26.11.22

Mandi Di Pantai Popoh

  Sejak tahun 1951 sampai tahun 1969, setiap tanggal 1 Muharram ( Jawa, 1 Suro), syekh Mustaqim mengajak murid-murid beliau ke pantal Popoh, sekitar 30 kilometer ke arah Selatan dari kota Tulungagung untuk melaksanakan ritual 'bersih diri'. Setiap tahunnya, ritual itu diikuti oleh sebagian besar santri-santri Syekh Mustaqim. Seorang santri bisa mengikuti ritual itu berulang - ulang hingga 3 sampai 4 kali. Perjalanan menuju pantai Popoh ditempuh dengan mengendarai truk yang, pada beberapa tahun terakhir, jumlahnya bisa mencapai 50 truk.

Ada pula sebagian santri yang  menyewa kendaraan umum yang disebut 'oplet' atau 'Dodge'.

Bisa dibayangkan, kalau setiap truk berisi 40 orang saja, maka jumlah yang mengikuti ritual
'adus ning Popoh' pada waktu itu bisa lebih dari 2.000 orang. Sebagian peserta ada yang berkumpul terlebih dahulu di Pondok PETA, ada pula yang berangkatnya langsung dari daerahnya masing-masing.

Bagi yang berangkat dari Pondok PETA, mereka terlebih dahulu disuruh memakan telur rebus yang sudah diasma'i atau diberi doa selama dalam proses perebusannya. Setelah telur itu mereka makan, kulit telurnya tidak boleh dibuang begitu saja, tetapi dibawa pulang untuk selanjutnya nanti sesampai di rumah kulit telur tersebut diremas sampai halus lalu ditebartebarkan ke seluruh ruangan dan halaman rumah mereka masing-masing. Bagi peserta yang langsung menuju ke pantai Popoh, pembagian telur rebusnya dilakukan di lokasi.

Sementara itu, para santri yang bertempat tinggal di daerah kabupaten Trenggalek bagian Selatan, mereka menuju ke pantai Popoh dengan berjalan kaki melewati hutan dan naik turun bukit. Perjalanan itu ditempuh pada malam hari dengan membawa obor. Mereka berangkat setelah sholat Isya' dan sampai di Popoh pada pagi harinya.

Ritual itu diawali dengan berziarah ke makam Bedalem yang terletak di desa Besuki, kecamatan Besuki, kira-kira 10 kilometer sebelum pantai Popoh. Situs makam kuno ini ditemukan oleh Mbah Kyai Raden Abdul Fattah, Mangunsari, Tulungagung, pada sekitar tahun 1920. Auliya'ulloh yang dimakamkan di maqbaroh Bedalem ini di antaranya adalah Pangeran Benowo yang merupakan makam utama di komplek pemakaman itu. Pangeran Benowo adalah sultan terakhir kerajaan Islam Pajang (1587). Beliau adalah putera Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir.

Namun, sebagian peserta ada pula yang prosesi berziarah ke makam Bedalem ini mereka lakukan dalam perjalanan pulang seusai ritual 'adus ning Popoh'. Hal ini mengingat jumlah peserta yang cukup banyak sedangkan kapasitas tempat untuk berziarah, waktu itu, masih belum Seluas sekarang. Di samping itu, akses jalan menuju makam dari jalan besar, pada saat itu, hanya berupa jalan setapak. Apalagi kalau pada musim hujan. untuk menuju ke 'kaki bukit' Bedalem hanya bisa ditempuh dengan menaiki sampan. Oleh karena kondisi tersebut, maka tidak semua peserta ritual melaksanakan ziarah ke makam Bedalem ini.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke pantai Popoh. Kondisi jalan menuju Popoh pada saat itu masih belum diaspal seperti sekarang. Jalannya masih sempit dan berbatu-batu. Di lokasi pantai yang sekarang dijadikan obyek wisata itu juga masih rimbun dan banyak pepohonan yang besar-besar. Sesampai di Popoh, hal pertama yang dilakukan adalah berziarah ke makam Mbah Guru Wali. Menurut murid-murid sepuh Syekh Mustaqim, nama beliau adalah Syekh Syamsudin. Namun, ada pula orang yang mengenal beliau dengan nama Mbah Suryo atau Syekh Nur Hidayatullah, Konon, beliau adalah gurunya para Wali Songo.

