29.11.22

Kisah Bergurunya KH.Jamaludin Ahmad

  Pada tahun 1973, bpk. K. H. Jamaludin Ahmad, Tambakberas Jombang mengalami permasalahan yang sangat mengganggu hati dan pikiran beliau. Hal itu disebabkan karena adanya 2 masalah yang muncul secara bersamaan. Hal yang pertama adalah deraan fitnah yang tertuju kepada pribadi beliau. Saat ini beliau diisukan melakukan korupsi uang pembangunan pondok lsu itu semakin lama semakin membesar dan berkebang ke arah fltnah yang lebih keji lagi. Ke dua, pada saat yang sama, beliau juga terbebani dengan keadaan ibunda beliau yang mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 2 tahun. Sakit yang dialami ibunda beliau itu tergolong penyakit ‘aneh’, karena berdasarkan pemeriksaan semua dokter, pada diru sang ibu tidak ditemukan satu penyakit apa pun.

Dalam kitab Ihya’ juz 3, beliau menemukan satu kalimat yang mengatakan bahwa apabila ada seseorang yang sakit sedangkan menurut pemeriksaan dokter (tabib) tidak ditemukan adanya suatu pcnyakit, maka bawalah si sakit kepada ‘dokter spesialis ruhani. Ketika hal itu disampaikan kepada paman beliau, almaghfurlah KH. Shodiq, Genukwatu, Jombang, maka kemudian beliau dianjurkan untuk sowan kepada asy Syekh di Tulungagung.

Pada saat itu, dalam rangka beliau mencari orang yang memiliki kemampuan membimbing hati beliau keluar dari kegundahan hati karena fitnah yang menimpa beliau, jauh-jauh hari beliau sudah mempelajari kitab Ummul Barohin buah pena Syekh Muhammad ibn Yusuf as Sanusi tentang ciri-ciri Seorang pembimbing ruhani (mursyid) yang kamil mukamil.

Dikatakan dalam kitab tersebut bahwa seorang pembimbing ruhani itu memiliki sifat: 
  1. Diperkuat Alloh ketajaman bashiroh (mata hati), 
  2. Tidak cinta terhadap dunia (zuhud), 
  3. Kasih sayang terhadap fakir miskin, 
  4. Welas asih terhadap orang-orang mukmin yang lemah. 

Maka, dalam rangka ikhtiar mencari kesembuhan bagi sang ibu, beliau pun lalu sowan kepada asy Syekh di Tulungagung. Pada saat pertama kali beliau sowan kepada asy Syekh, ketika itu asy Syekh sedang jagongan dengan 2 orang tamu di ruang tamu. Melihat beliau datang, asy Syekh lalu mempersilakan beliau masuk. Setelah beliau ikut duduk, beliau melihat bahwa kedua pemuda yang sedang jagongan dengan asy Syekh itu sungguh tidak pantas. Dalam perspektif dunia pesantren, seseorang yang berhadapan dengan seorang ulama atau kyai itu terikat pada etika dan sopan santun.

Padahal, kedua pemuda itu beliau nilai sangat tidak sopan. Selain tidak berkopyah, kedua pemuda itu berpakaian batik lengan pendek. Lebih parah lagi, duduknya dengan menyilangkan kedua kakinya (Jawa, jigang). Sesaat setelah beliau membatin demikian, kedua pemuda itu lalu berpamitan sambil tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha, sudah Yai, saya mohon pamit.”

Setelah kedua tamu itu pergi, asy Syekh lalu berkata, “Santri sini itu bermacam-macam, Kyai Jamal, ada yang seperti mereka itu. Tapi saya tidak apa-apa, saya malah senang. Tapi, dua Orang tadi sudah mukasyafah lho, Kyai Jamal.” Mendengar dawuh asy Syekh itu, beliau sangat terkejut. Beliau merasa bahwa asy Syekh sudah menegur beliau yang telah berprasangka buruk (su ’udhon) terhadap orang lain. Pada saat yang sama, beliaujuga merasa bahwa asy Syekh telah mengobati hati beliau dari penyakit su ’udhon.

Dari peristiwa itu, beliau menyimpulkan bahwa asy Syekh adalah orang memiliki sifat ‘Diperkuat Alloh ketajaman mata hati’. Hal itu terjadi kepada beliau secara berulang-ulang. Seringkali beliau mendapati asy Syekh sudah terlebih dahulu menjawab pertanyaan beliau sebelum beliau menyampaikan pertanyaannya kepada asy Syekh.

Beliau berkesimpulan bahwa dengan memiliki sifat tersebut, maka asy Syekh pastilah memiliki pula kemampuan membimbing murid dari jarak jauh, kapan pun dan di mana pun si murid berada. Oleh karena itu, dalam perkembangan berikutnya, beliau lalu berbai’at kepada asy Syekh.