26.11.22

Wafatnya Syekh Mustaqim

  Sekitar 40 hari menjelang berpulangnya Hadlrotusy Syekh Mbah Kyai Mustaqim. beliau sempat bertanya kepada salah seorang murid beliau yang bernama Mbah Mubin, "Bin, apakah makam Setono Serut itu masih ada tempat?" Dijawab oleh Mbah Mubin, "Sepertinya masih ada, Yai. Ada apa gerangan. Yai?" Beliau mengatakan, "Enggak, gak ada apa-apa." Makam Setono Serut adalah merupakan TPU yang tidak seberapa luas yang terletak sekitar 100 meter di sebelah Barat Pondok PETA. Di maqbaroh itu dimakamkan beberapa keluarga dekat Syekh Mustaqim.

Selain itu, sekitar 40 hari menjelang beliau wafat itu pula, ada seorang kyai dari Semarang bernama kyai Masrichan. Kyai Masrichan waktu itu membawa selembar kain penutup keranda (Jawa, lurup) bikinan beliau sendiri yang bani selesai beliau kerjakan. Lurup itu terbuat dari bahan yang bagus dan pengerjaannya pun sangat halus. Waktu itu, Kyai Masrichan minta agar lurup bikinan beliau itu untuk diganti dengan 'mas kawin' seikhlasnya. Syekh Mustaqim kemudian memberikan sejumlah uang kepada Kyai Masrichan yang belakangan dinilai oleh keluarga beliau uang sejumlah itu terlalu banyak.

Ketika beliau ditanya kenapa beliau kok mau-maunya 'membeli' lurup segala, dijawab oleh beliau, "Ya, siapa tahu sebentar lagi ada kerabat kita yang meninggal dunia." Dan, ternyata lurup itu yang pertama kali memakainya adalah beliau sendiri.

Berdasarkan penuturan Ibu Nyai Hj. Siti Machfiyah, puteri bungsu Syekh Mustaqim yang menurut Romo Kyai Abdul Djalil beliau adalah puteri kesayangan syekh Mustaqim, yang pada waktu itu berusia 21 tahun, sehari sebelum beliau wafat (hari Sabtu), beliau sempat mengalami sesak nafas yang cukup berat. Sesak nafas itu sering kambuh bukan karena beliau mengidap penyakit asma, tapi itu karena akibat kekejaman Kempetai terhadap beliau pada zaman penjajahan Jepang.

Pada pagi hari kewafatan beliau (hari Ahad), beliau dalam keadaan terbaring di kamar beliau, masih sempat menemui beberapa orang tamu. Pada sore hari sekitar pukul 16.00, putri sulung beliau, Ibu Nyai Thowilah berinisiatif menutup rapat semua pintu, jendela, dan gordyn di kamar beliau. Selain itu, Ibu Nyai Thowilah juga menentukan dengan tegas 'orang luar' (selain keluarga) yang diperbolehkan keluar - masuk kamar dan menunggui beliau,diantaranya Mbah K.H.Asrori Ibrahim, Mbah Mubin, dan Mbah Kyai Chasbullah (Kutoanyar).

Ketika beliau terbangun pada pukul 16.30, mengetahui kamar beliau dalam keadaan tidak ada sinar matahari yang masuk, beliau mengira bahwa waktu itu adalah tengah malam. Karena sudah menjadi kebiasaan beliau setiap malam selalu menjalankan sholat tahajud, maka beliau pun berusaha untuk bangun seraya berkata, "Tahajud. . ., tahajud. . ." Setelah dijelaskan bahwa saat itu masih sore, beliau menjadi tenang kembali.

Setelah itu beliau lalu berpesan agar keluarga dan murid-murid beliau jangan sampai meninggalkan sholat. Selain itu, beliau juga menyampaikan wasiat beliau tentang penerus kemursyidan beliau dengan mengatakan, "Sing bakale nggantenni aku kuwi Djalil. Lan, kowe Asrori, Djalil dampingono!!! " (Yang nantinya menggantikan aku (adalah) (Syekh Abdul) Djalil (Mustaqim). Dan, kamu (kyai) Asrori (lbrahim), dampingi Djalil! ! !) Mendengar beliau mengatakan seperti itu, Mbah Nyai Sa'diyah yang berada di samping beliau langsung berkata dengan intonasi suara yang tinggi, "Hey, Kyai Asrori dengar dan perhatikan itu. Kalian yang ada di ruangan ini semuanya menjadi saksi." ,

Sedangkan Romo Kyai Abdul Djalil sendiri saat itu sedang berada di Jakarta bersama kakak sulung laki-laki beliau, Romo K.H. Arif Mustaqim. Sebenarnya siang hari itu, Bpk. Mayor Masduqi Akhyar (Kasdim 0807 Tulungagung) sudah berusaha menghubungi beliau berdua melalui jalur antar Kodim. yaitu telpon interlokal antara Kodim Tulungagung dan Kodim se Jakarta Raya. Namun, kontak itu baru bisa berhasil pada malam harinya.

