Kepribadian Syekh Mustaqim
Dari segi fisik, beliau digambarkan memiliki postur tubuh yang bisa dikatakan sedang. Dalam kesehariannya, beliau terkesan sebagai seorang yang pendiam dan sangat sederhana. Beliau memiliki sifat yang sangat penyabar dan rendah hati (Jawa, andhap asar). Dalam hal keberagamaan, beliau merupakan sosok yang wira'i, ikhlas, yaqin, tawakal, dan istiqomah.
Pernah pada suatu ketika, beliau ditawari oleh salah satu putera beliau untuk dibelikan seperangkat mebeuler. Mendengar tawaran itu, beliau langsung menolaknya. Ketika ada putera beliau yang lain mengetahui hal itu, kemudian menanyakan kepada beliau kenapa tawaran itu beliau tolak. Jawab beliau, "Lha wong dia hanya menawari saja, kok."
Pada saat beliau mengalami kesulitan ekonomi yang teramat sangat, beliau tetap berusaha mengatasinya semampu mungkin tanpa sedikit pun keluar keluh kesah dari lisan beliau.
Kata-kata beliau yang sering beliau ucapkan dan sangat berkesan bagi murid-murid beliau ialah kata kata " Inggih sae mawon"( ya, baik saja).
Terkait dengan dawuh Syekh Mustaqim yang sangat akrab di pendengaran santri-santri Pondok PETA tersebut, penulis pernah mendapat keterangan dari Mbah Slamet, salah satu murid senior Syekh Mustaqim, tentang makna dan kalimat tersebut. Beliau mengatakan, "Itu, maksudnya Yai ( Syekh Mustaqim), bahwa pada hakekatnya semua ketentuan (takdir) Alloh SWT itu pasti baik. Namun, seandainya ketentuan itu diterima secara 'tidak baik' atau 'kurang baik' oleh seseorang, maka oleh Yai orang tersebut didoakan mudah-mudahan 'menjadi bisa' menerima takdir Alloh SWT itu dengan sebaik-baiknya."
Ada suatu cerita yang terjadi pada waktu Romo Kyai Abdul Djalil masih mondok di Mojosari, Nganjuk. Seperti biasanya, setiap Mbah Kyai Imam Muslim, biasa disapa dengan panggilan Mbah Lim, pulang (Jawa, endang omah) ke rumah beliau di Trenggalek, beliau selalu dititipi pesan agar dimintakan uang kepada ayahanda beliau untuk tambahan uang saku di pondok. Mbah Lim adalah murid Syekh Mustaqim yang selain beliau dipondokkan Syekh Mustaqim di pondok Mojosari, beliau juga ditugaskan untuk melayani Romo Kyai Abdul Djalil ketika sama-sama mondok di Mojosari.
Ketika' pesanan' Romo Kyai Abdul Djalil itu disampaikan Mbah Lim kepada Syekh Mustaqim, oleh Syekh Mustaqim beliau disuruh mengambil sendiri di bawah kasur di kamar Syekh Mustaqim. Maka, Mbah Lim pun kemudian melaksanakan seperti yang diperintahkan Syekh Mustaqim. Ketika Mbah Lim membuka kasur itu, beliau kaget dan tertegun melihat tumpukan uang yang sangat banyak yang kalau diumpamakan uang sekarang jumlahnya ratusan juta rupiah. Setelah itu,Mbah Lim pun kemudian mengambil uang secukupnya lalu kasur itu ditutupnya kembali.
Ketika sampai di luar, beliau bertemu dengan Mbah Nyai Sa'diyah. Oleh Mbah Nyai, beliau ditanya dari mana. Beliau pun menceritakan apa adanya. Mendengar cerita Mbah Lim, Mbah Nyai pun bergegas menuju ke tempat tidur Syekh Mustaqim dan membuka kasurnya. Namun, uang yang sangat banyak seperti yang diceritakan Mbah Lim ternyata saat itu sudah tidak ada lagi. Mbah Nyai pun kembali ke tempat Mbah Lim menunggu dengan wajah masam sambil menggerutu, " Yo ngono kuwi lho Lim, Yaine lek karo aku." (Ya begitulah Lim, Yainya itu kalau terhadap aku). Mbah Nyai mengatakan bahwa tadi pagi Mbah Nyai meminta uang kepada Syekh Mustaqim untuk belanja kebutuhan dapur. Namun, oleh Syekh Mustaqim dijawab bahwa beliau tidak memiliki uang.
