Kepribadian As-Syeikh
Dari segi fisik, dilukiskan bahwa asy Syekh dikaruniai bentuk badan yang indah dan menarik. Kulit beliau berwarna sawo matang, dengan postur tubuh yang tinggi terkesan agak kurus. Wajah beliau berbentuk lonjong agak memanjang. Di pipi dan dagunya terdapat rambut yang tidak seberapa lebat, dan jari-jari tangannya panjang dan langsing (Jawa, trincing), sepintas mirip layaknya penduduk Hijaz. *) Hijaz atau Hedjaz adalah suatu wilayah yang membentang di semenanjung Arab, sepanjang laut Merah di antara dataran tinggi Nejd dan daerah pantai Tihamah. Pada saat ini, wilayah tersebut menjadi bagian barat kerajaan Saudi Arabia. Di wilayah ini terdapat 4 kota penting yaitu : Mekkah, Madinah, Thoif dan Jeddah.
Beliau memiliki tutur kata yang lembut, indah, santun, dan ramah terhadap semua orang. Ucapannya fasih, jelas, tidak berbelit-belit, serta mengandung pengertian yang dalam. Beliau sekaligus juga seorang yang penyabar dan pemaaf, namun juga memiliki pendirian yang teguh atau konsisten. Selain itu, asy Syekh bukanlah type orang yang suka menyia-nyiakan waktu. Beliau kurang menyukai perkataan dan perbuatan yang sekiranya kurang bernilai di hadapan Alloh SWT.
Asy Syekh merupakan sosok pribadi yang mandiri, selalu berfikir dan bertindak positif, berjiwa besar, serta selalu memandang bahwa kehidupan ini adalah indah. Beliau bukan pula model orang yang menyukai kemasyhuran, baik yang disengaja maupun tidak. Dipandang dari segi duniawi, asy Syekh tidak termasuk orang yang sulit pelayanannya. Beliau selalu bersikap sabar, tekun, dan penuh keyakinan dalam menjalankan segala perintah Tuhan.
Beliau, sejak kecil hingga akhir hayatnya, dalam kesehariannya selalu mengenakan pakaian yang indah dan rapi. Karena, beliau selalu beranggapan bahwa seluruh permukaan bumi ini adalah 'masjid', sesuai dengan yang telah disabdakan datuk beliau, Rosululloh SAW. Oleh karena itu, bagi beliau sudah sepatutnyalah siapapun yang menjadi penghuni 'masjid' ini haruslah berpakaian yang bersih, wangi, indah, rapi, dan suci. Kendati demikian, asy Syekh sama sekali tidak pernah mencemooh pakaian yang dikenakan para sufi dan murid murid thoriqot pada zaman itu, yang pada umumnya suka berpakaian compang-camping bak pengemis. Asy Syekh menilai tidak terlalu penting pakaian apapun yang dikenakan para murid thoriqot, namun yang terpenting bagi beliau, mereka adalah benar-benar termasuk golongan ahli kebaikan.
Pernah pada suatu ketika, tatkala asy Syekh memberikan pengajian, ikut hadir di majelis itu seorang sufi yang mengenakan pakaian dari bulu domba. Setelah asy Syekh selesai berceramah orang itu mendekati asy Syekh seraya meraba-raba baju beliau sambil berkata, “Ya Sayyidi, apakah Alloh tidak dapat disembah tanpa memakai baju seperti yang Anda pakai ini?” Sebelum menjawab, asy Syekh sembari tersenyum, terlebih dulu ganti meraba baju orang itu. Kemudian asy Syekh berkata, “Ya, akhiy, memang Alloh tidak akan dapat disembah dengan baju seperti yang engkau pakai ini. Ketahuilah, pakaian yang aku pakai ini berkata kepadaku, 'Aku ini indah dan kaya, lebih indah dan kaya daripada engkau. Oleh karena itu, jangan engkau hiraukan aku dan jangan pula engkau berikan apa-apa padaku'. Akan tetapi, wahai saudaraku, pakaian yang engkau pakai berkata pada dirimu, 'Aku ini fakir, jelek, kurang, dan tidak pantas, maka perhatikanlah aku dan berilah apa-apa untukku'. Sehingga, dengan demikian, maka sebenarnya engkau hanya sibuk memperhatikan pakaianmu, bukan Alloh ........ ”
Akhlaqul karimah asy Syekh, terutama dalam hal ketawadhuan beliau terhadap Rosululloh SAW bisa dikatakan amat mengagumkan. Pernah pada suatu ketika, dalam safar beliau ke tanah suci Madinah al Munawwaroh, yaitu pada saat akan berziarah ke makam datuk beliau, Rosululloh SAW, yang terletak di dalam masjid Nabawi. Beliau berdiri di muka pintu gerbang masjid Nabawi dengan menundukkan kepala diiringi jiwa yang penuh dengan ketawadhu'an. Asy Syekh berdiri di situ sejak pagi hingga tengah hari. Beliau, dengan tanpa mengenakan tutup kepala dan alas kaki, menunggu izin Rosululloh SAW untuk diperkenankan masuk ke dalam masjid. Ketika, di lain hari, ada Orang yang bertanya mengenai hal tersebut, asy Syekh menjawab dengan mengemukakan firman Alloh SWT dalam surat al Ahzab 33:53, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan.”