Sekitar menjelang waktu Maghrib sampai menjelang Isya', beliau dalam posisi setengah duduk bersila, bertawajjuh dan berkonsentrasi menghadapi saat-saat akhir hayat beliau. Dengan tasbih di tangan yang terus menerus beliau putar dengan cepat dan beliau secara jahri sering mengulang-ulang kalimat "Wayassirlii amrii Wa yassirlii amrii ., " (mudahkanlah untukku urusanku).

Pada waktu itu, sebenarnya ada beberapa murid beliau yang berada di luar ingin masuk untuk bersalaman sekaligus akan memohon maaf kepada beliau. Namun, melihat kondisi beliau yang sudah tidak memungkinkan lagi, maka dengan tegas Ibu Nyai Thowilah melarangnya. Beliau mengatakan, "Sudahlah, semua kesalahan kalian sudah dimaafkan Yai. Yai sangat sayang kepada semua muridnya. Kalian tunggu di luar saja. Doakan saja Yai."

Setelah waktu memasuki Isya', Ibu Nyai Thowilah menyuruh agar orang orang yang saat itu berada di kamar beliau untuk secara bergantian melaksanakan sholat lsya'. Ibu Nyai Hj. Siti Machfiyah yang sejak pagi terus menerus mendampingi beliau, saat itu oleh Ibu Nyai Thowilah disuruh untuk melaksanakan sholat Isya' terlebih dahulu. Sebenarnya, beliau pada waktu itu masih belum mau. Beliau tidak ingin meninggalkan orang yang sangat beliau cintai itu. Namun, dengan alasan nanti bergantian, maka beli'au pun dengan berat langkah terpaksa meninggalkan ayahanda beliau.

Nah, pada waktu Ibu Nyai Hj. Siti Machflyah mengerjakan sholat isya' itulah, beliau asy Syekh al Waly al Quthub al Maghfurlah Mbah Kyal Mustaqim bin Husein, rodliyallohu 'anh, berpulang ke rakhmatullooh. Untuk berjumpa dengan Sang Kekasih, Robbal Izzati Robbal 'Alamiin. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji 'uun.

Waktu itu. sekitar pukul 19.15 WIB, hari Ahad Kliwon malam Senin Legi, tanggal 8 Maret l970 bertepatan dengan malam tanggal 1 Muharram 1390 H. Pada masa berikutnya, hari dan tanggal wafatnya beliau itulah yang dijadikan hari peringatan khaul kewafatan beliau setiap tahunnya, yaitu setiap hari Ahad pertama dalam bulan Muharram atau bulan Suro.

Hadlrotusy Syekh Romo Kyai Abdul Djalil pernah mengatakan kepada penulis, bahwa tepat pada saat ruh Syekh Mustaqim keluar dari jasad beliau, beliau Romo Kyai Abdul Djalil yang pada saat itu berada di Jakarta, merasakan punggung beliau seperti terkena aliran stroom bertegangan tinggi. Hal ini persis seperti yang beliau rasakan tepat 6 tahun sebelumnya, yaitu pada saat guru beliau, al Maghfurlah Hadlrotusy Syekh Ajengan Khudlori bin Hasan, wafat pada hari Selasa, tanggal 12 Mei 1964 bertepatan tanggal 1 Muharram 1384 H. Pada waktu itu, beliau juga sedang berada di Jakarta.

Beberapa jam setelah wafatnya beliau, terjadi sedikit silang pendapat tentang tempat di mana beliau akan dimakamkan. Ada yang berpendapat, sebaiknya beliau dimakamkan di TPU Setono Serut karena di situ sudah dimakamkan beberapa kerabat beliau. Selain itu, pada 40 hari sebelumnya, beliau Juga sempat bertanya tentang makam Setono Serut kepada Mbah Mubin. Sementara itu, tidak sedikit pula yang berpendapat agar beliau dimakamkan di komplek Pondok PETA dengan alasan agar keluarga tidak merasa kehilangan. Di samping itu, juga untuk memudahkan murid-murid beliau yang akan menziarahi beliau.