Ritual mandi dan berendam di pantai Popoh itu dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan atau membersihkan khodam-khodam ilmu hitam dari dalam tubuh atau jiwa si murid. Karena, apabila seorang murid atau salik yang melakukan 'perjalanan' menuju kepada Alloh SWT, sedang di masa lalunya dia pernah memiliki ilmu hitam atau ilmu kejawen khodam ilmu hitam itu masih bercokol di dalam tubuh si murid maka khodam itu tentu akan sangat mengganggu dan menjadi penghalang (nyrimpeti) bagi 'si pejalan' itu.

Oleh karena itulah, penghalang yang berupa khodam ilmu hitam tersebut juga dengan istilah 'ilmu batal', itu mutlak harus dibersihkan dan dibuang. khodam ilmu hitam itu pun tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Karena, apabila dibuang di sembarang tempat dikhawatirkan akan menimbulkan dampak buruk bahkan bisa membahayakan bagi orang lain. Istilah kata, "Buanglah sampah pada tempatnya". TPA (tempat pembuangan akhir) yang paling tepat bagi khodam-khodam ilmu hitam itu ialah di lautan atau samudera.

Selama kegiatan di pantai Popoh ini, Syekh Mustaqim memberlakukan peraturan 'batal wudlu' bagi murid-murid Pondok PETA yang berada di lokasi tersebut. Selanjutnya, beliau menyuruh semua peserta 'bersih diri' untuk terlebih dahulu, secara sendiri-sendiri, menjalankan wirid dengan terus-menerus membaca Ayat Kursyi dan " Yaa Khayyu Yaa Qoyyum" dalam posisi duduk bersila di bibir pantai dan menghadap ke arah laut. Setelah itu, dilanjutkan berendam (Jawa, kungkum) di air laut.

Berendam itu diselingi dengan menyelam di dalam air laut. Dan, selama menyelam, tentu dengan menahan nafas, mereka disuruh agar secara terus menerus membaca " Ya Khayyu Ya Qoyyum". Hal itu dilakukan berulangulang sampai beberapa kali. Tidak jarang, Syekh Mustaqim turun secara langsung, ikut masuk ke dalam air laut dengan memakai 'celana bumbung', untuk memandu para murid pada saat berendam dan menyelam.

Setelah itu, mereka disuruh keluar dari air laut lalu disuruh tengkurap di bibir pantai kemudian dilakukan pengurutan. Pengurutan itu hampir semuanya dilakukan oleh Syekh Mustaqim sendiri. Sementara itu, sesuai arahan Syekh Mustaqim, ada sebagian kecil yang pengurutannya dilakukan oleh beberapa murid senior Syekh Mustaqim. Di antara murid-murid senior yang membantu proses pengurutan itu ialah Mbah Slamet, Mbah Mubin, dan Mbah Affandi (Surabaya).

Sebagian murid ada yang disuruh untuk mengulangi berendam dan menyelam di air laut, kemudian diurut lagi. Ada kalanya, ketika Syekh Mustaqim menyuruh si murid untuk masuk ke dalam laut lagi, beliau melakukannya dengan cara mendorong si murid ke arah laut. Pengulangan itu bisa dilakukan sampai beberapa kali, sesuai dengan instruksi Syekh Mustaqim. Biasanya, murid yang disuruh mengulang-ulang proses 'bersih diri' itu adalah murid yang memiliki khodam yang bandel dan memiliki kadar ilmu hitam yang tinggi.

Kadangkala terjadi, ketika si murid tengah diurut untuk dikeluarkan khodamnya, khodam yang berada di dalam tubuh si murid itu menolak untuk keluar. Khodam itu berontak lalu marah dan mengamuk. Tubuh si murid itu bereaksi seperti prilaku khodam ilmu hitamnya itu. Ada yang berprilaku layaknya seekor kera karena ilmu hitamnya itu bernama "Kethek Putih". Dia meloncat-loncat sambil mengeluarkan suara mirip kera (Jawa, mere-mere). Ada pula yang berprilaku seperti raksasa karena khodam ilmu hitamnya bemama"Buto ijo".

Prosesi terakhir dalam ritual 'bersih diri' itu dilakukan dengan cara para peserta dibaris memanjang, kemudian mereka berjalan lewat di depan Mbah Mubin yang kemudian mereka oleh Mbah Mubin satu per satu dipukul atau disikut atau ditendang. Ada pula yang hanya sekedar dipegang dadanya oleh Mbah Mubin. Prosesi ini dikenal dengan istilah 'dioperasi'. Barangkali 'perlakuan' Mbah Mubin kepada para peserta itu dimaksudkan sebagai prosesi pamungkas untuk mengusir dan membersihkan khodam ilmu batal yang masih tersisa di dalam jiwa mereka. Memang, di kala itu Mbah Mubin terkenal sebagai murid Syekh Mustaqim yang sering duel atau bertarung melawan jin dan dedemit.

