29.11.22

Menjunjung Tinggi Akhlaqul Karimah

  Dalam bergaul dengan sesama manusia, asy Syekh selalu mengedepankan akhlaq-akhlaq seperti yang telah diajarkan Rosululloh SAW, seperti rendah hati, bersikap sopan, santun, menghormati orang lain, suka menolong, pemaaf, dan selalu menjaga silaturahmi.

Asy Syekh senantiasa bersikap hormat, rendah hati, dan sopan kepada siapa pun, terlebih kepada orang yang lebih sepuh dari beliau, kendati orang itu murid beliau sendiri. Sebagai orang Jawa, asy Syekh sangat menjunjung tinggi tatakrama (Jawa, unggah-ungguh) pergaulan orang Jawa. Pada saat asy Syekh berbicara kepada orang yang lebih sepuh (tua), beliau selalu menggunakan kosa kata kromo inggil, paling tidak kromo madya.

Pemah pada suatu hari ayahanda penulis memohon dengan sungguh-sungguh kepada asy Syekh agar beliau berkenan (Jawa, kersa) ‘ngoko’ saja kepada ayahanda. Namun, dengan tegas asy Syekh menolaknya, “Mboten, kak Musa, kersane ngeten mawon. ” (Tidak, kak Musa, biarkan begini saja).

Sabar dan arif bijaksana.

Sifat sabar asy Syekh sudah terlihat sejak beliau berusia muda. Beliau senatiasa sabar dan tahan (Jawa, betah) dalam beribadah serta dalam menghadapi situasi sulit, baik kesulitan ekonomi maupun fltnah yang menerpa beliau. Semua itu beliau hadapi dengan sabar, tanpa mengeluh, serta dengan sikap arif dan bijaksana.

Pernah pada suatu sore, sekitar tahun 1975, ketika asy Syekh sedang jagongan dengan kami yang sedang suluk di teras musholla. Tiba-tiba datang sekitar 5 orang. Mereka lalu bersalaman dengan asy Syekh dan kami semua. Setelah itu, mereka langsung menuju ke makam Syekh Mustaqim.

Sekitar 1 jam kemudian, mereka keluar dari makam dan langsung salaman lagi dengan asy Syekh dan kami semua. Saat datang dan pergi, mereka hanya bersalaman saja tanpa bicara sepatah kata pun. Setelah mereka berlalu, asy Syekh hanya berkata singkat, “Itu muridnya bapak.”

Padahal, ketika seorang guru mursyid telah wafat, maka seorang murid thoriqot seharusnya berguru kepada mursyid yang telah ditunjuk sebagai penggantinya. Namun, sampai beberapa tahun asy Syekh menggantikan ayahanda beliau, ada sebagian kecil murid Syekh Mustaqim yang maunya tetap bermursyid kepada Syekh Mustaqim.

Dermawanan kepada siapapun.

Dalam hal bersedekah kepada sesama manusia, asy Syekh mempakan sosok yang sangat luar biasa. Dalam kondisi kekurangan pun asy Syekh berupaya untuk tetap bisa bersedekah dan menyenangkan hati orang lain. Beliau bersedekah tanpa memperhatikan keadaan orang yang beliau beri.

Pemah penulis mendapati asy Syekh bagi-bagi uang kepada serombongan orang-orang terhormat (berjumlah sekitar 6 orang) yang tengah bersilaturahmi ke pondok PETA. Padahal, penulis percaya kalau orang-orang terhormat itu tergolong orang berpunya. Hal itu bisa dilihat dari penampilan dan mobil yang mereka kendarai.

Orang-orang terhormat itu, mungkin bermaksud bercanda, salah satunya berkata kepada asy Syekh, “Yai, mbok kita-kita ini sekali-kali diamplopi...” Kalimat itu lalu disusul dengan gelak tawa di antara mereka. Mendengar hal itu asy Syekh pun hanya tersenyum. Beliau lalu masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh keluar sambil membawa amplop berisi uang yang kelihatan cukup tebal. Amplop itu pun kemudian beliau bagi-bagikan kepada tetamu terhormat itu. Tawa pun kembali pecah. Mereka lalu berkata, “Loh, Yai... ini tadi sebenarnya hanya bercanda.. lho ” Asy Syekh Pun menimpali ..ah.. ngak apa-apa

Terkait dengan sedekah ini, asy Syekh pemah menceritakan kejadian yang pernah dialami sayyidah ‘Aisyah, rodliyallohu ‘anha, isteri Rosulullooh SAW. Pada suatu hari, dalam suatu perjalanan mengarungi padang pasir, sayyidah ‘Aisyah beristirahat dan bermalam di sebuah tenda. Ketika itu singgahlah beberapa orang fakir miskin yang kehabisan bekal. Mereka meminta makanan kepada sayyidah ‘Aisyah. Maka, oleh sayyidah ‘Aisyah pun mereka diberikan makanan secukupnya.

Tidak lama kemudian, singgah pula beberapa orang dari golongan berpunya. Maksud mereka singgah juga untuk meminta makanan kepada sayyidah ‘Aisyah. Rupanya mereka juga sedang kehabisan bekal. Ketika itu oleh sayyidah ‘Aisyah mereka diberi makanan dalam jumlah yang berlebih.

Menyaksikan hal yang dinilai janggal dan dirasa tidak adil tersebut beberapa orang sahabat Rosululloh SAW yang turut dalam perjalanan itu pun bertanya kepada sayyidah ‘Aisyah. Maka Baginda Rosul menjelaskan bahwa seorang fakir miskin sudah terbiasa makan tidak sampai kenyang. Sehingga, ketika mereka mendapatkan makanan yang secukupnya pun, bagi mereka sudah bisa bersyukur.

Lain halnya dengan seorang dari golongan ‘the haves ’. Sehari-hari mereka selalu makan sampai kenyang. Sehingga, kalau mereka diberi makanan yang tidak sampai membuat perut mereka kenyang, maka merekapun tidak akan bisa bersyukur lebih dari itu, mereka justru akan mengeluh dan mencela si pemberi.