Silang pendapat itu akhirnya ditengahi oleh Mbah Nyai Sa'diyah. Beliau menugaskan 7 orang murid senior Syekh Mustaqim untuk melakukan istikharoh. 7 murid senior itu, ialah:
  1. Mbah Kyai Khasbullah, 
  2. Mbah Mubin, 
  3. Mbah Slamet, 
  4. Mbah H. Abdullah, 
  5. Mbah H. Husin, 
  6. Mbah Umar, dan 
  7. Mbah Kasbun. 
Istikharoh itu menghasilkan jawaban yang sama, yaitu bahwa Syekh Mustaqim seyogyanya dimakamkan di komplek Pondok PETA di sebelah Selatan musholla. Bahkan, posisi liang lahad yang di gali pun ditunjukkan oleh ke tujuh orang tersebut. Pada malam hari wafatnya beliau itu ada sebuah fenomena alam yang luar biasa. Syahdan, langit kota Tulungagung pada malam hari itu memancarkan cahaya yang terang benderang. Hal itu berdasarkan kesaksian para penjual daun jati di daerah Selatan Tulungagung yang berangkat ke pasar Wage kota Tulungagung, pada pukul 22.00. Para penjual daun jati itu menuju ke kota Tulungagung dengan berjalan kaki dan menggendong barang dagangannya di punggung mereka.

Prosesi pemakaman Syekh Mustaqim dilaksanakan pada keesokan harinya (hari Senin Legi) selepas sholat Dhuhur. Penentuan waktu pemakaman Syekh Mustaqim ini atas dasar perhitungan kedatangan kedua putra beliau dari Jakarta. Romo K.H. Arif Mustaqim dan Romo K.H. Abdul Djalil Mustaqim mengendarai pesawat udara dari bandara Kemayoran, Jakarta, ke bandara Juanda, Surabaya. Sesampai di Surabaya dilanjutkan perjalanan darat dengan mengendarai mobil menuju ke Tulungagung.

Jenazah Syekh Mustaqim dimandikan dan dikafani di Pondok PETA. Sedangkan untuk sholat jenazah dilaksanakan di masjid Agung Al Munawwar. Digambarkan, bahwa suasana pada waktu itu, ribuan penta'ziyah yang tersebar di masjid Al Munawwar, seputar alun-alun, sepanjang jalan K.H. Wahid Hasyim, dan di dalam komplek Pondok PETA, mereka semua larut dalam suasana sedih, hening, dan khusyuk.

Bisa dikatakan, hampir tidak ada seorang pun di antara mereka yang saling mengobrol apalagi sampai bergurau. Mereka masing-masing membaca sesuai dengan kata hati mereka, secara sirri bacaan-bacaan kalimah thoyyibah sebagaimana yang telah diajarkan Syekh Mustaqim kepada mereka, seperti: istighfar, sholawat, dzikir, Asyfa', Kafi, Baladiyah, Bahr, Nashr, Ayat Kursyi, asma'-asma' Alloh, dan lain sebagainya. Semua bacaan-bacaan itu mereka dedikasikan semata-mata sebagai bentuk penghormatan mereka atas berpulangnya Syekh Mustaqim pada hari itu.

Menyaksikan suasana yang seperti demikian itu, para santri Pondok PETA
terheran-heran. Bagaimana tidak, seakan menjadi sebuah misteri yang belum terungkap sampai sekarang, bahwa di antara belasan ribu penta'ziyah itu ternyata mereka tidak saling mengenal. Sedikit sekali para penta'ziyah itu yang masing-masing bisa bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal. Timbul sebuah pertanyaan, sebenarnya siapa sajakah mereka? Kalau melihat dari jumlah orang yang hadir, tentu sangat tidak seimbang dengan jumlah santri Pondok PETA yang, pada waktu itu, jumlahnya diperkirakan hanya sekitar 2.000 orang.

Pada saat jenazah beliau dibawa dari masjid Al Munawwar kembali ke Pondok PETA, keadaan berubah menjadi tegang dan mencekam. Lantunan dzikir "Laa ilaaha illallooh, Mukhammadur rosuulullooh" bergemuruh menyayat hati. Suara tangis dan jeritan pun terdengar di sana-sini. Tidak sedikit pula yang memanggil-manggil beliau diiringi dengan suara tangisan yang tertahan, "Yai. . ., Yai. . . " Keranda yang membawa jenazah beliau pun seakan-akan berjalan di atas lautan manusia yang berada di sepanjang jalan K.H. Wahid Hasyim.