Alkisah, berdasarkan penuturan nelayan Popoh, bahwa setiap dilaksankannya ritual itu, pada 5 hari sebelumnya, pada hari H, dan 5 hari sesudahnya, selalu terjadi fenomena alam yang cukup aneh dan mengherankan. Dalam kurun waktu sekitar 10 hari itu para nelayan akan kesulitan mendapatkan ikan di sekitar teluk Popoh itu.

Ritual 'adus ning Popoh' pada hari Senin Pahing, tanggal 1 Muharram 1337 H atau bertepatan dengan tanggal 10 April 1967 merupakan suatu hari yang istimewa dari kegiatan ritual 'adus ning Popoh' dibandingkan dengan tahun' tahun sebelumnya. Pada waktu itu, bertempat di makam Syekh Syamsudin diadakan pembacaan Maulid Diba' oleh jamaah "Al Muhibbin", Kampungdalem, Tulungagung. Sedangkan, bagi jamaah "Al Muhibbin" sendiri, hari itu juga merupakan suatu hari yang istimewa karena hari itu merupakan amaliyah perdana mereka di depan umum. Pada waktu itu masih belum memakai rebana sebagai alat musik pengiringnya.

Dikisahkan, bahwa ketika pembacaan Maulid Diba' sampai pada asyroqol atau makhalul qiyam, pada saat itu suasana tiba-tiba berubah menjadi  hening dan sakral. Ombak Samudera Hindia yang terkenal sangat besar dan
ganas berubah menjadi sangat tenang. Angin pun berhembus semilir dengan membawa hawa yang sangat sejuk. Bau harum dari minyak wangi yang  disemprotkan Syekh Mustaqim pun menambah suasana magis majelis itu.

Menurut para murid Syekh Mustaqim yang mukasyafah, pada saat itu hadir al Musthofa Sayyidina wa Maulana Muhammadin, rosululloh shollallohu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Beliau datang dengan membawa sebuah bendera berwarna hijau. Bendera itu oleh Rosululloh SAW kemudian diserahkan kepada Syekh Mustaqim. Setelah diterima Syekh Mustaqim, selanjutnya bendera itu beliau serahkan kepada jamaah "Al Muhibbin".

Ritual 'adus ning Popoh' tidak dilaksanakan pada tahun 1970 karena beberapa hari sebelum tanggal 1 Suro Syekh Mustaqim sudah mengalami 3 sakit. Dan, tepat pada tanggal 1 Suro tahun itu pula, yang biasanya dilaksanakan 'adus ning Popoh', beliau Syekh Mustaqim berpulang ke rokhmatulloh. Pada tahun 1971, setelah Syekh Mustaqim wafat, masih sempat dilaksanakan ritual 'bersih diri di Popoh' itu sekali lagi. Dan, itu merupakan kegiatan yang terakhir kalinya.

Ritual "berendam di pantai Popoh" ini sempat menimbulkan badai fitnah , yang merebak di masyarakat. Fitnah-fitnah yang menyebar itu sedikit banyak merupakan imbas dari 'badai' yang pernah menerpa Syekh Mustaqim ' pada masa penjajahan Belanda. Maka, istilah thoriqot yang dinisbatkan dengan nama beliau pun muncul kembali. Mendengar adanya suatu ritual yang mereka nilai tidak lazim itu, orang-orang dari golongan 'high class' pun mulai 'menyanyi' lagi.

Mereka mengatakan bahwa Syekh Mustaqim setiap bulan Suro (Muharam) mengajak para pengikutnya sowan kepada guru mereka yaitu Nyai Roro Kidul (Ratu Laut Selatan). Na'udzubillaahi min dzaalik. Kata mereka lagi, di pantai laut Selatan (samudera Indonesia) itu para murid thoriqot Syekh Mustaqim meminta kepada junjungan (Jawa, pepunden) mereka berbagai kebutuhan mereka, seperti: keselamatan, pesugihan, kanuragan, dan pedukunan.

Namun, semua fitnah dan cercaan mereka itu tidak pernah di tanggapi Syekh Mustaqim. Beliau lebih mementingkan keselamatan murid-murid beliau dari jahatnya ilmu batal yang bercokol di tubuh murid-murid beliau.