Sewaktu matahari sudah di atas kepala, terdengarlah suara dari dalam Roudhoh asy Syarifah, “Ya Ali, masuklah!” Kemudian asy Syekh pun segera masuk. Beliau lalu berdiri di sebelah Roudhoh, kemudian mengucapkan salam dan puji-pujian kepada Rosululloh SAW serta kedua sahabat beliau, sayyidina Abu Bakar dan sayyidina Umar, radhiyallahu 'anhuma. Setelah itu, asy Syekh menengadahkan tangan seraya melantunkan kalimat kalimat doa dengan untaian bahasa yang amat indah dan mengagumkan.
Sementara itu, pendirian asy Syekh dalam hal makan dan minum, terlihat dari nasehat beliau kepada murid-muridnya. Pada suatu ketika asy Syekh pernah berkata, “Wahai anak-anakku, hendaklah engkau sekalian memilih makanan yang lezat-lezat, minuman yang sejuk dan segar, tidurlah dengan beralaskan tilam yang empuk, dan pakailah pakaian yang halus. Maka, sesungguhnya apabila engkau sekalian melakukan seperti itu, lalu engkau mengucapkan 'alhamdulillah ', niscaya segenap anggota tubuhmu akan turut mengiringkan ucapanmu itu. Namun sebaliknya, jika engkau makan dengan makanan yang tidak enak, minum dengan minuman yang tidak segar, dan tidur beralaskan bumi, serta memakai pakaian dari bahan yang kasar, kemudian engkau mengucapkan 'alhamdulillah ', maka sesungguhnya nada ucapanmu itu adalah keluh-kesah belaka serta diiringi dengan rasa tidak puas atas takdir Alloh SWT terhadap dirimu.” Juga pesan yang beliau sampaikan kepada Syekh Abul Abbas al Marsi, “Ya, Abul Abbas, kenalilah Alloh dan jadikanlah dirimu sebagaimana yang engkau kehendaki. Karena, barang siapa yang sudah mengenal Alloh, maka tidak ada salahnya apabila makan makanan yang lezat serta minum minuman yang segar.” Namun, berkenaan dengan hal makan dan minum ini, asy Syekh sejak anak-anak hingga berusia sepuh, tidaklah termasuk orang yang sulit pelayanannya, kendati beliau amat teliti dalamhalal dan haramnya.
Asy Syekh adalah juga seorang yang gemar berkuda, Kuda-kuda yang beliau miliki dan biasa beliau tunggangi adalah kuda-kuda yang bagus dan bermutu tinggi. Asy Syekh acapkali berkeliling kota untuk mengunjungi para sahabat dan murid murid beliau dengan mengenakan pakaian yang indah dan mengendarai kuda-kuda yang anggun dan indah pula. Terlebih pada waktu upacara peringatan hari-hari besar Islam. Untuk menambah kemeriahan hari-hari besar itu, asy Syekh dipastikan keluar dengan kuda-kuda pilihan dengan diiringkan para sahabat dan murid-murid beliau serta sekelompok orang-orang fakir dan ahli dunia. Untuk lebih meramaikannya, bendera dan panji-panji pun dikibarkan, genderang dan tabuh-tabuhan pun dipukul bertalu-talu.