Tentang hal ini, di kemudian hari, pernah ditanyakan oleh ayahanda penulis (alm. Abah H. Musa Ismail) kepada Syekh Abdul Djalil, apa hikmah yang terkandung di balik kejadian tersebut. Dikatakan oleh Syekh Abdul Djalil, bahwa kenapa ketika Mbah Lim memintakan uang untuk kebutuhan beliau di pondok, ayahanda beliau langsung mengabulkannya. Hal ini, karena supaya beliau, Syekh Abdul Djalil, dengan uang yang cukup, bisa lebih kerasan dan merasa nyaman belajar di pondok.
Namun, lain halnya ketika Mbah Nyai meminta uang untuk kebutuhan dapur, Syekh Mustaqim justru tidak memberinya. Hal ini merupakan sebuah pelajaran dari Syekh Mustaqim kepada Mbah Nyai agar beliau selalu berlatih prihatin, sabar, dan tawakal.
Syekh Mustaqim juga merupakan sosok yang istiqomah dalam beribadah. Syekh Abdul Djalil Mustaqim, pernah mengatakan bahwa Syekh Mustaqim pernah selama 3 tahun, secara rutin, setiap malam membaca aurod Asma' Baladiyah di masjid Agung "Al Munawwar", Tulungagung.
Pernah, di tengah-tengah keheningan malam, salah seorang murid beliau yang bernama Mbah Husein Abdullah, dalam perenungannya muncul
sebuah pertanyaan di dalam hati beliau tentang siapakah di antara murid
murid Syekh Mustaqim yang paling beliau sayangi. Tiba-tiba muncul jawaban secara sirri langsung dari Syekh Mustaqim, "Sin, aku kuwi Ojo maneh karo muridku dewe, lha wong karo sing dudu muridku ae aku yo sayang, kok. " (Sin, aku itu jangankan dengan muridku sendiri, lha wong dengan yang bukan muridku saja aku juga sayang, kok).
Syekh Mustaqim sangat memperhatikan pendidikan putera-puteri beliau. Dalam memenuhi biaya pendidikan bagi putera-puteri beliau, berbagai upaya akan beliau lakukan demi untuk mencukupinya. Demikian pula dalam hal perhatian beliau terhadap ibadah putera-puteri beliau. Digambarkan oleh Ibu Nyai Hj. Siti Machfiyah, bahwa ayahanda beliau tersebut sangat keras dalam menegakkan perintah-perintah Alloh SWT yang harus dijalankan keluarga beliau. Apabila ada putera-puteri beliau yang teledor dalam menjalankan ibadah atau mengaji, maka mereka tinggal menunggu hajaran sabuk dari beliau.
Pada suatu malam, beliau didatangi seorang penjual genting. Si penjual genting bermaksud meminta kekurangan pembayaran genting yang beliau beli untuk membelikan baju anak-anaknya dan untuk berbagai keperluan seiring dengan datangnya hari raya Idul Fitri yang tinggal beberapa hari lagi. Sebenarnya waktu itu, uang untuk melunasi kekurangan itu sudah ada. Namun, beliau mengatakan bahwa besok pagi saja biar diantar Mbah Sarni sebagai orang yang berhubungan langsung dengan si penjual genting.
Mbah Sarni, pada waktu itu, adalah orang yang biasa beliau serahi urusan urusan tetek bengek, terutama yang terkait dengan masalah pembangunan Pada saat itu Mbah Sarni sedang beliau utus ke Surabaya. Setelah Mbah Sarni pulang dari Surabaya pada tengah malam, beliau langsung menyampaikan hal tersebut kepada Mbah Sarni. Beliau memerintahkan agar Mbah Sarni esok pagi ba'da subuh mengantarkan uang kekurangan pembayaran genting itu kepada si penjual genting.
Perhatian dan kasih sayang beliau kepada murid-murid beliau pun tidak putus-putusnya kendati beliau sudah wafat. Pernah, pada suatu malam, di tengah-tengah ayahanda penulis sedang menjalankan wirid, beliau 'didatangi' guru beliau itu. Syekh Mustaqim yang sejatinya sudah 'purna tugas' (Romo Kyai Djalil biasa mengistilahkan dengan kata 'pensiun'), ketika itu berkata dengan intonasi setengah membentak, "Opo hakmu milih?" (Apa hakmu memilih?).
Ketika pengalaman ruhani itu beliau haturkan kepada asy Syekh Abdul Djalil, beliau berkata, "Ya, kak Musa, itu ilmu hakekat." Ketika Ibu Nyai Umi Zahro yang sedang lewat, sambil lalu, bertanya kepada asy Syekh, "Ada apa, Bah?" Romo Kyai Abdul Djalil mengatakan, "Gak ada apa-apa. Ini loh, kak Musa baru dapat pelajaran dari Bapak. "