Keranda beliau bukannya dipikul tetapi berpindah-pindah dari tangan penta'ziyah satu ke yang lainnya (Jawa, lung-lungan). Namun, perjalanan keranda itu menjadi agak tersendat. Bagaimana tidak, penta'ziyah yang berhasil memegang keranda yang seharusnya segera mereka lepaskan untuk diteruskan kepada yang lainnya, menjadi terhenti lantaran mereka seakan enggan melepaskan keranda yang berisi jasad insan mulia yang sangat mereka hormati dan cintai itu.

Setelah sampai di dalam Pondok PETA, sebelum pemakamkan, dilaksanakan pidato sambutan mewakili keluarga yang disampaikan oleh Mbah Kyai Asrori Ibrahim. Dalam sambutannya, selain penekanan hak Adami, Mbah Kyai Asrori juga menyampaikan satu hal yang penting bagi para santri Pondok PETA, yaitu tentang siapa penerus kemursyidan ketiga thoriqot yang diajarkan al Maghfurlah Mbah Kyai Mustaqim. Pada waktu itu, dinyatakan bahwa sesuai wasiat Syekh Mustaqim bahwa penerus kemursyidan beliau adalah Hadlrotusy Syekh Romo Kyai Abdul Djalil Mustaqim. Dan, beliau sendiri (Mbah Kyai Asrori) diperintahkan Syekh Mustaqim untuk mendampingi Romo Kyai Abdul Djalil Mustaqim.

Pada saat prosesi pemakaman, jenazah beliau diterima di liang lahad oleh 3 orang putera beliau, yaitu: Romo K.H. Arif Mustaqim, Romo K.H. Abdul Ghofur Mustaqim, dan Romo Kyai Ali Mustaqim. Yang mengadzani jenazah beliau adalah Romo K.H. Arif Mustaqim. Sedangkan, yang bertindak membacakan talqin adalah al Mukarrom Mbah K.H. Machroes Ali dari ponpes Lirboyo, Kediri.

Selang 17 tahun setelah meninggalnya Syekh Mustaqim, isteri beliau, al Mukarromah Mbah Nyai Hj. Sa'diyah binti H. Rois berpulang ke rakhmatulloh pada hari Jumat Pahing, tanggal 11 Desember 1987 bertepatan tanggal 20 Rabi'ul Akhir 1408 H. Jenazah beliau dimakamkan berdampingan dengan Hadlrotusy Syekh Mbah K.H. Mustaqim bin Muhammad Husein.

Pada tahun 1981/1401 H, Mbah Nyai Sa'diyah, Abah Djam'an Perwiro, S.H. (menantu), dan Ibu Nyai Anni Fatimah (puteri kandung) berkesempatan mengerjakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Bersamaan dengan itu pula dilaksanakan badal haji bagi Syekh Mustaqim. Yang mengemban amanat badal haji bagi beliau ialah Bpk. H. Masduqi, Tunjung, Udanawu, Blitar.

Sepulang dari perjalanan haji, Mbah Nyai Hj. Sa'diyah sempat bercerita kepada penulis tentang pengalaman ruhani beliau selama berada di tanah suci. Beliau mengatakan bahwa sejak beliau turun dari pesawat di bandara Jeddah, asy Syekh al Maghfurlah Mbah Kyai Mustaqim sudah 'menyambut' (Jawa, mapag) beliau. Sejak saat itu, selama beliau berada di Haromain (Mekah dan Madinah), kemana pun beliau berada, di situ pula Syekh Mustaqim tidak pernah terlepas menemani beliau. Terlebih lagi, ketika pelaksanaan prosesi ibadah haji, beliau berdua selalu 'bersama-sama'.

Demikian pula, hal serupa pernah Mbah Nyai Sa'diyah alami ketika beliau menjalani operasi katarak. Beliau bercerita bahwa pada saat beliau dalam keadaan dibius dan dioperasi pengelihatan beliau, beliau diajak Syekh Mustaqim menyaksikan tubuh beliau yang tengah tergolek tak berdaya di atas meja operasi sedang 'dieksekusi' oleh tim dokter, mulai awal hingga selesai.