Beliau juga sosok pribadi, yang sejak kecil, memiliki cita-cita yang tinggi, semangat yang kuat, dan gemar mencari ilmu. Bahkan, semenjak umur 6 tahun hingga berusia lanjut, kehidupan beliau senantiasa dihiasi dengan pengembaraan, riyadhoh dan uzlah, berdakwah, serta banyak berdikusi dengan para ulama dengan cara yang santun dan mulia.
Walaupun beliau sebagai seorang ahli tasawwuf sekaligus imam sebuah thoriqot besar, beliau tidak pula meninggalkan kehidupan bermasyarakat. Asy Syekh menginginkan agar murid-murid beliau berkehidupan 'normal', seperti yang telah dicontohkan Rosululloh SAW. Asy Syekh berpandangan bahwa hubungan antara makhluq dan Kholiq adalah merupakan hubungan yang amat pribadi, sedangkan hubungan antar sesama harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam praktek pelaksanaan hubungan dengan Alloh yang amat pribadi itu, asy Syekh tidak menyukai para murid beliau berpenampilan yang menunjukkan ciri khas sebagai seorang sufi. Asy Syekh menginginkan agar pakaian yang dikenakan para murid beliau sesuai dengan kehidupan atau profesi mereka masing-masing. Sedangkan yang tidak perlu ditutup-tutupi adalah segala sesuatu yang memang berkaitan dengan urusan kemasyarakatan.
Hal ini asy Syekh contohkan dalam kehidupan beliau sehari-hari. Peran beliau dalam membela kaum dhuafa' sudah beliau lakukan sejak beliau masih remaja. Keberpihakan beliau kepada kaum papa ini tetap beliau jalankan secara konsisten sampai beliau berusia lanjut. Hari-harinya beliau habiskan dengan mengajar, berdakwah, dan mendaras kitab-kitab bersama para ulama. Beliau juga secara aktif ikut meramaikan hari-hari besar agama bersama-sama orang banyak. Bahkan, di usia yang sudah sepuh dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan (buta), beliau juga masih ikut turun secara langsung ke medan pertempuran di kota Al Manshurah. Padahal, apabila dicermati, 'semestinya beliau dalam kondisi 'udzur seperti itu tidak seharusnya terkena kewajiban untuk berjihad.
Namun, kesemuanya itu beliau lakukan, selain merupakan panggilan suara hati, juga untuk memberikan pelajaran dan teladan kepada murid-murid beliau khususnya dan ". masyarakat luas pada umumnya bahwa seorang sufi dalam zuhudnya tidaklah harus meninggalkan kewajiban kewajiban yang berhubungan dengan masyarakat. Asy Syekh berpandangan bahwa kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah seperti: berda'wah, mengajar, mencari ilmu, berkeluarga, mencari nafkah, saling tolong-menolong, bermaaf-maafan, bersedekah, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, mendatangi undangan ta'ziyah, silaturahmi, serta berjuang membela agama dan negara, adalah merupakan sesuatu yang harus tetap dijalankan sebisabisanya oleh setiap pribadi seorang muslim, tanpa kecuali.
Selain itu, hal tersebut beliau lakukan Juga untuk menepis anggapan yang berlaku di sebagian masyarakat pada waktu itu(bahkan sampai sekarang, pen) yang dengan seenaknya menimpakan tuduhan bahwa seorang ahli tasawwuf dan murid-murid thoriqot adalah orang yang lemah, pemalas, kurang kerjaan, pengangguran, kumuh, semaunya sendiri mementingkan diri sendiri, mendukung kemiskinan da kebodohan, serta bisa menghambat perkembangan Islam Bahkan, yang lebih kejam lagi, mereka, yaitu orang-orang yang anti tasawwuf, mengatakan kalau golongan ahli tasawuf adalah orang-orang ahli bid' ah, menyimpang dari Qur'an dan Sunnah serta telah keluar dari garis agama. Maka, dengan demikian , jadi jelaslah bagi para ahli tasawwuf dan para murid thoriqot maupun orang-orang yang mencemooh dan yang telah menyebarkan fitnahnya, bahwa kesemuanya itu tidaklah benar adanya.
