyah."

Namun, meskipun begitu, pada masa awal Syekh Mustaqim mengajarkan Thoriqot Syadziliyah, murid-murid beliau masih diperintahkan untuk menjalani riyadloh sebagaimana mestinya. Salah satu murid Syekh Mustaqim yng bernama Mbah Kopral yang rumahnya di dusun Denok, desa Jeli, kecamatan Karangrejo, Tulungagung pernah menjalani riyadloh 'poso ngere'.

Mbah Kopral pada masa penjajahan Belanda, beliau pernah menjadi tentara kompeni Belanda. Ketika menjadi serdadu Belanda itu, beliau berpangkat kopral. Oleh karena itulah, sampai Belandanya sudah 'pulang kampung' pun beliau masih tetap dipanggil dengan nama Mbah Kopral. Beliau memiliki postur tubuh yang tinggi-besar. Kulit beliau cukup bersih dan wajah beliau lumayan ganteng.

Ketuka beliau menjalani lelaku mengemis itu, tentu saja hal itu menjadi cemoohan banyak orang. Pernah, pada suatu hari, ketika beliau 'mengemis' di suatu pasar, beliau langsung 'disemprot' oleh orang yang dimintainya. Bahkan, tidak hanya 'disemprot' dengan kata-kata saja, tetapi benar-benar dusemprot dengan air ludah alias diludahi wajahnya. Menjadi satu keharusan bagi yang sedang menjalani lelaku ini, bahwa ketika dicemooh atau bahkan sampai diludahi, yang bersangkutan tidak boleh marah.

Dalam perkembangan berikutnya, Den Dur juga meng-ijazah-i Syekh Mustaqim dengan beberapa khizib, terutama yang diambil dari khazanah ajam thoriqot Syadziliyab, antara lain khizib Bahr; khizib Barr; khizib Nashr, Hiizib Khujub, khizit khafzidhoh, dan Sholawat Nuuruz Zati.

Pada tahun 1947, ketika Den Dur sedang berada di pondok Kauman, beliau berkeininan untuk mengambil (Jawa, ngepek) anak Syekh Abdul Djalil Mustaqim yang waktu itu masih berumur 5 tahun. Keinginan itu beliau kemukakan kepada Mbah Nyai Sa'diyah, isteri Syekh Mustaqim. Sebagai seorang ibu tentu saja beliau keberatan. Karena tidak diperbolehkan untuk dimiliki. muka Den Dur kemudian mengajukan untuk 'meminjamnya' saja.

Singkat cerita. setelah Den Dur diijinkan untuk 'meminjam', maka kemudian Romo Kyai Abdul Djalil dipanggul di kedua bahu beliau lalu diajak berjalan-jalan mengelilingi alun-alun kota Tulungagung. Di kemudian hari, asy Syekh Romo Kyai Abdul Djalil berkata, "Aku sama Den Dur dipanggul. terus diajak jalan-jalan mengelilingi alun-alun. Postur tubuh Den Dur itu cenderung gemuk. kalau berjalan agak gontai. Beliau berjalan sambil makan kacang. ltu maksudnya gitu aku dibaiat sama Den Dur."

Seperti yang sudah diceritakan di atas, hubungan antara Syekh Mustaqim dan Syekh Abdur Rozaq itu adalah sebagai guru dan murid sekaligus juga sebagai murid dan guru. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Syekh Mustaqim pada tahun I952 membangun surau kecil yang di bagian lantai atasnya digunakan sebagai zawiyah atau pondok pesulukan, Syekh Abdur Rozaq beberapa kali menjalankan suluk di pondok Kauman. Syekh Abdur Rozaq atau Den Dur wafat pada tanggal 3 April 1958. Aada alainaa min barokatihi wa asrorihi wa anwarihi wa nafakhatihi wa akhlaqih fid dunya, wal aakhiroh, aamiin.