Asy Syekh telah membuktikan pula bahwa seorang muslim yang menceburkan dirinya ke dalam samudera hakekat tidak pula harus mengabaikan amalan-amalan syariat. Sebagai orang yang memiliki kedudukan agung dalam ilmu hakekat dan alim dalam bidang ilmu tasawwuf, asy Syekh juga sosok pribadi yang piawai pula dalam bidang ilmu dan amaliyah fiqih atau syariat. Selain itu, sejak kecil beliau juga telah memiliki kegemaran menekuni amalan-amalan sunnah. Bahkan, di kalangan para ulama pada waktu itu, beliau dikenal sebagai seorang yang ahli waro', yaitu orang yang amat teliti dan berhati-hati dalam menjalankan aturan-aturan agama.
Hal yang demikian itu asy Syekh jalankan karena selain merupakan perintah Alloh dan Rosul-Nya, juga sekaligus menjadi bantahan atas pendapat orangorang yang mengatakan kalau para ahli tasawwuf dan para murid thoriqot adalah orang” orang yang suka mengabaikan aturan-aturan syariat. Penilaian seperti itu muncul karena memang sebuah kenyataan bahwa ada sebagian orang yang menabalkan dirinya sebagai ahli sufi, namun mereka tidak pernah mau belajar ilmu tasawwuf secara teliti. Tidak pula mereka meneladani apa yang telah dijalankan oleh baginda Rosululloh SAW, para sahabat, tabi'in dan para ulama' warotsatul ambiya '.
Tentang kegemaran beliau mencari ilmu dan kesukaannya mendaras kitab-kitab, asy Syekh pernah berpesan kepada para murid beliau agar mereka menjadi orang yang gemar membaca. Sedangkan beliau sendiri amat mengagumi kandungan kitab-kitab :
- “lhya' Ulumuddin” buah pena Imam al Ghozaly (w. 450 505 H./ 1059 M.),
- “Quut al Quluub” karya Abu Thalib al Makky (w. 386 H. /996 M.),
- “Ar Risalah” karya agung Imam al Qusyairi (w. 376- 467 H./986 1074 M.),
- “Asy Syifa'” (“Matnusy Syifa' fii Syarofil Musthofa”) karya al Imam al Qadhi Iyadh,
- “Khotamul Auliya'” karya al Hakim at Turmudzi,
- Tafsir “Al Muharrar al Wajiz” karya Ibnu Athiyyah,
- “Al Mawaqif wal Mukhotobat” karya Muhammad bin Abdul Jabbar an Niffan', serta beberapa kitab agung lainnya.
Asy Syekh sangat menganjurkan murid-murid beliau agar rajin menelaah dan mendalami kitab-kitab tersebut. Dari kitab kitab itulah di antaranya, terutama Ihya' dan Qutul Qulub, yang di kemudian hari, banyak mewarnai kehidupan beliau dan ajaran tasawwuf atau thoriqotnya. Selain itu, beliau juga banyak membaca catatan-catatan para masyayikh pendahulu beliau seperti:
- Al Harist al Muhasiby (w. 243 H/857 M.),
- Abu Yazid al Busthami (w. 261 H./875 H.),
- Imam al Junaid (w. 297 H./910 M.), dan
- Abu Bakar asy Syibly (w. 334 H./945 M.).
Beliau memberikan apresiasi khusus terhadap kitab Ihya' dan Qutul Qulub, dengan mengatakan, “Ihya' Ulumuddin akan membuahkan ilmu pengetahuan bagi Anda, dan Qutul Qulub akan memancarkan nur cahaya bagi Anda.” Kekaguman dan penghormatan beliau terhadap Abu Hamid al Ghozaly tampak amat luar biasa, sampai-sampai beliau berkata, “Apabila sewaktu-waktu Anda mengemukakan suatu hajat kepada Alloh, maka kemudian bertawakkallah kepada-Nya dan sampaikanlah (bertawasullah) bersama al Imam Abu Hamid al Ghozaly,”
Asy Syekh mengakui kalau kitab Qutul Qulub adalah kitab yang menjembatani beliau mengenal ilmu tasawwuf. Beliau sudah mendalami kitab ini sejak sebelum beliau terjun langsung ke dunia amaliyah sufi, yaitu ketika beliau masih mondok ditempat Syekh Abu Said al Baji di kota Tunis.
Asy Syekh merupakan pribadi yang dermawan dan amat membenci kepelitan. Tangan beliau selalu terbuka setiap saat kepada siapapun. Kepada murid-murid beliau, asy Syekh senantiasa menganjurkan agar selalu berperan menjadi 'tangan di atas Asy Syekh juga amat ringan tangan atau gemar menolong. Hal ini sudah nampak pada waktu beliau masih berusia 6 tahun, yaitu ketika beliau memberi makan penduduk Tunis yang saat itu sedang mengalami kelaparan. Kebiasaan menolong orang lain ini selalu beliau lakukan sepanjang hidupnya. Sudah tak terhltung lagi, beliau mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan kepada kaum yang lemah dan para faqir miskin. Berkali-kali asy Syekh, sebagai seorang ulama terkemuka, melakukan tindakan advokasi bagi orang-orang yang tertindas. Asy Syekh 'terpaksa' harus mengorbankan harga diri beliau dengan keluar masuk istana hanya sekedar untuk menghadap Sultan dan para pejabat kerajaan demi untuk menyampaikan penderitaan dan keluh kesah masyarakat.
Dilihat dari kepribadian beliau yang seperti itu, nampak benar kalau asy Syekh merupakan gambaran orang yang sebagaimana disabdakan oleh Rosulullah SAW, 'Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain'.
Apabila datang peringatan hari-hari besar Islam, asy Syekh beserta para murid dan pengikut-pengikutnya berusaha sedapat mungkin mengajak masyarakat untuk mengarahkan perhatiannya kepada hari-hari yang mulia itu. Beliau mengajak agar mereka menyambutnya dengan dzikir dan ibadah, serta menyemarakkannya dengan sedekah dan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Di samping itu, asy Syekh juga merupakan seorang ahli tasawwuf yang suka bekerja keras. Untuk menghidupi keluarganya, beliau juga bertani dan memiliki lahan pertanian yang luas, serta dilengkapi dengan sapi untuk membajak Asy Syekh kurang menyenangi murid--muridnya,
yang tidak bekerja, apalagi sampai menjadi peminta-minta. Beliau pernah berkata, “Apabila engkau berkeinginan menjadi sahabatku maka janganlah hendaknya engkau meminta sesuatu dari seseorang. Seandainya pemberian itu datang tanpa engkau minta, sebaiknya janganlah pula hendaknya engkau terima.” Berkaitan dengan pernyataan beliau ini, ada seseorang yang bertanya, “Bukankah Rosululloh SAW juga menerima pemberian?” Dijawab oleh beliau, “Apakah kamu pikir beliau mau menerima pemberian seseorang sama dengan ketika kamu menerima pemberian dari orang lain? Ketahuilah, Rosululloh bersedia menerima pemberian karena semata-mata untuk menghargai si pemberi, sebab dia mengharapkan berkah dari Rosululloh SAW lantaran pemberiannya itu.” Sedemikian indah dan mengagumkan kepribadian asy Syekh, sampai-sampai para ulama dan auliya' yang hidup sezaman dengan beliau dan sesudahnya, menuliskan peri kehidupan beliau dengan untaian bahasa yang amat indah. Di antara beliau-beliau itu adalah :
- Syekh Syarifuddin bin Abi Manshur asy Syadzily, dalam tulisannya memuji dan menyanjung sebesar perkenalan dirinya dengan asy Syekh;
- Syekh Abdullah bin an Nukman yang memberikan kesaksian bahwa asy Syekh adalah memang benar-benar seorang Quthub;
- Syekh Quthbuddin al Qostholani, termasuk orang yang pernah bertatap muka dengan asy Syekh;
- Syekh Tajuddin Abul Fadhl Ahmad ibnu Atho'illah as Sakandary yang banyak menguraikan tentang manaqib dan ajaran-ajaran asy Syekh dan Syekh Abul Abbas al Mursi, terutama dalam kitabnya “Lathoiful Minan”;
- Syekh Sirajuddin al Mulaqqin yang menulis dalam kitabnya “Thobaqotul Auliya'”;
- Syekh Jalaluddin as Suyuthi dalam kitab karyanya “Khusnul Muhadhoroh”;
- Syekh Manshur al Manawiy dalam kitabnya “Al Kawakib ad Durriyah”;
- Syekh al Bushiri dengan al Burdah-nya yang diubah syaimya untuk menyanjung dan memuji asy Syekh.